"Na, Ayo!""Duluan saja, nanti saya nyusul!" jawab Luna tanpa mengalihkan pandangannya dari selembar kertas di atas meja.
Aang Hendrawan berdecak kesal melihat sahabatnya belum juga beranjak dari tempat duduknya. Ia sudah berada di ambang pintu sebelum menghentikan langkahnya karena menyadari Luna Ileana Helen tidak berada di sampingnya. Pak Mudin sudah berteriak menyuruh siswa kelas tiga untuk naik ke atas aula sebab ada sosialisasi kempus.
"Udah dipanggil ini, weh! Ngerjain soalnya bentar aja, Na. Anak-anak udah pada ke aula disuruh Pak Mudin!"
"Masih ada sisa satu soal yang belum jadi, Aang. Beneran deh, kamu duluan saja nanti saya nyusul." jawab Luna lagi.
Dengan kesal, Aang menghampiri Luna dan menarik tangan perempuan itu agar mengikutinya naik ke atas aula. Luna berusaha melepaskan cekalan Aang ketika lelaki itu berbalik dan berkata, "Nih, pegang. Kertasnya lo bawa dan soal fisikanya bisa lo kerjain di atas. Yang penting kita naik dulu, kakak kampusnya udah nungguin dari tadi," Aang memberikan kertas soal yang ia tarik kepada pemiliknya.
"Berisik. Mana sini, polpen saya juga!" ucap Luna dengan kesal.
"Yeh, lo dibilangin juga. Buruan, kayaknya acara sosialisasi kampusnya udah mulai deh?"
"Tuh, kan.. Saya nggak perlu ikut juga acaranya tetap akan jalan. Jadi kenapa saya harus ikut?" kata Luna dengan lebih kesal.
"Ah, ribet banget ini anak. Yang sosialiasi itu dari kampus UI, mana yang datang sebagai perwakilan itu katanya lulusan dari sini loh, Na?" ucap Aang menggebu.
"Yang mau masuk UI itu kamu, bukan saya. Jadi acara ini nggak begitu penting bagi saya, Aang."
Aang pura-pura tidak mendengar ucapan perempuan dengan rambut sebahu itu. Ia terus berjalan menuju aula sementara Luna mengekorinya dari belakang dengan perasaan dongkol. Setelah sampai di depan aula, Aang berubah menjadi kikuk karena semua mata memandang ke arahnya. Luna yang memiliki kepribadian 'cuek bebek' tidak memedulikan itu lantas masuk untuk mengambil tempat duduknya. Aang pun menyusul Luna untuk mengambil tempat duduk di samping perempuan itu.
"Na, gara-gara lo kita telat dan malah kebagian duduk paling depan," bisik Aang di telinga Luna.
Luna melirik tajam ke samping, "Bukannya kamu yang antusias datang kemari?"
"Yah, nggak di depan juga buset. Malu gue,"
"Saya kan udah bilang, kamu bisa kemari duluan dan saya bisa nyusul?"
"Ah, salah mulu gue jadi cowok."
Percakapan itu berakhir dengan Luna memutar bola matanya malas. Ketika mereka sampai tadi, tiga kakak mahasiswa- satu perempuan dan dua laki-laki yang mengenakan almamater berwarna kuning itu baru saja selesai memperkenalkan diri mereka.
"Sebelum kita lanjut, aku mau nanya dulu nih sama teman-teman. Siapa aja di ruangan ini yang mau masuk UI?" tanya Nebula penuh semangat.
Sontak semua siswa di ruangan mengangkat tangannya dengan antusias kecuali perempuan yang sekarang sibuk mengerjakan soal fisika di tangannya.
Aang nenyikut lengan Luna memberi kode agar ia juga ikut mengangkat tangan. Namun terlambat, Pras, Nebula, dan Dinda- perwakilan mahasiswa dari UI untuk sosialisasi kampus di sekolah ini, cukup tercengang mendapati kehadiran satu anak yang terlihat tidak tertarik membahas kampus idaman para siswa.
"Kamu yang tadi terlambat, coba berdiri dulu!" ucap Nebula penasaran seraya menunjuk tempat duduk Luna.
"Na, lo dipanggil tuh," bisik Aang menyadarkan sahabatnya yang tengah fokus menatap kertas dipangkuannya.
"Kenapa?" tanya Luna sebal karena konsentrasinya terganggu.
"Dipanggil lo sama Kak Nebula! Udah simpan dulu kertasnya,"
Dengan malas, Luna menyimpan kertas soalnya di saku baju dan mengambil mic yang entah kapan telah disodorkan oleh Dinda.
"Wah, kakak tadi ngeliat satu teman kalian yang nggak angkat tangan nih. Kira-kira, alasan dia nggak tertarik lanjut di UI apa ya?" ujar Nebula dengan suara penasaran. "Sebelum itu, kakak pengin tahu dulu nih namanya siapa?"
"Luna."
"Oke. Luna, kalau boleh tahu alasannya nggak tertarik untuk lanjut di UI setelah tamat dari sini kenapa nih?" tanya Nebula ramah.
"Karena nggak semuanya harus tertarik untuk masuk UI."
"Waduh, betul juga sih. Tapi kan, kampus kakak itu ibaratnya idaman banget. Apa kamu nggak tertarik masuk karena kampusnya nggak sebagus itu di mata kamu?"
"Nggak. UI hanya memang nggak pernah menjadi pilihan saya."
"Ah, i see. Jadi kira-kira kamu bakal lanjut di mana nih, Luna?"
Luna sedikit kesal karena Nebula tidak berhenti bertanya. Apa kakak mahasiswa yang datang bersosialisasi selalu cerewet seperti ini?
"Saya nggak mau jawab."
Nebula sedikit terkejut mendengar jawaban ketus dari perempuan mungil di depannya. Ia dengan cepat mengendalikan raut wajahnya yang penasaran akan perempuan itu.
"Wah, okedeh. Teman-teman, kayaknya teman kita Luna belum bisa sharing nih. Tapi kita apresiasi dulu, tepuk tangannya dulu dong!"
Lalu semua siswa di dalam ruangan memberikan tepuk tangannya. Sedangkan Luna, ia duduk dan kembali berkutat dengan soal fisika.
Nebula melirik perempuan itu sebentar, "Gue tandain tuh cewek." gumamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Even if, Breakup
Teen FictionDi hari ke-14 nya bermain petak umpet bersama Nebula, Luna mendapati amplop baronial dengan penutup bunga kering diatasnya. Hari itu, tepat hari dimana Luna akan pergi kerumah Nebula untuk mengakui kekalahan. Untuk mengatakan kepada laki-laki itu...