1

16 11 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Atha berdiri dalam diam, ia masih betah menatap perbukitan hijau di belakang panti. Harum udara setelah hujan membuatnya mampu meresap kedamaian yang dibalut keheningan penuh ketentraman, kesempatan langka yang tak akan ia dapatkan jika ia tidak berada di tempat ini. Panti asuhan, meskipun dipenuhi anak-anak kecil bermata jernih dan menyenangkan, tak akan pernah bisa menawarkan kedamaian semacam ini.

Atha memejamkan matanya, berusaha menghirup udara di sekitarnya sebanyak-banyaknya. Hari Jum'at selalu menyenangkan baginya, karena hanya pada hari itulah ia bisa menyisihkan waktu untuk dirinya sendiri, menikmati indahnya alam bebas, meski tak seluas yang dipandang banyak orang.

Mau bagaimana lagi, ia telah berjanji akan mengabdikan hidupnya untuk panti asuhan yang baru ia tempati 2 tahun terakhir ini. Panti asuhan yang langsung ia cintai ketika ia pertama kali melihatnya, panti asuhan yang terletak di pinggir kota kecil yang damai, Najma Amana.

Burung-burung merpati berwarna putih dan abu-abu terbang melintasinya, ia tahu milik siapa merpati-merpati itu. Sosok yang ia kagumi sekaligus ia hormati, meski terkadang membuatnya jengkel setengah mati.

Tatapan Atha mengikuti merpati-merpati tersebut, sayapnya yang tersibak indah membuat Atha tersenyum senang. Ia, mengakui, suara kepakan sayap burung-burung itu membuatnya sedikit merasa rindu pada tempat kelahirannya dulu. Sebuah negara yang jauh dari tempatnya sekarang berada.

Namun, ingatannya lebih tertuju pada apa yang terjadi padanya saat pertama kali menginjakkan kakinya di tanah yang baginya penuh kedamaian ini.

[]

Di suatu senja 2 tahun yang lalu.

Atha dengan penampilan barunya, mengenakan hijab lebar dan jubah panjang belarian di lapangan samping panti, ia begitu bahagia ketika menyaksikan banyak merpati bertengger di ranting pohon, dan memakan rempahan makanan di atas paving lapangan. Pemandangan yang biasa ia lihat saat ia di Roma dahulu.

Namun, sekarang berbeda. Ia seolah merasakan sensasi berbeda yang tak pernah ia dapatkan dahulu.

"Kamu anak baru di panti ini?" Suara berat seorang lelaki menyapanya dari arah samping.

"Ah? Ya. Saya baru saja datang beberapa menit yang lalu," ucap Atha dengan wajah tertunduk. Ia berusaha untuk menampakkan rasa hormatnya pada siapa pun yang telah menghuni panti ini lebih awal darinya.

"Saya? Kamu terlalu kaku ya?" ucap lelaki itu diiringi tawa merdu, tawa yang membuat Atha merasa serba salah.

"Ma ... maaf," gagap Atha memutuskan untuk minta maaf, meski ia tak tahu di mana letak kesalahannya.

"Maaf? Maaf untuk apa?" tanya lelaki itu dengan senyum yang masih melekat di wajahnya, "Oh iya, perkenalkan, namaku Kanzo Arata. Kamu?"

"Atha, Atha Jeremia," jawab Atha setelah menelan ludah sejenak, suara jernih yang khas itu membuat Atha merasa nyaman seketika. Lalu Atha memberanikan diri menatap lawan bicaranya, mengamati wajahnya, dan memutuskan untuk bertanya, "Dari namamu, maaf, apa kamu punya darah Jepang?"

Langkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang