Tiga

5 0 0
                                    

Hari pertama bekerja masih aman, Loli berusaha keras agar tak ada masalah yang dia lakukan. Ia berusaha profesional dan sesekali bertanya pada rekan kerjanya. Tak banyak berbincang dengan yang lain membuatnya sedikit jenuh, akan tetapi membuka pembicaraan bukanlah ciri khas seorang Loli. Prinsipnya saat ini hanya satu, saat ditanya ya, jawab. Diajak ngomong ya, nyaut. Didiemin juga ya, ikut ngebatu. Sesimpel itu prinsipnya bersosialisi.

Karena merasa jenuh, ia mulai memutar lagu yang sempat dia download beberapa waktu lalu. Membuatnya sedikit ikut mengalunkan irama yang sama.

"Lagunya bagus, nanti kirim yah," sahut seseorang mengalihkan pandangan Loli dari handphone admin menuju orang itu.

"Eh, iya minta nomer WAnya Lola aja." Jika bersama sahabatnya pasti Loli akan menghujat orang ini, kurang lebih dia akan berkata,"Orang nggak modal mah, gini. Dikit-dikit minta kirim! Aku yang download ngabisin kuota malah dia leha-leha modal shareit atau nggak WA. Nyesel aku nge-share oksigen sama manusia kayak gini." Tetapi tak mungkin dia akan berkata seperti itu, mereka baru kenal. Kadang menjaga emage itu penting. Loli akhirnya mengirimkan Lola lagu-lagu yang sempat Lola pilih sendiri.

Untuk saat ini dia tak terlalu menikmati harinya, dia merasa tak bebas. Namun, harus dijalani, dia berada di sini bukan untuk mencari kesenangan bukan? Harus berkamuflase, memaksa diri yang bukan sifat asli Balance dengan lingkungan.

Hari-hari selanjutnya terasa semakin baik-baik saja. Pekerjaanya mulai dia nikmati perlahan, bahkan Loli merasa sangat cocok di posisi saat ini karena tak serepot Lola yang ada di toko. Tipe mereka sepertinya berbeda sekali. Lola, manusia yang terlihat oke-oke saja terhadap pekerjaanya, jadi frontliner bisa, jadi yang lain juga bisa. Beda dengan Loli, dia senang di posisi saat ini murni hanya karena dia tak perlu melakukan banyak hal. Licik.

"Nyanyi, yuk!" seru Lola meminta rekan yang hampir dari pagi sampai sore selalu ada di sampingnya siapa lagi kalau bukan Loli? Saat ini giliran Lola yang menyetrika produk karena itu dia berada di tempat yang sama dengan Loli. Tak lama terdengar alunan lirik lagu Surrender-Natalie Taylor.

Angin menggoyahkan dedaunan pohon mangga yang berdiri kokoh di depan mereka. Seolah ikut bernyanyi alunan sendu lagu itu, membuat Loli mengamati terjemahannya. Ada yang dia sadari akan lirik lagu itu.

"Kadang emang kita terlalu mengikuti arus, yah. Kita kira dengan mengikuti arus kita bakalan selamat, kita bakalan ketempat yang seharusnya. Padahal kita nggak tau, setelah itu ada aja persimpangan yang membuat kita terpisah." Tampang Loli masih lempeng menatap layar handphone dengan casing berwarna merah ada beberapa bagian yang sudah terkikis warnanya. Lola juga ikut terdiam mendengar Loli kemudian menatap heran.

"Ngerti?" tanya Loli menatap mata berkantung yang terlihat lelah milik Lola. Beberapa saat Lola terdiam dan mulai menarik bibirnya akan menjawab.

"Enggak."

Tepat seperti dugaan Loli jika orang di depannya ini benar-benar lemot akan hal yang terlalu berebelit. Sebenarnya jika Loli yang berada di posisi Lola mungkin dia tidak akan mengerti juga. Bukan karena kalimatnya yeng berbelit-belit, tetapi karena dia malas mencerna maknanya.

"Untung baru kenal," lirih Loli menatap Lola jengah.

"Emang kalau lama kenapa?" tanya Lola heran dan penasaran melebur jadi satu, sesekali dia memutar pengaturan suhu setrika yang sedang dia pegang.

"Ya, gak pa-pa." Ia mencoba tak menggubris hal itu.

"Kenapa? Lagi ada masalah, ya?" tanya Lola menatap tajam mata yang tak menatapnya balik. Sadar dia yang dimaksud Lola membuat Loli menatap kembali manik hitam itu.

"Enggak, heran aja gitu. Kok bisa yah, aku pinter tapi deket-deket orang lemot kayak kamu?" Ia menggelengkan kepala heran pada dirinya sendiri.

"Siapa?" Lagi, Lola bergelut dengan ke lemotannya.

"Setrika kamu, setrikaaa! Kok bisa air setrikanya menguap padahal dia nggak ngantuk?!" seru Loli jengah dengan sifat teman barunya ini. Sungguh entah mengapa hari ini dia tak punya mood yang sama seperti kemarin. Memang sebenarnya dia adalah orang yang moody-an.

"Iih, mau marah-marah mulu! Sering marah cepet dipertemukan ke Yang Maha Kuasa loh," tutur Lola tak terima.

"Iih, kasar mau diamplas nih, mulutnya." Loli mendekatkan diri pada Lola memegang paksa kepala Lola kemudian menggosok mulutnya dengan handphone admin.

"Astagfirullah kamu ini berdosa banget!" seru Lola di tengah gelak tawa mereka berdua.

"Kamu itu ngesholimi akooh!" seru Loli balik.

"Sholimi! Sholimi! Sholehah!" balas Lola beranjak menjauh dari gadis yang abnormal di depanya. Bagaimana bisa dia melakuakan itu padahal manager mereka sedang di ruanganya, bisa dikebiri mereka berdua.

"Udah, ah! Nanti pak manager ngamuk," mohon Lola tak bisa menghindar karena Loli mengejarnya.

"Oke, aku bakalan berhenti kalok kamu bisa jawab pertanyaan aku," ujar Loli sesekali melangkahkan kakinya mendekat.

"Iya, apa?" Menyesal rasanya Lola mencari masalah dengan makhluk ini.

"Siapa makhluk paling kesepian di bumi ini?" tanyanya mengetes pengetahuan Lola agar tak terlalu lemot.

"Apa? Mmm ... pak manager!" Keceplosan membuatnya refleks menutup mulut, takut jika manager mereka dengar.

"Lah, kok tau?" heran Loli kali ini.

"Eh, bener?" senyum sumringah Lola semakin mengembang kala pertanyaannya disambut anggukan dan tawa Loli.

"Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Mari kita pantau dahulu, terus kita pecat kemudian!"

Kalimat itu membuat mereka terdiam, mencari asal suara. Dan  ....

"Mati!" ujar mereka berbarengan kala melihat manager mereka sudah berdiri garang di samping tiang yang sama kokoh dengan dirinya.

KITA DAN KATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang