Bab 1

1K 62 0
                                    

Pohon besar tinggi mengakar di sebuah panti asuhan bercat hijau waru di dinding luarnya. Atapnya yang berwarna coklat terlihat amat mencolok dari kejauhan. Aroma kue panggang kastanye baru saja di keluarkan dari oven, membuat anak-anak berlarian memasuki ruangan mengantri sembari memandangi lezatnya kue itu.

 "Wah, bau yang manis sekali"
 "Aku lebih setuju kastanye itu gurih bukan manis"

Perempuan berambut panjang dengan setelan gelap yang di lengkapi jaket kulit itu menoleh mendengar sahutan seorang nenek tua yang mulai berjalan meninggalkannya.

 "Yah.. aku tak tertarik pada roti itu sejujurnya. Nah, itu dia si manis"

Senyum melebar ketika melihat gadis berponi sedang duduk di bawah pohon besar yang memandang kosong daun kering di depannya. Seseorang mengenakan sepatu hitam mencolok mendatanginya sambil berkacak pinggang.

 "Hei, ga tertarik roti yang enak baunya itu? Anak-anak menyerbunya. Aku tak yakin kamu kebagian"

Si perempuan berjaket itu tak melepas senyumannya yang meski hanya sesaat di pandang oleh gadis yang di temuinya tersebut.

 "Apa aku terlihat seperti anak-anak? Umurku 16 tahun"

Ia berdecih lalu merapikan poninya yang terkena hembusan angin lembut. Di depannya, perempuan itu tertawa renyah dan menghela nafas agak panjang sebelum ia mulai maju selangkah dan menawarkan tangannya.

 "Siapa namamu gadis dewasa?"

 "Marsha. Jujur pakaianmu menakutkanku. Kau terlihat seperti ingin menculikku"

 "Benarkah? Bagaimana jika aku melakukannya dengan baik-baik? Seperti-- memintamu ikut bersamaku pergi dari panti ini dan bersekolah denganku?"

 "Sekolah?"

 "Yup. Kamu gak akan menolak 'kan?"

Marsha mengerutkan keningnya kemudian menatap kuat-kuat perempuan yang memperlihatkan senyum lebarnya itu.

 "Kalau kamu.. siapa namamu?"
 "Ah~ Panggil aku Dey. Jadi, gimana? Setuju melarikan diri sekarang?"

Entahlah. Rasanya ia tak akan mendapat tawaran ini lagi. Toh alasan dia masih tinggal di panti asuhan karena di telantarkan orangtuanya. Sekarang, ada seseorang yang ingin membantunya- mengapa tidak?

 "Kamu mau mengadopsiku? Kenapa ga bilang bu-"

 "Jelas tidak akan. Aku menculikmu 'kan? Haha, aku hanya tau kau tidak suka tinggal disini. Jadi aku ingin mengajakmu ke suatu tempat saja tanpa ada yang tau"

 "Apa ini bakalan gapapa?"

Dey tersenyum tipis sembari mengangguk perlahan dan memicingkan matanya ke arah wajah polos gadis yang masih ragu itu.

 "Baiklah. Sesekali aku ingin hidup nakal"

Marsha menelan ludahnya gugup dan takut jika pengurus di tempat ini akan mencarinya besok. Tapi, ia sangat ingin bersekolah. Dengan ajakan Dey yang tak pernah sekalipun di dengarnya, mungkin akan bagus jika ia ikut.

//////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////

 "Kachikaaaaaaaaa"

Suara itu menggema di lorong koridor sekolah dan perempuan yang bernama Chika tersebut menoleh melihat siapa yang telah memanggilnya.

 "Kachika kachika kachika"

 "Iya Christy, ada apa?"

 "Ada anak baru tadi di depan gerbang. Cantik banget"

Chika menaikan alisnya dengan heran mengapa teman dekat yang di anggapnya sebagai adik satu-satunya itu tertarik dengan hal semacam itu. Biasanya, jika ada anak pindahan pun dia tidak akan peduli. Apalagi merespon semacam ini.

 "Namanya Ara. Dia punya kalung liontin warna biru gambar elang. Pasti dari keluarga kaya"

Gadis berambut pendek yang bernama Angelina Christy itu benar-benar excited menceritakan si anak baru kepada Chika yang malah terlihat biasa saja.

 "GUYS"

Seseorang datang mengagetkan mereka berdua. Tentu saja kaget karena orang itu muncul dan berteriak tiba-tiba. Dia adalah Eli. Si paling periang yang ada pada kumpulan ini. Selain Chika yang kalem, terkadang Christy bisa jadi kalem jika ada Eli.

 "Kalian harus ke depan gerbang sekarang"

 "Tuhkan, ayo kachikaa"

 "Lah, Krispi tau ada anak baru disana?"

 "Iyalah. Orang dia pake perhiasan mencolok, siapa yang ga kepo. Kachika ayo lihat"

Chika menghela nafas lelah karena mau tidak mau harus menuruti kedua temannya tersebut. Dan akhirnya mereka bertiga berjalan menuju gerbang utama sekolah.

 "Kira-kira dia kenapa ya? Apa perban di tangannnya itu alasan dia pindah kesini?"
 "Aish, sudah pasti. Keliatan banget cewek berandal"

Setelah sampai di depan gerbang sekolah. Beberapa murid perempuan dan laki-laki berkerumun di samping pagar melihatnya hanya berdiri dan tidak memasuki sekolah sedari tadi. Rambutnya yang pendek di kuncirnya berantakan.

 "Kenapa dia terus berdiri disana?", Chika memandangi gadis itu keheranan. Melihatnya memasang muka masam membuatnya khawatir.

 "Gatau. Makanya aku ajak kachika kesini, karena dia aneh banget", Christy melipat kedua tangannya dan mendapatkan si anak baru mulai menatapnya serta teman-temannya.

 "Dia malu? Apa gimana? Atau kesel gamau masuk? Tapi serem banget sumpah itu perban. Darahnya merembes sampe keliatan", ujar Eli yang nampak pura-pura tak melihat ketika di pandang balik.

Tak disangka-sangka, si anak baru berjalan maju sambil menarik kedua ujung bibirnya ketika sampai di depan seorang perempuan yakni Chika. Ia terkejut.

 "Mau bantu anterin aku ke ruang kepala sekolah ga?"

//////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////

Di malam yang biasanya nampak mencekam, kini terasa begitu menyilaukan bagi Gracia si vampir menakutkan yang datang ke bar pojok kota Thea Tre. Dia dengan mukanya yang penuh kekesalan datang dan duduk di bagian meja panjang bar.

 "Aku tak akan bisa membuat koktail asam jika wajahmu sudah mendominasinya"

Celetuk seorang barista perempuan dengan rambut bergelung yang sama sekali tidak memandangi pelanggannya tetapi malah mengomentarinya.

 "Aku tidak tau ada karyawan yang tak sesopan ini disini"

 "Hmm, maafkan aku. Kamu terlalu cantik untuk bersedih. Bagiku, mau pelanggan manapun yang datang menggunakan wajah seperti itu aku merasa iba"

 "Tak perlu iba kepadaku nona, aku cuma butuh bir sialan. Bukan bualanmu"

 "Mau ku buatkan susu soda saja bagaimana?"

Amarah Gracia mulai berada di puncaknya ketika sang barista terlihat mengujinya sekarang. Namun, karena terlalu banyak saksi mati dan korban ia mengurungkan niatnya. Ia menutup matanya pelan-pelan agar warna bola matanya segera kembali.

 "Aku bercanda. Ini, segelas martini untukmu"

Senyuman tak berdosa seketika hadir di tengah-tengah keadaan panas itu. Gracia menatap name tag barista sambil menyeringai.

 "Terimakasih, nona Shani"

Shani mengedipkan mata sejenak agak kaget, lalu ia baru menyadari bahwa pelanggannya itu telah membaca name tag-nya. Ia mengangguk sedikit sambil kembali mengelap meja bar yang mengkilat karena warnanya itu.

 "Ceritakan apa yang membuatmu kesal hari ini. Aku siap mendengarkan dan melakukan apapun untukmu"
 "Benarkah? Kau akan mendengarkan semuanya dan.. melakukan apapun untukku?"

Tatapan Gracia menakutkan Shani, namun perempuan cantik itu berusaha tidak berpikiran negatif tentangnya lalu menjawabnya hanya dengan deheman saja.


Bersambung...

Ah, gak expect akhirnya Marsha sama Christy bakalan bisa masuk di ff ini T_T
Ikutin terus ceritanya jika kalian penasaran dengan kelanjutannya yaa!

Honey, Honey SweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang