11

328 77 10
                                    

🔊 : “Yaya terserah lo, gue kan cuman ngasih saran. Terus planning lo nanti apa lagi?”

Terdengar suara gadis di seberang sana tepatnya melalui sebuah panggilan. Haidan hanya terkekeh pelan sejenak, “Ini juga gara-gara lo, kalo bukan karena taruhan yang gue inginin. Ngga mungkin gue terima.”

🔊 : “Kok gue sih yang di salahin? Kalo lo ngga mau bisa aja lo batalin.”

“Fiona, ngga semudah itu. Yaudah gue chat lo nanti— Saudara kembar gue lagi nginep.”

🔊 : “Oke, kalo lo minta bantuan bilang ke gue.”

Pip!

Setelah mendengar kalimat terakhir dari sana, Haidan langsung memutuskan sambungan itu— kebetulan, di waktu bersamaan Haidar membuka pintu kamarnya. Haidar mengusak rambutnya pelan dengan handuk bertengger di salah satu bahu lebarnya.

“Abis telponan sama siapa lo?” Tanya Haidar.

“Sama Fiona.”

Haidar membulatkan mulutnya, “Bau bau balikkan, bisa ngga nih?” Saudara kembarnya hanya melemparkan ponsel di atas pulau kapuk sana. Menghela nafasnya. “Di bilang gue anti balikkan sama mantan.”

“Omongan kadang bullshit.” Balas Haidar santai— hal itu membuat Haidan berdecak. “Terserah lo dah.” Lalu tangan lelaki itu menyambar kunci motornya.

Haidar yang melihat itu pun mengerutkan alisnya. “Lah, mau kemana lo?”

Hang out sama temen.” Haidar kembali membulatkan mulutnya— tapi jarang-jarang juga saudaranya ini keluar di malam hari seperti ini. Dan waktu terakhir kali, itu saat Haidan confess ke Andira kan?

“Masa iya gue harus buntutin anak itu lagi? Kan privasi. Tapi kalo begini gue curiga— tapi juga hari ini gue ada jadwal balap lagi.” Gumam Haidar— rasanya frustasi sendiri dengan kepalanya.

Terdengar suara motor keluar dari kediaman sana. Haidar menatapnya dari lantai dua. Kemudian mengedikkan bahu acuh. “Percaya aja dulu.”


🍁🍁🍁


Haidar menaruh helm tepat di atas bagian body motornya. Ah, daripada frustasi mikirin tugas kuliah sama urusan sehari-harinya lebih baik dirinya menyegarkan diri dengan hobinya.

Dirinya melangkahkan diri ke arah inti arena— tercium aroma minuman keras dan rokok yang menyapa indra penciumannya. Sudah terlalu biasa memang, sampai dirinya berhenti dan mendaratkan tubuhnya di salah satu bangku sana.

“Yang turun sekarang lo kan, Dar?” Tanya salah satu temanya, Gatra. Haidar membalasnya dengan manggut-manggut, mengambil salah satu puntung rokok dari atas meja sana yang sama sekali belum terbakar. “Punya gue!” Sunggut temannya, sembari mengambil kembali rokoknya cepat.

“Yailah, gue bayar sini.”

“Gue juga bisa beli, cuman males gue beli rokoknya. Jauh dari sini.” Mendengar balasan temannya ia hanya berdecak— dirinya juga sangat malas.

“Mending lo siap-siap dah, rival lo udah pada siap-siap tuh.” Kini bukan suara berat atau suara khas pria yang ia dengar melainkan nyaring perempuan. Haidar menoleh. “Yaudah lah gue cabut—”

Gadis itu menahan dirinya. “Sebentar, gue pengen ngasih wejangan dulu. Mantan saudara lo ada disini.” Bisik orang itu di akhir. Haidar mengedikkan bahunya abai. “Terus urusannya sama gue?”

Tangan perempuan itu menoyor kepalanya. “Ganteng doang, ngga peka banget sama keadaan. Lo kan lagi gebet Andira— dan lo ngga nyadar apa keberadaan Fiona itu semakin deket di sekitaran lo?”

hai, haidar & haidanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang