Keesokan harinya aku harus membuat sarapanku sendiri. Meg masih terlelap di kasurnya. Aku memutuskan untuk tidak membangunkannya. Sebelum aku berangkat, aku menuliskan memo dan menempelkannya di kulkas. Hanya sekedar menyarankan untuk mengambil cuti. Tanpa sadar perhatianku menyamai seorang kekasih. Eh.
Aku menghabiskan waktu untuk tetap berada di lingkungan sekolah. Aku tidak pernah mengeluarkan peralatan menggambarku karena setiap kali melihatnya, membuatku mengingat kejadian-kejadian aneh yang menyangkut pria itu. Dan aku teringat kembali. Aku berusaha sesibuk mungkin, terlibat dalam rapat organisasi saat jam istirahat, berusaha sekuat tenaga untuk mengikuti alur Mr. Dawson dan menjauh sejauh mungkin dari Ruby dan kawan-kawannya. Sedikit membosankan memang, disaat remaja seusiaku mondar-mandir di kantin dan bercanda dengan teman-temannya, aku malah berkutat dengan kertas-kertas dan bergaul dengan para kutu buku. Aku mulai meragukan diriku sendiri. Mungkin aku terlalu dewasa atau mereka yang memang terlalu kekanak-kanakan.
Sepulang sekolah aku mampir dulu ke sebuah kedai tidak jauh dari sekolah. Aku belum makan tadi siang dan tidak ada salahnya mencoba sandwich di kedai baru itu. Aku keluar dari dalam mobil lalu memperhatikan sekeliling. Kedai ini cukup ramai. Saat aku menoleh ke kiri, aku mendapati seorang pria berkacamata hitam sedang tersenyum dan menghampiriku. Sial, aku tahu siapa pria itu.
"Allie!" sapanya sambil melambaikan tangan. Aku cepat-cepat berbalik kembali ke dalam mobil, tapi terlambat. Pria itu berlari lalu menarik lenganku. "Hei, mau kemana?" sial sial sial!
Aku berusaha kembali ke mobilku dan berusaha terlihat seacuh mungkin, tapi Logan terus mencegahnya. "Kenapa kita tidak mecoba sandwich disini?" rengeknya. Lalu dengan gampangnya dia menyeretku menjauhi mobil, masuk ke kedai itu lalu mendudukkanku di sebuah bangku di bagian pojok kedai itu. Seorang pelayan menyerahkan daftar menunya. "Kau mau pesan apa? Aku yang traktir,"
Aku memang lapar tapi tiba-tiba saja nafsu makanku hilang. Aku memutuskan untuk tidak memesan apa-apa tapi dia bersikeras dan akhirnya dia memesan dua sandwich deluxe dan dua gelas coke. Setelah pelayan itu pergi, dia melepas kacamatanya. "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu disini,"
Aku diam saja, memalingkan wajahku melihat ke luar kedai lewat jendela. Jujur tempat ini kurang pencahayaan dan aku lebih suka melihat Logan di bawah sinar matahari seperti diluar tadi.
"Ayolah, anggap ini sebagai permintaan maafku," Logan terus berusaha memancingku. "Baiklah kalau begitu. Tapi aku ingin mengenalmu lebih jauh," Logan menatapku dengan serius.
"Mengenalku? Apa yang ingin kau ketahui dariku?" seorang pelayan akhirnya membawakan pesanan Logan. Aku memandang sandwich di depanku dengan jijik.
Logan menyesap cola nya. "Entahlah, makanan kesukaanmu mungkin. Ayolah, ceritakan padaku,"
"Aku menyukai pizza, pizza apa saja. Aku menyukai kucing dan tidak menyukai anjing," aku menghela nafas panjang lalu akhirnya menatap lawan bicaraku yang satu ini lekat-lekat. "Giliranku," Logan mengangguk setuju.
"Apa kau ini?" aku menurunkan nada suaraku, mencoba mengeluarkan efek dramatis dari pertanyaanku. Siapa saja pasti akan bingung dengan pertanyaan ini. Mereka mungkin akan meralat pertanyaan seperti ini dengan menggantinya dengan kata 'siapa', tapi aku tidak pernah menganggapnya sebagai manusia. Aku menatap Logan lekat-lekat mencoba mencari perubahan di raut wajahnya. Dan ya, aku melihatnya. Entah ini kenyataan atau hanya ilusi, matanya menggelap. Dia melipat kedua tangannya di dada dan senyum kecil terlukis di wajahnya. "Ayo, jawab aku," tantangku. "Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu,"
"Tentangku?" tanyanya singkat. Dia tidak berkedip sama sekali. Aku kira dia akan gugup atau ketakutan karena sebentar lagi kedoknya akan terbuka, namun malah sebaliknya. Dia balas menatapku. "Aku hanya orang yang bosan yang sedang pergi berlibur ke kota kecil ini. Aku menyukai segala jenis makanan dan minuman. Tidak ada yang spesial," jawabnya santai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fear Not
Wampiry"Aku hampir saja mati saat itu, saat dia terlihat begitu mempesona dan membuat siapa saja takluk padanya. Aku lebih memilih mengakhiri hidupku sendiri pada saat ini juga dengan belati yang selalu aku bawa kemana-mana daripada hidup di tangan makhluk...