"Ashiel, apa kamu sudah tidur?"
Aku bertanya hati-hati. Sudah setengah jam sejak kejadian dimana ia memelukku berlangsung, kini kami sudah berada di ranjang tidurnya. Tidur berhadapan sambil memegang tangan masing-masing. Itu bukan kehendakku untuk tidur sambil berpegangan tangan. Ashiel menolak untuk melepaskan tanganku, jadi aku diam dan berakhir seperti ini.
Matanya yang terpejam kembali terbuka. Berterimakasihlah kepada lilin ruangan yang masih menyala. Setidaknya tempat ini menjadi tidak begitu gelap.
"Kalau aku tidur apa kamu akan meninggalkanku?"
Mengapa kamu terlihat begitu takut kutinggal?
"Apa kamu takut?" Aku hanya bercanda. Kapan lagi aku bisa mengejek anak sombong ini jika bukan disaat seperti ini?
Namun, tidak seperti yang diharapkan, ia mengangguk setelah lama terdiam. Hei, bung. Akan lebih baik jika kamu menyangkal hal tersebut alih-alih menyetujuinya. Kamu tahu? Aku hanya ingin mencairkan suasana tidak menyenangkan ini. Mengapa kamu tidak mendukungku?
Ah, terserahlah. Aku tidak akan berjuang mengubah suasana ini. Lebih baik aku menjaga kesadaranku agar tidak jatuh tertidur. Suhu tubuhku sudah sangat dingin, aku bahkan beberapa kali mengigil. Jika aku tertidur, aku tidak tahu apa yang akan terjadi besoknya. Kemungkinan besar aku sudah terbujur kaku menjadi mayat.
"Kamu tidak mati kan?" Pertanyaannya membuatku tercengang.
"Mulutmu itu, bagaimana bisa kamu mengatakan itu begitu mudah?" Apa dia sekarang mendoakanku untuk mati? Ya ampun Pangeran, mulutmu setajam pisau.
Ashiel mengeratkan pegangan tangan kami. Ia bahkan menggunakan kedua tangannya untuk menggenggam tangan kiriku sekarang.
"Aku tidak bermaksud begitu. Hanya saja, tanganmu begitu dingin"
Setelah sekian lama, ia menyadarinya. Bukankah seharusnya ia menanyakannya disaat pertama kali tanganku menyentuh tangannya? Respon Ashiel begitu lambat, aku bahkan sudah merasa mati rasa.
"Seharusnya kamu menyadarinya lebih awal" kataku mencibir. Walau begitu, aku turut menggenggam tangannya erat, mencoba mencari kehangatan.
"Maaf" ia meminta maaf lagi. Aku tidak bisa melakukan protes lagi karena ia tampak begitu serius.
Akhirnya yang kulakukam pada akhirnya hanya menghela nafas sembari mempertahankan kesadaranku. "Tak apa. Itu bukan salahmu" lagipula aku sudah terbiasa hidup tersiksa oleh musim dingin sejak aku kecil.
Bahkan beberapa kali mengalami hipotermia. Keberuntungan besar bahwa aku masih hidup hingga sekarang.
"Efek samping Mana?" Ia bertanya padaku. Mata merahnya menatapku dengan raut khawatir.
Seperti yang diharapkan dari tokoh utama pria. Ia cerdas dan cepat tanggap.
"Yah, kamu pasti pernah mendengar rumor mengenai Putri Duke Ayveen kan?" Aku berkata sembari tersenyum kecil.
"Jadi itu nyata?"
"Apakah menurutmu itu tidak nyata?" Ashiel, mengapa malam ini kamu begitu menyebalkan?
Anak lelaki itu menggeleng pelan. Kedua telapak tangannya yang melingkupi tangan kiriku bergerak. Menggosokkan tangannya untuk memberikan kehangatan. Itu tidak begitu membantuku tapi aku berterima kasih.
"Mana ku adalah elemen es, jika musim dingin tiba, hal seperti ini sudah biasa terjadi" Jelasku singkat dan ia menatapku tak percaya.
"Dan kamu masih datang kesini hanya dengan piyama? Apa kamu gila?"
Sekarang, anak lelaki itu mengubah posisinya menjadi duduk. Mata merahnya menatapku marah seolah-olah aku melakukan kesalahan besar. Dan apa yang dia katakan? Aku gila?
KAMU SEDANG MEMBACA
Why is the Male Lead in My Home?
FantasyIa terlahir kembali sebagai penjahat wanita yang sakit di sebuah Novel. Belle Femme. Bercerita tentang Maria Euna seorang Putri Viscount yang bertemu Putra Mahkota, Ashiel Lumiere dé Helios yang menghindari pembunuhan yang di dalangi oleh Ratu atas...