"Jadi, menurut lo gue harus top up berapa untuk dapatin skin ini?" Aang baru saja menyelesaikan satu match permainan game online yaitu mobile legend yang ia gemari. Tatapannya lurus memandangi Luna menunggu sahabatnya itu menjawab pertanyaannya.
"Saya nggak tahu," jawab Luna pendek.
"Na, menurut lo, better gue beli skin shura Hayabusa atau skin collector Gusion?" tanya Aang sekali lagi.
"Saya nggak tahu, Aang." jawab Luna penuh penekanan.
"Ck! Terus apa dong yang lo tahu?" Aang berdecak kesal. Ia menghela napasnya melihat Luna masih berkutat dengan soal-soal yang ia sendiri ingin muntah ketika membacanya. Perempuan itu sudah sibuk dengan beberapa lembar kertas ketika ia menyusulnya ke kantin saat acara sosialisasi kampus baru saja selesai bersamaan dengan tanda bel istirahat berbunyi.
"Saya tahu bagaimana caranya diam untuk menghargai orang lain yang sedang belajar," ucap Luna penuh sarkas.
"Dih, nggak ada gue nggak seru! Memangnya, lo nggak capek apa belajar terus? Hidup lo itu udah kayak muka lo tahu nggak, datar banget!" sahut Aang setelah merasa tersinggung dengan ucapan sahabatnya.
Luna menoleh kesal. Cowok di hadapannya ini masih saja tidak bisa diam. Ia memilih mengabaikan Aang dari pada menanggapi cowok itu. Buang-buang tenaga pikirnya.
"Diem aja lo," decak sebal terdengar keluar dari mulut Aang lagi. "Yaudah, kalau lo nggak mau pilihin gue, mending gue sekalian beli semua skin hero biar gue nggak capek-capek nanya lo lagi!"
Luna sangat yakin Aang mampu membeli semua skin-skin hero yang selalu ia sebut-sebut itu, tapi ia juga geram karena Aang tidak pernah serius dengan masa depannya. "Kita udah kelas tiga dan sebentar lagi ujian nasional. Kamu bilang mau masuk Universitas Indonesia, kan? Orang-orang nggak bisa lulus masuk univ top kalau kerjaannya hanya main game, kamu butuh belajar. Mau sampai kapan sih, Aang, kamu main-main kayak gini?" tanyanya.
"Sampai lo bilang lo nggak akan kemana-mana dan lo akan tetap di sini sama gue. Deal?" sudut bibir Aang sedikit terangkat dan menatap Luna penuh maksud.
Luna meletakkan polpennya sejenak, lalu beralih memandangi Aang yang sudah menatapnya dengan cengiran lebar. Aang Hendrawan adalah satu-satunya orang yang selalu berada disisinya selama ini. Cowok itu tidak pernah sekalipun meninggalkan Luna dalam keadaan apapun, dan ia sangat tahu jika dirinya berhutang budi banyak atas kebaikan Aang.
Akan tetapi, Luna tidak bisa mengabuli permintaan cowok itu tentang satu hal. Sudah sebulan Aang uring-uringan membujuknya untuk membatalkan rencananya, tapi Luna selalu menolak dengan mengatakan jika ia tidak bisa merubah keputusannya tersebut.
"Kamu tahu saya nggak bisa melakukan itu," jawab Luna dan terdengar helaan napas dari dirinya.
"Lo nggak mungkin serius,"
"Kita berdua tahu seberapa seriusnya saya tentang ini."
"Oke, tapi kenapa harus dengan cara itu kalau lo masih bisa menjadi sesuatu even lo kuliah di sini, Na?" bujuk Aang tidak mau kalah.
"Aang, saya nggak mau membahasnya lagi." ucap Luna tegas.
"Nggak, lo harus dengerin gue. Kita harus bahas ini sampai ke akar-akarnya. Gue nggak mau satu-satunya sahabat yang gue punya ninggalin gue."
"Kita masih bisa komunikasi. Kamu jangan seperti tidak mengenal teknologi," ucap Luna enteng.
"Nggak!" Aang berteriak frustasi dan meletakkan ponselnya di meja kantin dengan cukup keras hingga menimbulkan bunyi. Luna dan beberapa anak-anak di kantin yang sedang menyantap makan siangnya menoleh ke arah Aang lantaran kaget karena suara geprakan tersebut. Aang tidak peduli dengan tatapan mereka, juga tidak peduli jika ponsel mahalnya akan rusak akibat bantingannya tadi.
"Kalau gitu, gue juga akan kuliah di sana, gue akan ikut kemanapun lo akan pergi karena gue nggak akan biarin lo sendirian di dunia ini, Na. Siapa yang jagain lo kalau bukan gue?" sambung Aang yang ternyata tidak mendapatkan atensi penuh dari Luna.
"Saya bisa kok jaga diri sendiri, dan Aang, saya mau makan jadi kamu sebaiknya diam."
Luna menyingkirkan kertas-kertas soalnya dan mulai membumbui bakso yang sebelumnya telah ia pesan. Ia mulai menuangkan kecap dan sambal yang banyak. Aang yang melihat kuah bakso Luna berwarna merah langsung menghentikan perempuan itu untuk menuangkan lebih banyak sambal.
"Lo gila, ya?" desis Aang yang malah mendapat pelototan tajam.
"Saya mau makan, Aang?"
"Yang bilang lo mau nyanyi siapa emangnya? Udah gila lo taruh sambal sebanyak itu?" Aang melarikan matanya ke tempat mangkuk bakso Luna.
"Hanya sambal." jawab Luna dengan gampang.
"Sambal pala lo! Kalau sampai maag lo kambuh, sumpah gue liatin doang, nggak akan gue tolong!" Aang masih sangat kesal kepada Luna karena perempuan itu sangat keras kepala.
"Iya udah! Puas kan? Saya sudah taruh sambalnya nggak banyak." jawab Luna ikutan terdengar kesal.
"Ck! Gini yang lo maksud bisa jaga sendiri?"
"Saya nggak perlu jagain diri saya dari sambal, kan?" jawab luna bersikeras.
"Lo tuh pinter tapi bego tahu nggak?" ucap Aang terdengar seperti menyindir.
"Aang, demi tuhan, ini kan cuman sambal?"
"Dan lo pernah masuk rumah sakit karena makan sambal?"
"Kan, Itu dulu..."
"Dulu sama sekarang nggak akan ada bedanya kalau lo nggak bisa ngerubah kebiasaan buruk lo yang makan sambal berlebihan, lo juga tetap akan masuk rumah sakit. Paham?"
"Terserah!" Luna menanggapi dengan malas.
"Jawaban klise banget dari cewek, terserah.." cibir Aang dan mendapat satu lagi pelototan tajam.
Aang Hendrawan tertawa kecil melihat bibir Luna yang sudah menekuk karena kesal. Kini, Luna sibuk memakan baksonya, namun sedetik kemudian senyum kecil terbentuk di sudut bibirnya yang mungil. Bakso memang selalu berhasil mengembalikan mood cewek itu. Aang tertawa kecil lagi melihatnya.
"Kenapa nggak makan?" tanya Luna di sela-sela ia menghabiskan baksonya.
"Masih kenyang gue. Bibi buatin gue bekal tuh, kalau lo masih laper ambil aja di tas." Aang menunjuk tas di sebelahnya dengan dagu. Ia sudah kembali fokus ke layar ponselnya untuk bermain game lagi. Solo rank, Aang sangat serius hingga jari-jarinya bermain dengan lihai di atas ponsel genggamnya.
"Tolong ambilin kotak bekalnya dong, Aang," pinta Luna kemudian.
Mendengar itu, Aang seketika meletakkan ponselnya di meja. Dengan sabar ia menarik resleting tasnya dan mencari kotak bekal yang dimaksud dengan sebelah tangan, sementara sebelah tangannya yang lain masih bermain di ponsel untuk menghindar dari serangan musuh. Setelah berhasil mendapatkan kotak bekal tersebut, ia menyerahkannya kepada Luna yang langsung diterima cewek itu dengan antusias.
Luna membuka kotak bekal milik Aang, dan senyumnya langsung terbit ketika melihat nasi goreng dan telur orak-arik. "Saya habisin atau disisa?" tanya Luna kemudian.
"Suapin," jawab Aang tanpa menoleh.
"Saya nggak jadi makan!" jawab Luna setengah berteriak.
"Galak! Makan sono, siapa juga yang mau di suapain sama lo? Dih, ogah gue!" ucap Aang lagi dan selanjutnya ia tertawa terbahak-bahak ketika mendengar sahabatnya mendumel tidak jelas lantaran jengkel.
Sederhana itu menjadi bahagia, gumam Aang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Even if, Breakup
Teen FictionDi hari ke-14 nya bermain petak umpet bersama Nebula, Luna mendapati amplop baronial dengan penutup bunga kering diatasnya. Hari itu, tepat hari dimana Luna akan pergi kerumah Nebula untuk mengakui kekalahan. Untuk mengatakan kepada laki-laki itu...