"Agatha!" teriaknya dari lorong sekolah.
"Tuh, pangeran tampan nyariin," goda Mira seraya menyenggol pundakku. Aku hanya memutar bola mataku malas dan membuang muka.
"Tha, muka lo sumpek banget, kenapa?" tanya lelaki itu. Ia berdiri di depan mejaku dan menatap wajahku. Aku tak memberi respon apapun, masih membuang muka.
"Nggak tahu, emang nggak jelas anaknya," sahut Mira yang membuatku memukul pundaknya agak keras. "Sakit bego!"
"Lagian berisik," balasku seraya menatap wajah lelaki yang sedari tadi menatapku. "Mau ngapain?"
"Cuman ngunjungin tuan putri masa nggak boleh?" ujranya yang membuat Mira tertawa keras. Dasar pemuda tak tahu malu!
"Berhubung pangerannya udah dateng, gue undur diri, ya," sahut Mira seraya berdiri meninggalkan kelas. Sekarang hanya tersisa aku, dia, dan murid-murid yang sekelas denganku.
"Woi, Tha, semangat dikit napa mukanya?" ucapnya seraya mendudukkan dirinya di kursi Mira yang sudah ditinggalkan pemiliknya barusan.
"Suka-suka gue lah, ribet banget lo," sahutku cuek.
"Dih." Ia pun memegang daguku dengan satu tangannya sehingga membuatku mau tak mau menatap wajahnya. Ia pun menangkup wajahku dan menarik kedua ujung bibirku menggunakan kedua ibu jarinya sehingga terlihat seperti aku sedang tersenyum.
"Nah, gini kan manis," ucapnya masih dengan posisi yang sama. Tak lama, ia pun ikut tersenyum.
"Geli." Aku pun dengan cepat menepis kedua tangannya dari wajahku. Semburat merah pun muncul di kedua pipiku. "Merah tuh pipinya," godanya. "Bacot!" Aku pun memukul lengannya beberapa kali dengan keras. Anehnya, dia malah tertawa terbahak-bahak.
"Udah ah, bisa bonyok gue," ucapnya setelah tertawa sejak tadi. "Oh, ya, gue bawa kabar bagus nih."
"Apa?" balasku tak tertarik. Lagipula topiknya selalu sama. Lia ini, Lia itu, semua tentang Lia.
"Lia nerima ajakan gue ngedate besok!" ucapnya bersemangat. Tuh kan, ini tentang Lia.
"Lo mah ngedate mulu, nembak kagak," sahutku. Percayalah, di dalam diriku aku sedang mati-matian menahan rasa cemburu. Tapi pada akhirnya aku juga bukan siapa-siapanya, mengapa harus cemburu?
"Nah, justru itu, gue mau nembak Lia besok," balasnya. "Menurut lo gue bagusan nembak dia dimana?" tanyanya bersemangat.
Aku pun menatap wajahnya. Bisa kulihat betapa bersinar kedua matanya itu. Sungguh sakit rasanya dapat melihat itu saat tahu ia bersemangat karena membicarakan gadis lain.
"Pantai. Dia suka lihat pemandangan disana," jawabku. "Lo bisa kasih dia mawar karena itu bunga kesukaannya," lanjutku.
"Pasti dia suka orang romantis," sahutnya. "Oke, gue ajak dia ke pantai aja. Thank you buat sarannya sayang," lanjutnya tersenyum-senyum.
"Sayang-sayang pala lo," balasku jengah.
Bisa-bisanya dia menggodaku padahal dia akan menembak temanku besok.
Dan bisa-bisanya aku luluh padahal dia akan menembak temanku besok.
Menyedihkan.
"Oke, pokoknya gue harus nembak dia besok," ucapnya. "Lo kasih semangat ke gue dong biar gue berani nembak si Lia," pintanya.
"Lah, kok gue?" balasku sewot.
"Ya, kan lo temen gue, masa ngga mau dukung?" tanggapnya.
Teman katanya.
Beritahu aku dimana teman yang menggodamu setiap hari, menelpon tengah malam dan berbicara sampai subuh?
Dia pasti sudah gila.
"Iya, iya. Lo jangan gugup pas nembak dia, biar dia tahu kalau lo serius sama dia," ucapku
"Good luck buat lo, semoga ngga keterima," ucapku dengan nada candaan.
Sebenarnya sih, aku benar-benar berharap dia akan ditolak. Siapa tahu ada kesempatan untukku.
"Jahat lo," balasnya terkekeh. "Pokoknya kalo gue keterima, lo bakal jadi orang pertama yang gue kasih tahu," ujarnya.
"Hm, balik sana, udah mau masuk," balasku tak acuh seraya memperhatikan jam tangan.
"Ya, see you soon, babe!"
Anjing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unrequited Love
Short StoryBagaimana jika lelaki yang kau sukai menyukai temanmu sendiri? Start: 19/05/2021 End: 24/05/2021