3

585 93 31
                                    

Tes...

Sebuah cairan kental berwarna merah menetes dari hidung mancung Vano.

Dengan terburu tangan Vano bergerak untuk menghapus bercak darah itu. Vino yang semula menunduk ketakutan akhirnya mulai mendongakan kepalanya dan menatap mata Rico."Ta-tadi disekolah Vino dipukul sama temen Vino pah" ucap Vino lirih.

Rico yang mendengarnya langsung mengeraskan rahangnya."Apa! Kenapa bisa! Papah kan udah suruh Vano buat jagain kamu! Kemana dia waktu kejadian itu!" Ucap Rico langsung menatap tajam ke arah Vano yang berdiri disana, lalu Rico mengeratkan giginya.

Vino menggelengkan kepalanya brutal."Vano ada kok pah, tadi dia yang nol___” ucapan Vino terputus saat Rico lebih dulu menarik tangan Vano kuat dan menyeretnya, Vino membulatkan matanya seketika."Papah jangan!" Teriak Vino keras namun tak didengarkan oleh Rico.

Rico mencekal tangan Vano kuat, membuat Vano sedikit kesakitan."Lepasin Vano pah!" Ucap Vano lirih, yang saat ini tidak bisa memberontak karena tubuhnya yang terasa lemah.

Rico menggelengkan kepalanya pelan."Lagi-lagi kamu ceroboh! Kamu gak becus jagain Vino, kamu tau kan fisik Vino itu lemah! Papah udah suruh kamu buat jagain dia, kemana saja kamu !" Bentak Rico keras pada Vano sambil menunjuk-nunjuk tepat di dada Vano.

Memang benar fisik Vino sangat lemah juga sering sakit, itu karena Vino mempunyai kelainan pada jantungnya sejak ia masih kecil, sehingga mengharuskan dia untuk tidak melakukan aktivitas yang berat juga kecapekan. Karena itu akan menyebabkan dia jatuh sakit. Semenjak itu keluarga Rico lebih mengutamakan Vino, kasih sayang mereka semua tercurah hanya untuk Vino. Seakan lupa bahwa masih ada Vano.

Rico mengusap wajahnya kasar lalu menarik nafasnya."Harusnya kamu jagain dia! Kalau perlu kamu standby disamping Vino terus! Liat kan sekarang Vino jadi luka-luka! Kamu penyebabnya!" Ucap Rico dengan nafas yang memburu."Kamu ceroboh! Vino kehujanan itu juga karna kamu!" Lanjut Rico, seakan kedua matanya buta dan tak melihat kalau keadaan Vano juga sama basah kuyup kehujanan seperti Vino.

Rico langsung mengambil rotan yang memang dari dulu sudah disediakan untuk menghukum Vano bila ia melakukan kesalahan juga ceroboh dalam bertindak."Sini kamu!" Rico menyeret kasar tubuh ringkih anaknya itu, Vano menatap Rico datar sedangkan Vino sekuat tenaga memberontak dari pelukan Ine."Jangan pah! Jangan!" Teriak Vino sekali lagi namun tetap tak digubris.

Ctat..

"Ini untuk kamu yang gak becus jagain Vino!"

Vano menggigit bibir bawah bagian dalamnya dan meremat ujung seragamnya kuat, untuk menahan segala rasa sakit yang diberi.

Ctat ..

"Ini untuk kamu yang buat Vino pulang kehujanan!"

Ctat..

"Dan ini untuk kamu yang lagi-lagi bertindak ceroboh!"

Rico terus melayangkan rotan itu pada tubuh Vano, hingga berakhir dengan Vano yang sudah lemas tergeletak di lantai dengan air mata yang menetes dari tatapan kosongnya, juga sekujur tubuh yang penuh luka.

Vino memekik histeris dan terus menyerukan nama adiknya yang tak berdaya, namun disaat Vino sudah berhasil terlepas dari pelukan Ine dan hendak berlari ke arah Vano, Rico lebih dulu mencekal tangan Vino dan membawanya ikut pergi meninggalkan Vano yang tergeletak disana sendiri.

Bi marni yang sedari tadi mengintip kejadian itu dibalik tembok yang menyekat antara ruang tamu dan dapur pun segera berlari ke arah Vano yang masih tergeletak disana."Ya Allah den Vano!" Teriak bi marni yang saat ini sudah menangis karna tak kuasa melihat majikan mudanya yang sudah lemah terkulai tak berdaya.

"A-aku gapapa Bi" ucap Vano sembari berusaha untuk bangun dan menyenderkan tubuhnya ke tembok.

Tes..

Lagi darah itu menetes keluar dari hidung Vano, membuat Bi marni menjadi semakin panik."Den, Aden mimisan. Kepala aden pusing ? Apa perlu ke rumah sakit ?" Tanya Bi marni cemas.

Vano yang saat ini sudah bersender ditembok dan duduk di atas anak tangga, sesekali memejamkan kedua matanya untuk menetralisir rasa sakit yang mendera di kepalanya."Aku gapapa Bi" ucap Vano pelan dan tersenyum lirih.

"Tapi Den Vano mimisan"

"Aku beneran gapapa, makasih udah mau perduli sama keadaan aku" ucap Vano lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan tertatih menuju kamarnya.

Ceklek..

Pintu kamar Vano terbuka, Vano langsung masuk kedalam, sedetik kemudian ia merogoh saku celananya untuk mengambil sebuah botol putih berisi obat-obatan, tanpa bantuan air mineral Vano langsung meneguk obat tersebut.

Kemudian Pandangannya langsung tertuju pada sebuah cermin berukuran besar yang ada didalam kamarnya, Vano berjalan ke arah cermin tersebut.

Vano menatap wajahnya dan mengamati dirinya sendiri di depan cermin tersebut dengan tatapan kosongnya. Terlihat jelas raut wajah yang nampak pucat bahkan bertambah pucat setiap harinya, Tangan Vano pun langsung tergerak melepas hoodie yang selalu ia kenakan untuk menutupi tubuh ringkihnya. Dan benar saja tubuh Vano terlihat kurus bahkan sangat kurus.

Tammy yang tak sengaja lewat didepan kamar Vano dengan pintu kamarnya yang sedikit terbuka, dibuat terkejut dan tak percaya ketika melihat kondisi adiknya yang selama ini tak dipedulikannya begitu nampak menyedihkan.
Tammy langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya, dan terus menatap ke arah Vano yang tak menyadari kehadirannya.

Seketika itu mata Tammy langsung berkaca-kaca, Tammy tak tau perasaan apa yang hinggap di hati kecilnya saat ia melihat tubuh kurus adiknya yang selama ini terlihat baik-baik saja tertutup oleh jaket hoodie yang selama ini ia kenakan , juga tubuh penuh luka yang membentuk garis lurus berwarna merah dan bekasnya yang terlihat jelas di lengan tangannya.

"Vano, Ka-kamu..."

Vano terlonjak kaget mendengar suara Tammy yang secara tiba-tiba ada di depan pintu kamarnya, Vano pun segera menoleh ke arah Tammy yang menatap ke arah nya tak percaya.

Bruak!..

.
.
.
#Titik_sambung

ARAH YANG BERBEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang