Jeha Dan Arta

178 55 26
                                    

|••happy reading ••|

Tentang pergimu, apa kau tahu? jika aku selalu gagal dalam hal mengikhlaskanmu? Bahkan, aku pernah meminta pada Tuhan hal yang mustahil dapat terwujud yaitu, mengembalikanmu.
••••••

"Happy birthday."

Aku yang sedang duduk termenung di bangku taman tersentak kaget saat mendengar ucapan selamat ulang tahun dari seseorang.

"Suprise?"

Apa ini mimpi? Jika ini mimpi tolong jangan bangunkan aku. Biarkan aku tidur lebih lama lagi.

"Tutup mulutnya, entar dimasukin lalat lagi." aku segera menutup mulutku dan melihat orang itu membawakan kue ulang tahun yang sangat cantik.

"Apa kue ini untukku?" tanyaku namun dibalas dengan ketus oleh dirinya. "Tidak ini bukan untukmu. Ini untuk kang siomay yang ada di pinggir jalan sana."

"Kenapa kau membawanya kesini, jika itu untuk kang siomay yang ada di pinggir jalan?"

Dia menghela napas panjang, "Bodohmu itu natural ya, mengalir sampai jauh seperti rucika. Jelas-jelas kue ini untuk dirimu. Apa kau tidak ingat ini hari ulang tahunmu?"

Aku menggeleng, "Sepertinya aku melupakan hari ulang tahunku lagi."

"Kau selalu seperti itu." dia mengetuk kepalaku hingga mengeluarkan bunyi, sungguh itu cukup sakit.

"Pantas saja kau selalu lupa di dalam kepalamu itu kopong tidak ada isinya." aku memukul lengannya, enak sekali dia mengataiku tidak punya otak. Aku mendengus malas.

"Hahaha," tawanya. "Mukamu terlihat seperti monyet jika kau cemberut seperti itu." orang ini sangat keterlaluan, tadi dia mengataiku tidak punya otak, sekarang dia malah menyamaiku dengan seekor monyet.

"Berhenti marahnya, mintalah sebuah permohonan dan segera tiup lilinnya." aku memejamkan mataku untuk memohon sebuah permohonan seperti instruksinya tadi, kemudian aku meniup lilin yang Ia hidupkan itu.

Aku menyuapinya kue itu dan juga sebaliknya dia juga menyuapkan kue itu kedalam mulutku. Rasanya sangat enak.

"Sekali lagi, Selamat ulang tahun untukmu, Jeha."

"Terimakasih, Arta. Kau selalu mengingat hari lahirku walaupun aku sendiri melupakannya."

Arta tersenyum kemudian mengacak rambutku. Aku tidak masalah akan hal itu, karena sudah menjadi kebiasaan untuk dirinya mengacak rambutku ini.

"Apa permohonanmu tadi?"

"Tidak boleh tau, sampai permohonan itu di kabulkan."

"Heh! Siapa yang membuat peraturan seperti itu?" tanyanya sedikit kesal.

"Aku."

"Terserah kau sajalah." pasrahnya.

"Ar, apakau akan selalu bersamaku? Atau suatu hari nanti kau akan pergi meninggalkanku?" entah kenapa tiba tiba aku bertanya seperti itu.

"Entahlah, Je. Aku tidak bisa mengiyakan atau menidakkan hal itu. Namun jangan khawatir, aku akan selalu memberikan pundakku jika kau butuh sandaran, dan aku akan memberikanmu pelukan saat kau rapuh."

"Akan aku usahakan, untuk selalu berada di sampingmu, Jeha."

"Aku pegang kata katamu itu."

"Mari kita pulang, hari sudah mulai gelap," ajaknya dan aku balas dengan anggukan kepala.

****

Memori itu selalu berputar di kepalaku saat aku mengunjungi tempat ini. Kenangan dan bayangannya masih bersamaku hingga saat ini.

"Ar, aku masih memegang kata katamu yang dulu."

"Kau pergi terlalu cepat, Ar. Aku belum siap untuk itu. Kau bilang, kau akan terus bersamaku dan menemaniku. Namun nyatanya, kau sudah pergi terlalu jauh."

Tanpa aku pinta, air mata yang sedari tadi aku bendung mengalir jatuh ke pipi. Sangat sakit saat mengingat kenangan yang indah di masa lalu bersama denganmu.

"Aku membutuhkan pelukmu, Ar. Aku benar-benar rapuh, duniaku hancur saat kau pergi."

"Aku ingin memelukmu lebih lama, aku tak ingin melepaskanmu. Aku mohon kembalilah." air bening terus mengalir membasahi pipiku.

"Tuhan, secepat inikah kau mengambilnya dariku? Secepat ini kau membawanya bersamamu?"

"Aku masih membutuhkannya. Aku belum siap untuk kehilangannya."

Aku menatap gundukan tanah itu dengan tatapan kosong. "Maaf, aku belum bisa melupakanmu. Maaf aku masih menangisi kepergianmu."

"Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi sekarang, Ar. Ibuku, ayahku dan dirimu sudah kembali pada sang pencipta, apa aku juga boleh ikut pergi bersama kalian?"

"Apa kau tau, Ar? Aku pernah meminta Tuhan untuk mengembalikanmu dalam pelukku. Aku egois, 'kan?"

"Mungkin kita impas, Ar. Kau yang pergi terlebih dahulu meninggalkanku sedangkan aku masih menangisi kepergianmu. Aku rasa kau tidak perlu marah saat aku sering menangis, kita sama sama mengingkari janji."

"Aku membawakan bunga ini, untukmu. Istirahat dengan tenang, Ar. Aku masih mencintaimu."

"Selamat hari Anniversary kita yang ke dua tahun," ucapku kemudian meninggalkan pemakaman itu.

••••••






End Of Their StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang