Langit fajar tampak cerah. Bintang berkelap - kelip. Bulan tidak terlalu terang. Bintang adalah hal yang paling mengingatkanku pada Kakek. Dulu, saat aku gemar melihat kerlip bintang di langit dan senang menggambarnya dengan garis khayalku, Kakek dengan sabar menjelaskan satu persatu tentang rasi bintang. Ada bintang waluku yang menjadi pertanda petani sudah saatnya membajak sawah. Ada juga bintang kemukus yang menjadi pertanda akan datang berkah atau bahaya. Itu sebabnya aku sering bangun sebelum subuh. Kalau malas tahajud, aku hanya melihat bintang dan mengenang Kakek. Belakangan, aku jadi tahu, mitos bahwa doa ketika bintang jatuh pasti dikabulkan, benar adanya. Sebab kalau mau menunggu, beberapa waktu sebelum subuh sering ada bintang jatuh meski samar. Bintang jatuh sering muncul saat sepertiga malam. Persis sebagaimana waktu doa dianjurkan.
Ngaji tafsir telah di mulai. Semua santri nampak khusu' maknani kitab. Tidak ada yang berani berbicara, meskipun bisik - bisik ataupun tolah toleh. Maknani kitab memang butuh konsentrasi, jika tidak, kita bisa saja ketinggalan. Kebanyakan santri, jika pengajarnya dengan suara pelan, banyak yang di tinggal tidur, khususnya yang duduk di belakang. Ngaji tafsir ini di mulai secara serempak satu pesantren seusai shalat subuh di dua masjid. Satu masjid khusus santri putri dan satu masjid lagi khusus santri putra. Antara pondok putra dan pondok putri hanya disekat oleh tembok besar.
Aku, Anis dan Yeni duduk dibawah pohon mangga madu manalagi di samping sumur dan dapur para santri. Kita bertiga duduk diatas kerikil - kerikil kecil. Tak ada kekhawatiran akan kejatuhan buah mangga sebab setiap lepas subuh, sambil menunggu giliran menimba, para santri pasti sudah menggoyang pohon ini yang selalu basah terbasuh percik embun atau sisa gerimis semalam. Bila mujur, buah yang tua akan jatuh. Bila kurang mujur, yang berjatuhan adalah mangga yang growong yang telah lebih dulu dimakan codot. Buah tersebut kemudian di makan ramai - ramai tanpa takut sakit perut.
Itulah satu - satunya cara paling halal dalam menikmati mangga madu manalagi dekat sumur pesantren. Sebab kalau harus memanjat pohonnya kami takut dijuluki mencuri karena tak nembung pemilik. Pemiliknya adalah keluarga Romo Kiai. Dipondok ini, yang sudah dihalalkan oleh Romo Kiai hanyalah pohon pisang dan bolo pendem seperti jahe, kunyit, lengkuas, dan bumbu dapur lainnya. Tumbuhan itu memang sengaja ditanam kang santri di dekat dapur belakang untuk pelengkap masakan. Selain tumbuhan itu, kalau kepengen, kami harus menunggu buahnya jatuh dari pohon.
Namun, semenjak aku menjadi ustadzah di sini, sudah jarang untuk bisa menikmati buah mangga ini. Karena memang pohon mangga ini dekat dengan dapur santri dan tak jauh dari area kamar khadijah milik santri putri. Sedangkan aku sudah pindah kamar, yang posisinya lebih dekat dengan gedung madin.
Kondisi disini sepi, karena para santri masih Ngaji Tafsir. Luluk berjalan kerah kami dengan membawa tiga ikat lembayung yang akan dimasak. Aku sudah membawa pisau sedari tadi. Aku dan Luluk memetik lembayung. Dia memulai percakapan dengan mengatakan bahwa daun lembayung yang merupakan daun kacang ini lebih dia sukai dari pada kacangnya. Dia juga bilang bahwa daun lembayung sekufu dengan daun ketela dan daun pepaya dalam cara memasaknya, yakni di tutup rapat hingga empuk. Selain daun tersebut, misalnya bayam, kacang panjang, atau gambas, bila menutupinya ketika mendidih hanya akan menyebabkan kuah dan sayurnya berwarna hijau kumuh. Pantas saja sayur kunci dan sayur beningku tak sejernih buatan nenek. Sebab aku selalu menutup pancinya.
Aku melihat sekilas ke arah kanan. Ada Anis dan Yeni yang sedang mencuci beras sambil mengobrolkan sesuatu.
"Yu Anis, kemarin aku denger sampean dilamar kang ndalem. Sopo jenenge," luluk memejamkan matanya. Berusaha untuk mengingat.
"Kang Imron" imbuhku.
"Nahhh, iya kang Imron. Lali aku" dia menepuk dahinya.
"Hehehe, iya yu. Minta doa terbaiknya." Anis melihat kearah kami sekilas. Tangannya mulai menarik timba yang sudah berisi air.
KAMU SEDANG MEMBACA
RARAS
Teen FictionKisah seorang santri yang menyukai anak dari Kiainya sendiri. Namanya Gus Ahmad. Namun, kenyataan bertolak belakang dengan harapannya. Semesta sepertinya masih belum setuju jika dia dan Gus Ahmad bersatu. Karena Gus Ahmad sudah lebih dulu di jodohka...