Kau baik-baik saja? (Jeno)

153 4 1
                                    

Aku mohon selamatkan dia

Aku mohon jangan ambil dia

Akan aku berikan apapun untuk nyawanya

Apapun

Pada pertengahan Oktober, suhu mulai menurun serta daun-daun pohon maple dan ginkgo mulai berjatuhan.

Dengan mengenakan celana jeans hitam dan hoodie putih, Jeno melangkahkan kakinya di taman kota. Earphone terpasang dengan apik memutarkan lagu All I Want yang di-cover oleh Alexandra Porat.

Entah mengapa akhir-akhir ini Jeno sering mendengarkan lagu itu.

Jika bukan karena Renjun yang memintanya bertemu, Jeno akan dengan senang hati bergelung di kamarnya seharian. Beruntunglah Jeno baik hati dan tidak sombong, hingga dengan sedikit kekesalan ia melangkahkan tungkainya untuk menemui sahabat tercintanya itu.

Meskipun tanah di taman basah dan sedikit becek sisa hujan semalam, taman ramai dengan orang-orang yang bermain dari pasangan orang tua dan anak, sepasang kekasih, bahkan orang-orang yang sekedar menemani hewan peliharaan mereka jalan-jalan.

Sepertinya hanya Jeno yang jalan-jalan sendirian. Hhmm... Menyedihkan.

Oh... Tidak juga.

Beberapa meter di depannya ada seorang pemuda memakai hoodie hijau mint yang berjalan bersimpangan dengannya, sendirian.


Air matanya enggan berhenti menangisi sang terkasih yang berada di pelukannya dengan tubuh yang semakin mendingin.

Ia tak sanggup kehilangan.

Ia tak sanggup ditinggalkan.

Lebih baik ia yang pergi.

Karena keberadaannya lah yang membuat sang terkasih pergi.

Karena rasa diantara mereka berdua adalah sebuah kesalahan.

Karena tak semestinya mereka bertemu dan saling mengenal.

Entah mengapa melihat pemuda itu membuat Jeno sedikit tidak nyaman. Semakin dekat jarak diantara Jeno dan pemuda itu, semakin sesak pula yang Jeno rasakan.

Tidak... Jeno tidak terserang asma. Jeno tidak punya riwayat penyakit asma, dia sehat.

Rasanya seperti rasa sedih, kecewa, amarah, dan rindu bercampur menjadi satu.

Untungnya Jeno pandai memasang raut wajah datar dan dingin hingga tepat saat Jeno dan pemuda itu berpapasan, apa yang Jeno rasakan tidak terlihat sama sekali. Dengan susah payah Jeno juga mengendalikan dirinya agar tidak melirik apalagi menengok pemuda itu.

Apa yang akan pemuda itu pikirkan tentang Jeno jika ia sampai melirik apalagi menatap pemuda itu dengan ekspresi aneh di wajahnya. Pemuda itu pasti risih.


Menit demi menit berlalu, air matanya masih enggan berhenti. Penyesalan mendalam masih ia rasakan. Permohonannya ia sampaikan tanpa henti, berharap Sang Kuasa bermurah hati mengabulkannya.

Semakin jauh jarak antara Jeno dan pemuda itu, entah mengapa membuat Jeno merasa sedih. Rasanya ingin sekali Jeno meraih tangan pemuda itu dan menggenggamnya seerat mungkin, mencegah pemuda itu pergi dari pandangannya.

Rasa sedih yang Jeno rasakan saat ini, sama seperti rasa sedih saat dulu ia kehilangan ibunya. Perasaan ketika kau kehilangan orang yang sangat kau sayangi.

Setelah berpikir sesaat, Jeno memutuskan untuk berbalik dan berniat menghampiri pemuda itu, mengesampingkan pikiran negatif tentang respon yang akan Jeno terima dari pemuda itu. Mungkin saja setelah Jeno menyapa pemuda itu, rasa sedih yang ia rasakan akan menghilang ataupun berkurang.

Sayangnya, bukannya berkurang rasa sedih yang Jeno rasakan kini malah bertambah dengan penyesalan, karena saat Jeno berbalik, pemuda itu telah menghilang entah kemana.



Rasa syukur ia ucapkan, Sang Kuasa mengabulkan permohonannya.

Terkasihnya dapat hidup kembali,

Dengan syarat, ia harus dilupakan, ia harus meninggalkan.

Tak apa, karena kini ia dapat melihat terkasihnya baik-baik saja.

Dengan sedikit panik Jeno berusaha untuk menemukan pemuda berhoodie itu. Namun setelah mencari-cari dan bertanya pada orang-orang yang berada di taman, tak ada seorangpun yang melihat pemuda itu. Pemuda itu lenyap begitu saja, bahkan terkesan seperti hanya Jeno saja yang melihat pemuda itu.

Dengan lesu Jeno duduk di bangku taman, air matanya perlahan turun tanpa bisa ia cegah, rasa sesak masih ia rasakan sampai akhirnya Renjun datang dengan panik melihat sahabatnya yang selalu berwajah datar kini menangis sendirian di bangku taman.

Pelukan hangat dari sahabatnya kini Jeno rasakan, bukannya berhenti, Jeno malah menangis semakin keras.

"Ada apa Jeno? Kenapa kau menangis? Kau baik-baik saja?" sederet pertanyaan yang diliputi kepanikan terdengar, namun Jeno tak mampu untuk menyuarakan jawabannya. Meskipun begitu, Renjun mengetahui dengan pasti bahwa sahabatnya ini tidak baik-baik saja.
















Terimakasih banyak udah baca, vote, sama komen cerita ini.

Maaf kalau aku gak bales komennya karena jujur aku bukan orang yang pandai merangkai kata(?) ataupun bicara sama orang-orang, apalagi bahasa Indonesia ku masih amburadul.

Maaf untuk typo dan kesalahan penulisannya.

Sekali lagi Terimakasih untuk semuanya.

⊂((・▽・))⊃

Jaemin Story Collection ~ JaeminXAllTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang