Kopi Mocca

46 22 1
                                    

"Sebagaimana kopi, yang gue pertahankan nikmatnya dan kehangatannya hingga tegukan terakhir, sama halnya dengan cinta ini yang masih gue jaga sehingga rasanya masih sama."



Rintik hujan semakin lama semakin deras. Hawa dingin menusuk kulit, almamater yang aku kenakan tidak cukup untuk menutupi rasa dingin ini. Malam semakin larut, tapi sepertinya langit belum menyudahi tangisannya.

Aku berteduh di cafe yang tidak jauh dari kampusku. Tempat ini memberikanku banyak pelajaran dan juga kenangan. Aku memperhatikan sekeliling cafe ini, tidak banyak yang berubah, masih sama seperti tiga tahun yang lalu.

Aku duduk di kursi paling pojok cafe ini, memandang keluar, melihat redupnya lampu jalanan, dan melihat rintik demi rintik hujan yang jatuh membasahi tanah.

"Ini pesanan kopi moccanya, Mbak. Selamat menikmati."

Suara Waitress itu menyadarkanku dari lamunan panjang.

Aku tersenyum pada waitress itu. "Makasih, Mbak."

Aku memandang kopi mocca itu.

"Layaknya kehidupan, kopi mocca memberikan sentuhan berbeda bagi para penikmat kopi. Indahnya harapan seperti aroma kopi mocca, pahitnya permasalahan yang kerap terjadi seperti rasa kopi itu sendiri, dan diantara pahit itu terselip rasa manis dari cokelat yang bercampur dengan susu menggambarkan bahwa disetiap kesulitan ada kemudahan."

"Warna cokelat dari kopi mocca juga menggambarkan bahwa hitamnya kopi apabila bercampur dengan warna cokelat dan susu akan merubah warna asli dari kopi itu sendiri. Yang berarti setiap kelamnya kehidupan akan hilang dengan sejalannya proses kehidupan. Tak selamanya hidup itu kelam."

Suara itu terus menerus berputar dalam benakku. Aku mengigit bibir bawahku menahan isak tangis. Memori yang susah payah aku kubur dengan dalam itu kembali terbangun.

"Kopi yang baik akan selalu menemukan penikmatnya. Sama halnya dengan cinta. Cinta juga akan menemukan penikmatnya, hanya orang-orang yang paham akan rasa dari cinta itu yang bisa menikmatinya."

Aku menatap lekat seseorang yang sedang berbicara di depanku. Aku tau ini hanya bayangan masa lalu dari dirinya, tapi kenapa rasanya begitu nyata? Aku mohon pergilah, aku benci kenangan tentang dirimu.

"Kopi itu banyak variasinya sekarang, rasanya tidak hanya sekedar pahit. Tergantung kita saja yang ingin menentukan rasanya nanti. Seperti itu juga hidup, hidup itu banyak variasinya, tinggal kita tentukan saja bagaimana ceritanya, tapi jangan terlalu berharap untuk itu, terkadang barista juga melakukan kesalahan sehingga kopi yang ingin kita minum tidak sesuai yang kita inginkan."

"Lo banyak tau ya tentang filosofi kopi, pasti lo pecinta kopi."

"Gak banyak juga, sih. Gue cuma pengagum kopi, bukan pecintanya."

"Lo mau tau gue pecinta apa?" tanyanya yang kubalas dengan anggukan.

"Gue cinta senja."

Tiga kata itu membuatku mematung, lidahku terasa kelu. Dia menatap lekat diriku.

"Gue cinta sama lo, Senja, tapi gue harus pergi. Gue gak ingin pergi sebelum mengungkapkan rasa yang terus bergejolak dihati gue."

"Rasa yang terus meronta-ronta untuk dituaikan diwadah yang tepat."

Aku terdiam, kenapa sangat sakit ketika dia mengucapkan kalimat itu?

"Fajar, lo mau ke mana?" bukan pikiranku yang mendorongku untuk bertanya melainkan hatiku.

End Of Their StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang