4. Ia Hidup Dalam Kepalaku

66 22 19
                                    

"Do we existed because others perceive our existence, or is, indeed, our own affirmation enough?"

-Neal Shusterman

———

"Elf?"

"Itu aku. Kamu Nea, Cyanea." Suaranya menggema.

Untuk sepersekian waktu, aku menganggap diriku adalah Elf. Seolah yang baru saja terjadi itu adalah kehidupan milikku dan kehilangan identitas asli. Suara Elf memantul-mantul di sudut kepalaku, bak hantaman palu. "Mereka tidak menanyakanmu."

Entah karena apa, tapi aku bisa merasakan gestur mengangguk yang dilakukan Elf sekarang. "Semua orang yang tahu aku laki-laki sudah mati semua."

Dahiku mengerut. Tampaknya Elf sadar karena ia segera menimpali, "Dibunuh Papa."

Dan, "Oh," lah reaksiku.

"Yang tadi kamu saksikan, perang musnahnya generasi lama Myschient dan para negri tetangga."

"Kenapa?"

"Papa marah akan pengasingan Mama."

"Jadi, tempat tadi--"

"Hm. Tahu tidak, Mama lebih senang ruang sempit itu dihancurkan. Katanya, akhirnya ia bisa melihat langit biru lagi."

Ah, ruang pengasingan itu. Begitu kecil, kotor, dan sesak. Hanya seobor api redup yang menerangi ceruk tersebut sebelum dihancurkan. Aku tidak sanggup membayangkan semenyiksa apa usaha Ria melahirkan Elf tanpa bantuan siapapun. Tunggu, Perang Myschient?

"Bukankah perang itu terjadi karena konflik politik? Apa hubungannya dengan Mama--maksudku Mamamu?"

"Entah. Tapi, Nenek tidak suka Papa berhubungan dengan Mama yang notabenenya hanya rakyat biasa. Saat itu, Papa sudah bertunangan dengan Ratu Melesse yang memegang kekuasaan hampir menyaingi Myschient. Rumor Mama mengandung anak dari seorang penerus kaisar membuat Nenek murka, begitu juga Ratu Melesse. Oleh sebab itu, mereka menculik dan menyekap Mama. Papa membunuh Nenek dan naik takhta. Namun, Ratu Melesse mati setelah perang terjadi dan menyerahkan anaknya pada Papa sebagai anak sah Kaisar Trevill."

Kedua alisku saling meraih satu sama lain. Orang-orang ini ... sudah diberkahi dua mata sempurna, malah memandang 'yang di bawahnya' sebelah mata.

Tuturan Elf mengecil saat melanjutkan, "Memori Papa tentang Mama hilang dan Papa membuangku. Jadi tenang saja, dia pasti lupa tentang aku cowok atau bukan."

Otakku berdenyut dan aku ingin membenturkannya ke dinding sekarang juga. Buku Sejarah sebesar gajahku tidak mencerikan detail semacam ini. Seakan tulisan apik itu tengah membodohi dan menipuku. Ilmu yang aku banggakan seketika lenyap. Andai Qhalis tahu, aku tidak berpikir dua kali untuk terjun bebas. Anak itu kan penggemar berat tokoh antagonis sejenis Elf ini. Segera aku mengganti topik. "Tubuhku di dunia sana belum mati?"

"Kalau begitu aku sudah terbaring di tanah bukannya tergolek lemah di rumah sakit. Lagipula, kalau kau mati, untuk apa aku memilih hidup menjadi dirimu. Kau 'kan cuman keserempet, dasar berlebihan," olok Elf kemudian melanjutkan, "Meski kita sebenarnya satu, takdir kita berbeda, Nea. Aku mati pada usia lima belas tahun bukan berarti kau berakhir sama."

"Baguslah," desahku lega.

"Loh, kau bukannya mau cepat mati? Ada banyak luka di tanganmu. Menyusahkan sekali kalau terkena air."

Napasku tertahan, anak ini tidak ada filternya sama sekali. Lagipula, itu cuman luka bekas gigitanku saat butuh pelampiasan. Sayangnya, gigiku kuat dan runcing. Salahkan odol mewah yang diam-diam aku colong dari Ian. Elf, si idiot ini butuh waktu teramat lama untuk menyadari aku tidak nyaman dengan perkataannya. Namun, topik yang ia lontarkan selanjutnya bukannya membantu justru memperburuk suasana hatiku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 04, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

This Fantasy Genre May or May Not Kill MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang