Matahari baru saja bersinar cerah, menerangi mayapada. Namun sinarnya seolah-olah tak mampu menembus kabut di Puncak Gunung Merapi. Dalam keremangan pagi, dua sosok tampak berdiri di depan sebuah gubuk yang hanya satu-satunya di puncak gunung itu.
Tok! Tok! TokK!
Pintu rumah gubuk itu diketuk perlahan. Tetapi tetap tenang tak ada jawaban dari dalam. Kembali ketukan terdengar berkali-kali.
"Masuklah, Sakurang! Pintu tidak dikunci...!"
Terdengar sahutan bernada perintah dari dalam. Dan ini membuat dua sosok yang tak lain Setan Hitam dan Setan Bungkuk terperangah. Sebab suara dari dalam itu seolah-olah tahu siapa yang datang. Padahal keduanya belum bersuara apa-apa. Jelas hal ini menunjukkan betapa tingginya kepandaian sosok yang berada di dalam gubuk ini.
Dengan hati-hati, Setan Hitam membuka pintu, hingga menimbulkan suara berderit. Begitu pintu terbuka, dari dalam menyambar angin panas yang kuat luar biasa. Bagaikan dihempas badai, Sakurang dan Kuntarawang terlempar keluar.
Blug! Blug!
Sambil merayap bangun mereka memandang ke arah pintu gubuk. Dengan tertatih-tatih Sakurang dan Kuntarawang kembali masuk ke dalam gubuk. Begitu masuk, kedua tokoh sesat itu melihat seorang laki-laki tua berkulit hitam. Rambutnya sebagian telah rontok dan berwarna putih tak terurus.
"Keponakan tolol...! Semakin tua, semakin geblek saja! Mau apa kau datang kemari, Sakurang?!" tanya penghuni gubuk yang tak lain Cakra Dana.
"Aku sedang dalam kesusahan, Paman. Aku ingin minta tolong...," jawab Sakurang sambil menundukkan kepala, begitu telah berada satu tombak di depan laki-laki tua itu.
"Sudah kuduga...!"
"Menduga apa, Paman...?!" tanya Sakurang kembali.
"Kalau kau muncul kemari, pasti mau minta tolong...! Coba kalau lagi senang, mana mau ingat padaku...!" gerutu Cakra Dana yang dikenal sebagai datuk sesat yang sangat ditakuti.
"Maafkan aku, Paman. Nanti kalau sudah selesai urusanku, pasti aku datang kemari dengan membawa hadiah kesukaanmu...!" ucap Sakurang sambil tetap menundukkan kepala.
"Katakan, apa tujuanmu datang kesini...?" tanya Cakra Dana kembali.
"Dan siapa temanmu itu?"
Dengan singkat, Sakurang memperkenalkan Kuntarawang, sekaligus menceritakan segala yang telah terjadi pada dirinya. Sementara datuk sesat yang berjuluk Tangan Api itu hanya mendengarkan dengan pandangan mata berubah tajam. Dan tiba-tiba tangannya bergerak cepat ke arah meja. Lalu....
Brak!
Meja dari kayu jati itu hancur berantakan terkena hantaman tangan kurus kering milik si Tangan Api. Bahkan kayu jati itu hangus bagaikan terbakar.
"Hm.... Sebaiknya sekarang juga kita berangkat! Kalau sampai membuat malu, akan kupecahkan kepala kalian...!" ajak Cakra Dana sambil mengancam, setelah mendengar cerita keponakannya.***
Kembali dunia persilatan seperti ditantang untuk menuntaskan keangkaramurkaan. Petaka seolah tak mau tuntas dari mayapada. Telah terdengar kabar kalau desa-desa yang terdapat di sepanjang jalur Gunung Merapi dan Bukit Renggawas terjangkit penyakit aneh yang tak dapat diobati. Para penduduk binasa dalam keadaan menyedihkan.
Di tubuh penduduk yang tewas, penuh bisul dan nanah. Lalu tubuh mereka mencair sedikit demi sedikit. Akhirnya yang tersisa hanya tinggal tulang-belulang saja. Dari hasil penyelidikan, diketahui kalau kematian para penduduk diakibatkan racun-racun yang ditebar di sumber-sumber air. Dan racun sejenis itu, hanya seorang yang memiliki.
Beberapa tokoh persilatan aliran putih segera mengetahui kalau semua itu hasil perbuatan Setan Hitam dan paman gurunya yang bernama Cakra Dana, serta seorang tokoh yang dikenal bernama Kuntarawang alias Setan Bungkuk. Seperti sepakat, para tokoh putih segera mencari manusia kejam yang tidak berperikemanusiaan itu.
Petaka itu cepat tersebar luas dari mulut ke mulut. Maka tak heran kalau sekarang di tiap desa berkumpul beberapa tokoh persilatan golongan putih yang hendak menangkap biang keladi petaka itu. Sementara itu di Desa Selagah, para tokoh persilatan berhasil memergoki tiga biang perusuh yang meresahkan selama ini.
"Hahaha...! Kiranya kemunculan kita telah disambut para tokoh persilatan! Ini merupakan suatu kehormatan besar bagi diriku yang sudah tua bangka ini...!" kata Cakra Dana tenang. Sementara cambuk merah di tangannya dilecutkan, menimbulkan suara meledak-ledak memecah kesunyian.
"Huh...! Dasar manusia iblis! Di mana-mana selalu haus darah!" dengus salah seorang tokoh persilatan yang ikut mengepung.
Dia adalah seorang laki-laki tua dengan guci arak di tangan. Mulutnya yang keriput tertawa-tawa lebar. Para tokoh persilatan tahu, kalau kakek itu bernama Ki Demong, seorang tokoh yang telah membuat nama besar sebagai Pamabuk dari Gunung Kidul.
Melihat kalau orang itu tak lain adalah Ki Demong yang selama ini menghilang entah ke mana, dan kini muncul menghadang, Sakurang dan Kuntarawang jadi berang dan marah bukan main. Jari-jemari mereka mengepal sampai terdengar suara berkerotokan keras.
"Hei, Demong.... Pemabuk Gila! Agaknya kau sudah bosan hidup! Biar kepala jelekmu itu kuremukkan pakai tongkatku ini!" seru Kuntarawang.
"Hahaha...! Biar jelek, aku masih sayang. Kepalaku ini selalu berpikir, bagaimana melenyapkan nyawamu...!" sahut Ki Demong menggertak.
Saat itu juga, Setan Bungkuk mengebutkan tongkatnya. Namun dengan sigap, Pemabuk dari Gunung Kidul mengebutkan tongkatnya. Namun dengan sigap, Pemabuk dari Gunung Kidul mengangkat gucinya.
Trang!
Tongkat itu mental kembali. Sementara dari dalam guci, muncrat tuak merah yang langsung meluncur ke muka Kuntarawang. Setan Bungkuk sadar tuak itu dapat melukai mukanya. Maka dengan cepat dia melompat mundur, sehingga serangan itu lewat di bawah kakinya. Begitu menjejak tanah, Setan Bungkuk kembali meluruk sambil mengebutkan tongkat ularnya.
"Sheaat!"
Berkali-kali tongkat di tangan Kuntarawang menyerang Ki Demong. Tetapi Pemabuk dari Gunung Kidul selalu dapat menangkis dengan guci yang penuh berisi tuak merah itu. Bahkan dengan seenaknya Ki Demong menenggak tuak merah itu berkali-kali.
Tidak lama, Ki Demong telah mabuk. Tubuhnya terhuyung-huyung ke sana kemari. Tetapi semakin mabuk, jurus silatnya jadi semakin ampuh. Bahkan mulutnya berkali-kali menyemburkan tuak ke arah muka Kuntarawang. Kelihatannya sepele. Padahal pada waktu cipratan tuak mengenai pundak Setan Bungkuk sakitnya bukan main. Bahkan bajunya sampai banyak berlubang.
Tentu saja Setan Bungkuk jadi bertambah beringas. Tongkatnya dimainkan sedemikian rupa, sampai menimbulkan angin menderu-deru. Lewat beberapa jurus, pertempuran mereka jadi berlangsung seru dan sengit. Lengah sedikit, berarti kematian akan menjemput.
Ketika Sakurang hendak membantu, langkahnya tertahan oleh seorang wanita tua dengan senjata setangkai bunga merah yang terbuat dari besi baja yang berukir indah sekali.
"Aha...! Kiranya aku berhadapan dengan Nyai Dayang Sumbi, seorang tokoh terkenal yang telah lama tidak muncul dalam dunia persilatan ini! Selamat jumpa, Nyai...!" kata Setan Hitam, pongah.
"Huh...! Tidak perlu berbasa-basi! Kalian terlalu banyak berbuat kejahatan! Maka aku terpaksa turun gunung lagi, bersiaplah untuk mampus...!" hardik wanita tua yang bernama Dayang Sumbi.
Sehabis berkata, Nyai Dayang Sumbi menggerakkan tangan kanannya. Maka tangkai bunga merah itu bergerak-gerak, bagaikan setangkai bunga di atas pohon yang bergerak tertiup angin.
"Heyaaat...!"
Tiba-tiba senjata aneh itu meluncur ke depan. Kembang dan daun-daun sekaligus menyerang tujuh jalan darah di tubuh Sakurang secara bertubi-tubi. Namun dengan tidak kalah cepatnya, tokoh sesat itu berkelit sambil mengibaskan tangannya untuk merampas senjata Nyai Dayang Sumbi.
"Hebat...!" puji Sakurang sambil terpaksa mengeluarkan jums menghindar yang dimilikinya.
"Bagus...! Mari kita mengadu nyawa! Aku sudah muak melihat kau hidup dalam dunia ini!" tantang Nyai Dayang Sumbi.
Setelah melenting membuat jarak, Setan Hitam segera mengirimkan serangan jarak jauh. Angin pukulan yang mengandung racun dan berbau amis segera meluruk ke arah tubuh Nyai Dayang Sumbi. Namun dengan memutar senjatanya yang berbentuk bunga, wanita tua itu berhasil menghalau serangan.
Sementara itu, Cakra Dana hanya mengawasi jalannya pertarungan dengan pandangan dingin. Namun kewaspadaan tak lepas dari sikapnya. Dalam hati, Cakra Dana mengakui kehebatan orang yang menjadi lawan keponakannya.
Di pihak penghadang ternyata masih ada sembilan orang yang belum turun tangan. Mereka semua mengawasi Cakra Dana dengan pandangan tajam dan mengancam. Mendapat pandangan seperti itu, si Tangan Api mengerutkan keningnya.
"Hei, Monyet-monyet Buduk...! Mau apa kalian mengawasi aku seperti itu.... Sudah bosan melihat dunia rupanya...?!" tegur Cakra Dana, mengejek.
"Kalau melihat usiamu, kau tidak lama lagi akan mati...! Tetapi lagakmu pongah sekali...! Kalau sudah ingin mati, biar kuturuti keinginanmu itu!" hardik seorang tokoh persilatan itu.
Sambil memperdengarkan suara gerengan bagai harimau luka, Cakra Dana menghentakkan tangannya, mengirimkan serangan jarak jauh. Hawa panas bagaikan angin prahara seketika bergulung-gulung menerpa ke arah tokoh persilatan itu.
"Haiiit!"
Namun dengan kewaspadaan penuh, tokoh persilatan ini cepat menghentakkan tangannya, memapaki.
Blarrr!
"Aaakh...!"
Terdengar ledakan dahsyat yang disusul jeritan kesakitan begitu dua pukulan beradu. Tampak tubuh pendekar yang memapak terlempar dengan tangan patah-patah. Belum sempat dia jatuh ke tanah Cakra Dana telah berkelebat ke arahnya. Lalu....
Desss...!
"Aaa...!"
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu dada pendekar itu telah terpukul dengan telak. Tubuhnya terpelanting kembali dengan dada hangus dan tertera cap telapak tangan berwarna hitam.
Melihat seorang kawannya mati, lima orang pendekar lain segera menerjang dengan geram. Lima buah senjata tajam langsung mengurung dan mengancam daerah berbahaya di tubuh si Tangan Api.
Sambil tertawa-tawa pongah, Cakra Dana berkelebat di antara senjata tajam para pendekar. Tangannya dengan gerakan aneh bergerak bagaikan ular, menutuk kesana kemari. Siapa kurang cepat, berarti akan menerima nasib naas. Karena dalam setiap gerakannya, si Tangan Api selalu menggunakan tenaga dalam yang tinggi, dan sanggup menghancurkan siapa saja.
Dalam waktu singkat, datuk sesat itu telah berada di atas angin. Sementara itu ketiga orang pendekar yang belum bertarung segera mengeroyok Setan Hitam.
"Yeaaat!"
Trang! Trang!
Sakurang memusatkan perhatian pada Nyai Dayang Sumbi. Senjata Bunga Merah di tangan kanan wanita tua itu sangat berbahaya dan selalu mengancam. Untuk menghadapi mereka semua, Setan Hitam merogoh sakunya. Dan begitu tangannya keluar, langsung disentakkan dengan cepat.
Ser! Ser!
Para pendekar itu segera memutar senjata bagai baling-baling untuk memapak benda-benda yang meluruk. Beberapa benda yang tak Iain binatang-binatang berbisa berhasil dipukul jatuh. Tapi dua binatang berbisa berhasil mengenai leher dua orang pendekar. Sambil menjerit keras, kedua pendekar itu jatuh berkelojotan, lalu mati kaku dengan lehernya terdapat dua ekor kalajengking merah.
Sementara yang menuju ke arah Nyai Dayang Sumbi berhasil dihantam senjata Bunga Merah yang selalu bergerak aneh. Sedangkan pendekar yang seorang lagi jadi nekat. Dengan mengerahkan seluruh kemampuan, pedangnya membabat kaki Sakurang.
"Yeaaa...!"
Dengan gerak cepat Setan Hitam melompat ke atas. Dan tiba-tiba kakinya melepas tendangan melingkar, menendang ke arah kepala. Dengan cepat pendekar itu berhasil menghindar dengan mengegoskan, tubuhnya. Namun tangan Setan Hitam yang beracun mendadak berkelebat menghantam muka.
Diegkh!
"Aaa...!"
Tidak ampun lagi, pendekar itu meraung keras sambil menutupi mukanya yang hancur dan hangus. Bagai nangka busuk tubuhnya jatuh dalam keadaan binasa.
Melihat kejadian mengenaskan, Nyai Dayang Sumbi meluruk sambil mengirim gelombang serangan dengan senjatanya sampai tujuh kali secara beruntun. Setiap serangannya mempunyai tujuh tikaman, mengurung tubuh Sakurang dari semua jurusan.
Maka Setan Hitam seakan dikeroyok belasan orang yang berpedang hebat. Tak tanggung-tanggung lagi jurus yang dimainkan Nyai Dayang Sumbi. Orang-orang persilatan mengenalnya sebagai jurus 'Pedang Bunga Merah' yang paling tinggi. Jarang ada orang yang sanggup menahan serangan itu.
Warna merah segera mengurung tubuh Sakurang yang berkulit hitam. Sehingga warna hitam dan merah jadi saling libat dengan kecepatan luar biasa. Pukulan beracun tokoh sesat itu selalu kandas dalam gulungan sinar senjata bunga merah milik Nyai Dayang Sumbi.
Sementara itu Ki Demong, selalu berhasil membendung serangan tongkat Kuntarawang dengan gucinya. Bahkan sesekali tuaknya disemburkan ke wajah lawannya.
"Ciaaat...!"
Menghadapi serangan, Setan Bungkuk jadi kelabakan. Maka dengan cepat jurusnya dirubah. Dan kini kaki dan tangannya ikut bergerak menyerang. Sehingga serangannya kali ini datang bagaikan hujan angin.
Namun pendekar yang gemar mabuk dan sedikit urakan itu, masih dapat mengimbangi Kuntarawang dengan jurus anehnya. Tubuhnya selalu terhuyung-huyung. Kadangkala berjongkok dengan kaki bergerak mundur dan maju. Lalu tubuhnya rebah hampir mencium tanah, kemudian melompat-lompat dengan lutut melayang-layang bagaikan sakit ayan.
"Sheaaat...!"
Tiba-tiba dengan gerakan tidak terduga, tubuh Pemabuk dari Gunung Kidul melenting ke udara. Ki Demong telak menghajar punggungnya dengan keras.
Derrr...! "
"Aaakh...!" Sambil mengeluarkan suara melenguh, tubuh Setan Bungkuk terlempar sambil memuntahkan darah segar.
Melihat rekannya dalam bahaya, Sakurang yang sempat melirik melemparkan beberapa binatang-binatang berbisa yang sangat berbahaya.
Namun sambil tertawa-tawa, Ki Demong malah menenggak tuak merahnya. Dan dengan cepat bagai kilat, tuak merah itu disemburkan pada binatang berbisa yang meluncur ke arahnya. Tidak ampun lagi binatang berbisa itu terbakar, dan hangus sebelum sampai pada tujuan. Bagaikan barang rongsokan, binatang berbisa itu berjatuhan ke tanah.
Menggunakan kesempatan yang sedikit, Nyai Dayang Sumbi menghantamkan senjata Bunga Merahnya ke perut Sakurang. Tetapi sambil berteriak keras Setan Hitam melompat ke samping. Sayang kali ini dia salah langkah. Memang serangan itu hanya pancingan belaka! Karena serangan yang sesungguhnya adalah tendangan berputar ke arah pundak.
Dagkh!
"Aaakh...!"
Tubuh Setan Hitam terhuyung-huyung terkena tendangan Nyai Dayang Sumbi. Dia berusaha berjumpalitan, menjauhi. Dia khawatir wanita itu akan melepaskan serangan berbahaya.
"Yeaaat!"
Begitu mendarat di tanah, Setan Hitam melemparkan binatang-binatang beracun ke arah Nyai Dayang Sumbi. Serangan ini sangat berbahaya, karena dilancarkan dalam jarak dekat.
Karena tidak menyangka ada kalajengking dan kelabang yang berhasil menempel di tubuhnya, Nyai Dayang Sumbi terperangah. Apalagi binatang berbisa itu langsung saja menyengat. Tetapi karena tenaga dalam wanita sakti ini tinggi, tak heran kalau masih dapat bertahan.
Melihat kesempatan baik Sakurang segera memanfaatkannya. Diberondongnya Nyai Dayang Sumbi dengan serangan jarak jauh yang mematikan.
"Baiklah.... Manusia keparat...! Aku akan adu nyawa denganmu!" desis wanita tua itu sambil menerjang, tanpa mempedulikan keselamatan dirinya lagi.
"Hahaha...! Tidak perlu diadu-adu lagi, Nenek Jelek! Sesaat lagi kau akan mati dengan sendirinya. Karena tidak ada seorang pun yang tahu terhadap racun binatang peliharaanku...!" ejek Sakurang sambil terus mempermainkan lawannya yang sudah termakan racun jahat.
"Aaakh...!"
Benar saja! Karena tidak diberi kesempatan untuk mengobati bekas gigitan binatang beracun, Nyai Dayang Sumbi mulai limbung dengan pandangan jadi gelap. Tangan yang memegang senjata Bunga Merah mulai gemetar. Dan yang lebih celaka lagi, tenaga dalamnya seakan-akan lenyap tiada bekas.
Brukkk!
Tubuh perempuan tua itu ambruk dengan kulit berubah warna menjadi hitam legam.
"Hehehe...! Segala wanita tua mau banyak tingkah di hadapanku! Tahu rasa kau sekarang...!" ejek Sakurang sambil tertawa terbahak-bahak.
"Aaa...!"
Dipertarungan lain, terdengar beberapa teriakan kematian. Tampak semua lawan Cakra Dana terpental dengan tubuh hangus. Itulah akibat pukulan 'Tangan Api' yang dahsyat. Bahkan jarang ada yang sanggup menahannya.***
KAMU SEDANG MEMBACA
178. Pendekar Rajawali Sakti : Satria Pondok Ungu
AksiSerial ke 178. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.