Fear Not

606 9 3
                                    

Dering bel sekolah tanda istirahat mengagetkan seluruh siswa yang sedang fokus memperhatikan penjelasan Mr. Dawson mengenai unsur periode tiga, tidak terkecuali Mr. Dawson. Pria itu menghela napas panjang sambil menutup buku pegangannya. “Baiklah anak-anak,” kata Mr. Dawson. “Terselamatkan oleh bel,” lanjutnya lirih, lebih terdengar seperti sindiran melihat raut wajahnya yang berkerut-kerut. “Allie, tolong nanti sepulang sekolah, kau kumpulkan essay milik teman-temanmu, okay?” perintah Mr. Dawson lalu pergi meninggalkan kelas.

Teman-temanku termasuk aku sendiri tidak percaya Mr. Dawson masih ingat akan tugas essay yang diberikannya sebelum libur musim panas. Itu sudah lama sekali! Untung saja aku menyelipkan di buku kimiaku.

“Mr. Dawson benar-benar keterlaluan. Aku tidak membawa tugasku! Aku bahkan tidak ingat dimana meletakkannya. Kenapa tidak dari dulu saja sih!” gumam Mandy, kawan seperjuanganku. Ya, kawan seperjuanganku, kami sedang memperjuangkan sesuatu disini.

 Aku beranjak dari kursiku menuju ke loker untuk mengambil peralatan menggambar. Ya, rutinitasku selama jam istirahat selain makan di kantin yaitu menggambar. Aku biasanya pergi ke bukit belakang sekolah. Aku dapat melihat kegiatan-kegiatan para murid dari situ, tempatnya nyaman dan rindang, ada dua buah bangku disitu, biasanya sih digunakan murid-murid science club untuk penelitian, banyak kupu-kupu disana.

Tanah di bukit itu becek dan licin, membuatku harus ekstra hati-hati untuk kesana, sedikit kesalahan saja dapat membuatku tergelincir dan membuat kotor pakaianku, namun itu tidak seberapa dengan pemandangan yang aku dapatkan. Aku dapat melihat anak-anak bermain basket dan ada juga yang bermain football. Dan tentu saja sekelompok cheerleader sedang beraksi. Aku selalu mempertanyakan keberadaan cheers di sekolah ini. Yang aku ketahui, kelompok ini selalu mengadakan pesta setelah pertandingan basket atau football atau apalah yang berkaitan dengan anak cowok. Mandy yang pernah diundang ke pesta itu mengatakan, pesta yang sering didakan di rumah kapten cheers itu bermasalah. Pesta itu tidak dapat lepas dari minum-minuman keras dan seks.

Sejak laporan dari Mandy itulah aku memberanikan diri berbicara di depan majelis siswa untuk segera menon-aktifkan club cheers itu. Daaan, ya, Ruby, si ketua cheers mulai menindasku sejak saat itu. Dia juga mengerahkan semua pasukannya untuk memusuhiku. Sampai-sampai Tim, ketua klub basket yang juga pacarnya ikut memusuhiku. Aku sih tidak masalah. Toh masih banyak yang membelaku. Yang aku keluhkan adalah lambatnya kinerja majelis siswa dalam menanggapi masalah itu.

Aku mulai membongkar perlatan menggambarku. Aku mengambil objek lapangan kali ini. Aku menggoreskan pensilku ke kertas berukuran A3 . Menyenangkan rasanya ketika jari-jariku meluncur menciptakan sebuah gambar yang bagus.

“Hey,” seseorang mengagetkanku dari belakang. Spontan aku mencari sumber suara itu. Sesosok laki-laki berdiri menatapku. Aku kira hanya aku yang berada disini. Aku tidak pernah melihat cowok itu sebelumnya di sekolah ini. “Apa yang kau lakukan disini sendirian?” tanyanya sambil mendekat.

“Menggambar,” jawabku dengan malas. Cowok itu telah membuyarkan konsentrasiku.

 “Oh,” laki-laki itu mulai duduk di sebelahku. “Boleh aku lihat?” tanyanya sambil mencondongkan tubuhnya.

Hah, aku baru saja mulai. Dengan terpaksa aku menyerahkan buku gambarku, aku tidak sanggup menolak seseorang untuk melihat buku gambarku. Bukannya sombong, tapi aku memang senang sekali dipuji. Dia membolak-balik buku itu sambil berdehem sesekali. “Lumayan,” katanya. Aku hanya tersenyum simpul.

 Aku baru sadar kalau dia ternyata mempunyai kulit yang pucat. Sangat pucat. Aku memperhatikan matanya yang bergerak menelusuri setiap goresan di buku gambarku. Matanya hijau dan tajam, membuat bulu kudukku meremang. Siapa dia?

Fear NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang