BAGIAN 1

218 10 1
                                    

Pagi ini cuaca sangat cerah. Embun tampak berkilauan di ujung dedaunan, kemudian lenyap di tanah. Sebagian menguap di udara yang masih terasa dingn. Jalan setapak yang menuju Perguman Pondok Ungu di puncak Bukit Renggawas masih sepi dan lengang.
Sementara kegiatan di perguruan itu sendiri telah berlangsung sejak pagi buta tadi. Sebagian murid bekerja bercocok tanam di ladang dan sawah. Sebagian lagi mencari kayu bakar. Tidak sebrang pun yang kelihatan berpangku tangan. Namun kegiatan mereka mendadak berhenti, ketika.....
"Aaa...!"
Pagi yang cerah dipecahkan teriakan panjang bernada kematian yang berasal dari bawah, tak jauh dari tempat mereka bekerja. Semua yang tengah bekerja kontan menoleh ke arah datangnya suara barusan.
"Wuaaa!"
Kembali terdengar teriakan yang cukup menggiriskan. Tiga orang murid Perguruan Pondok Ungu segera berlari ke arah datangnya suara teriakan tadi. Dan sebentar saja, mereka telah tiba di tempat kejadian. Di tempat itu, mereka mendapati seorang laki-laki tua bertubuh bungkuk. Sedang tepat di bawah telapak kakinya, tergeletak dua sosok tubuh yang telah binasa dalam keadaan menyedihkan. Wajah dan tubuh mereka hancur seperti habis dicakar binatang buas.
Mendengar ada suara langkah kaki mendekati, laki-laki bungkuk itu menoleh. Baru jelas kalau wajah kakek itu ternyata sangat mengerikan dengan bekas luka yang telah mengering di wajah tuanya.
Sambil menyeringai memperlihatkan giginya yang runcing kakek bungkuk itu mengawasi tiga orang murid Perguruan Pondok Ungu yang baru datang. Namun begitu melihat tatapan mata merah dan liar milik kakek ini, ketiga murid itu tanpa sadar mundur dua langkah ke belakang.
"Siapa kau, Kisanak? Mengapa seenaknya main bunuh di daerah kami...?!" tanya seorang murid yang bertubuh gagah.
"Kalian belum pantas mengetahui namaku! Ki Sangka Lelana sendiri tidak akan berani lancang...!" sahut kakek bungkuk itu, pongah. Ucapannya hambar, dan memandang rendah.
"Hei! Sopanlah sedikit kalau menyebut nama guru kami!" bentak murid lainnya yang bertubuh kurus.
"Hahaha...! Apa kehebatan Sangka Lelana?! Orang lain boleh menghormatinya. Tetapi aku tidak akan sudi! Kalau tidak percaya, coba saja kalian panggil dia untuk menemui aku di sini!" ujar laki-laki bungkuk itu, bernada mengejek.
"Keparat! Hadapilah aku dahulu, baru boleh menghadapi beliau!" bentak murid Perguruan Pondok Ungu yang bertubuh kekar.
"Hua... ha... ha...! Dasar bodoh masih bau kencur! Baru punya kepandaian seujung kuku saja mau berlagak di depanku!" ejek laki-laki bungkuk itu lagi.
"Malah kalau perlu, sekalian gurumu panggil ke sini"
Para murid Perguruan Pondok Ungu marah bukan main mendengar guru mereka diejek sedemikian rupa. Maka....
"Sheaaat!"
Cangkul di tangan murid yang bertubuh tegap dengan cepat terayun pada pundak laki-laki tua bungkuk ini. Maksudnya hanya hendak memberi peringatan saja, agar si bungkuk itu tidak terlalu menghina orang. Tetapi hanya sekali tangkis dengan tongkat cangkul itu terpental, karena terlepas dari genggaman pemiliknya.
Sementara itu dua murid lainnya segera menerjang menggunakan golok yang telah terhunus sejak tadi. Mereka tidak ragu-ragu lagi, karena telah menyaksikan sendiri kehebatan laki-laki tua itu. Sebenarnya mereka tidak punya urusan dengan manusia bungkuk yang berilmu tinggi itu. Tetapi karena pembunuhan tadi dilakukan di wilayah mereka, maka terpaksa harus membuat perhitungan. Sambil tertawa terbahak-bahak, manusia bungkuk itu memutarkan tongkatnya untuk memapak sambaran golok.
Trak! Trak!
Terdengarlah suara bentrokan keras. Kembali golok di tangan murid Perguruan Pondok Ungu terlepas dari tangan yang kontan terasa sakit. Sementara kulit mereka juga bagaikan hendak terkelupas.
"Gila! Tenaga orang tua ini bagaikan gajah!" dengus murid yang bertubuh kurus.
Murid berbadan kekar yang cangkulnya terlempar tadi segera mencabut pedangnya yang terselip di pinggang. Langsung dibabatnya pinggang lelaki bungkuk itu. Namun sambil mengegos ke kanan, dua jari tangan kiri laki-laki bungkuk ini berhasil menjepit mata pedang yang tajam. Dan sambil berputar, kakinya menendang persis mendarat di sambungan lutut.
Tug!
"Aaakh!" Pemuda berbadan kekar itu kontan jatuh terduduk. Pedangnya terlepas dari tangannya. Sementara dua orang segera mencengkeram dari belakang. Namun dengan gerakan memutar, kaki laki-laki bungkuk itu melepaskan tendangan beruntun yang bertenaga dalam tinggi. Akibatnya....
Jdug! Dugkh!
"Aaakh...! Aaakh...!"
Kedua orang murid Perguruan Pondok Ungu kontan tersentak kembali ke belakang, dengan kepala puyeng bukan main. Sebelum tubuh mereka menyentuh tanah, tongkat di tangan laki-laki bungkuk itu telah bergerak cepat.
Crok! Crok!
"Aaa...!"
Tidak ampun lagi, kedua murid itu ambruk dengan jiwa melayang, begitu ujung tongkat laki-laki bungkuk ini mendarat di tenggorokan mereka. Sementara murid-murid bertubuh kekar ini sudah bangkit lagi. Segera dia bersiul nyaring. Namun sebelum siulan selesai, laki-laki bungkuk itu telah berkelebat dengan ujung tongkat mengarah ke ulu hati. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Crap!
"Aaa...!" Dengan teriakan menyayat, pemuda kekar itu roboh dengan darah menyembur begitu ujung tongkat mendarat di ulu hatinya.
Sebentar laki-laki bungkuk itu memandangi sambil tertawa terbahak-bahak. Dan mendadak tubuhnya berkelebat lenyap.

178. Pendekar Rajawali Sakti : Satria Pondok UnguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang