Jembatan Anyar

27 5 0
                                    

Butuh memelas-melas, mengadukan nasib, meng-upload di media-media publik barulah mereka turun menyambangi. Lagi, perlu sedikit pemanis guna mereka lekas menyikapi.

Jembatan yang menjadi satu-satunya akses transportasi kini mulai terbengkalai. Hanya satu penghubung desa Sukagetir menuju kota, yakni jembatan bambu yang dirakit alakadarnya.

Belasan manusia berpakaian lusuh berjalan silih berganti. Terik matahari tak dihiraukan, seolah kulit keriput itu kebal oleh rasa. Sementara, satu orang berpakaian rapi hanya berdiri mengamati kinerja karyawan. Gaji delapan puluh ribu dalam sehari yang dijanjikan membuat mereka tak putus semangat. Peduli setan dengan rusuk yang remuk, bodo amat dengan pinggang yang gering, yang terpenting anak istri bisa makan nasi, setidaknya untuk hari ini dan esok nanti. Seminggu ke depan? Bisa dicari lagi.

***

Saya berdiri menghadap utara, bibir tak hentinya berdecak. Dua tahun yang lalu, bapak dan tetangga yang lain bermandikan peluh demi menyelesaikan pekerjaan sesuai waktu tertentu. Lima bulan yang lalu, bapak meninggal dunia. Meninggalkan saya dan emak bersama luka, padahal beliau sempat meminta; supaya dibuatkan penutup jembatan agar setidaknya warga tak kepanasan ketika menyeberang.

“Pri, warga sering mengeluh kepanasan saat menyeberang. Nanti kalau kamu sukses, buatkan penutup langit-langit jembatan ... kalau tidak rusak duluan.” Begitu ingat saya.

Sekarang, saya berdiri di depan jembatan, memastikan ukuran dan diameter jembatan. Namun, tak juga mengukur, nyatanya jembatan sudah ambrol bersama pengendara yang melintas di atasnya.

Silakan mengkritik.

Bacaan Ketika SenggangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang