Jangan khawatir, sampai kapan pun kamu akan selalu jadi bintang favoritku, yang bahkan sirius sekalipun tidak dapat mengalahkan indahnya kamu di mataku
•
•
•
•Jam di dinding kamarku sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, tetapi mataku belum lelah dan tanganku masih belum letih merangkai kata menjadi cerita.
Mataku beralih ke jendela kamar yang terbuka, melihat salah satu bintang yang berkelip indah dan paling terang. Aku meletakkan bukuku, beranjak dari kasur menuju jendela.
Hamparan bintang bertabur indah di langit, tetapi hanya bintang itu yang yang menjadi tujuan mataku. Pikiranku hanyut ke masa lalu, aku larut dalam ingatan yang dulunya adalah ingatan terindah. Namun, kini sangat menyakitkan untuk kembali diingat.
Ini tentang laki-laki yang sangat mengagumi bintang. Laki-laki yang dulu pernah berkata akan mengambil satu bintang paling indah dan terang untukku.
Mengambil bintang? Sungguh konyol.
Ingatan menyakitkan itu terus berputar dalam benakku, kenangan yang susah payah aku kubur kini seolah terbangun dan menjadi rekaman-rekaman ingatan yang menyakitkan.
"Ra, coba kamu liat bintang yang paling terang itu," tunjukknya ke arah bintang itu.
Aku melihat ke arah bintang itu.
"Indah." Satu kata yang keluar dari mulutku.
"Ya, bintang itu indah, aku juga menyukainya. Jika kamu mau aku akan mengambilnya," ucapnya, tapi matanya tidak lepas dari bintang itu.
Aku tertawa, "Bodoh, bintang itu tinggi kamu tidak akan pernah bisa menggapainya."
"Kamu benar, bintang itu terlalu tinggi untuk dimiliki."
Aku melihat kearahnya, tersirat raut wajah kecewa yang ia sembunyikan.
"Kita tidak bisa mengambil bintang, tapi kita bisa menjadi bintang." Aku menepuk pundaknya dan dia membalasnya dengan senyum lembut
"Apa kamu tau nama bintang itu?" tanyaku.
Dia menggeleng. "Aku menyukai bintang itu, tapi aku tidak tau namanya."
"Sudahi obrolan bodoh kita tentang mengambil bintang. Ingat, kita sudah di bangku SMP."
Aku mengusap air mata yang jatuh, aku benar-benar hanyut dalam luka yang sampai kapan pun tidak akan pernah bisa sembuh. Setiap aku mengingat dirinya air mata selalu menjadi teman dalam setiap isakan.
Aku kembali menatap bintang itu kelap kelipnya membuat hatiku semakin sakit.
"Hey, this is a story i hate." Aku berbicara seolah dia bisa mendengarkannya.
Seperti kaset rusak, semua tentang dirinya berputar dalam benakku. Rekaman ingatan yang kembali membuatku hancur.
Malam itu aku bersama dirinya duduk di bangku taman dekat dengan danau. Tempat kami biasa melihat bintang dan membicarakan bintang, dan Ini adalah chapter yang paling aku benci.
"Ra, aku sudah mengetahui nama bintang itu."
"Apa?"
Dirinya mengalihkan pandangan dari bintang itu, kemudian menatapku.
"Sirius, bintang paling terang jika dilihat dari Bumi."
"Setelah sekian lama membicarakan bintang itu, dan kita baru mengetahui namanya," ucapku terkekeh.
"Sudah sekian lama membicarakannya, sepertinya aku tidak menyukainya lagi."
Aku mengerutkan dahiku, apa dia sudah bosan dengan bintang itu? Ah, mungkin dia bosan, karena kami membicarakan binatang itu dari umur lima tahun dan sampai kami duduk di bangku SMA.
"Apa kamu bosan?"
"Tidak, hanya saja aku menyukai sesuatu yang jauh lebih indah dari bintang itu."
"Apa?"
"Kamu."
Aku terdiam saat dia mengucapkan satu kata itu. Jantungku sepertinya berdetak lima kali lebih cepat dari biasanya.
Dia kembali melihat bintang itu, dan aku masih mencoba menetralkan detak jantung.
"Ra, bintang jatuh, cepat ucapkan permohonan!" Dia mengagetkanku dengan instruksi yang tiba-tiba. Aku melihat langit, dia benar, sedang terjadi bintang jatuh yang sangat indah.
Aku memejamkan mataku, memohon sebuah permohonan seperti apa yang dia perintahkan.
Sudah selesai aku membuka mataku, dan melihat dirinya yang masih memejamkan mata.Apa yang dia pinta? Pikirku
Dia membuka matanya, dan pandangan yang pertama yang ia lihat adalah aku yang sedang menatapnya.
"Apa permohonanmu?"
"Aku hanya ingin hidup lebih lama."
Setelah kata itu yang dia ucap darah keluar dari hidungnya dan dirinya hilang kesadaran dan jatuh dalam pelukku. Aku yang sangat kaget segera menelpon ambulance dan meminta pertolongan.
Malam itu menjadi malam yang sangat panjang sekaligus menyakitkan. Tuhan mengambil dirinya pada malam itu, dan aku kehilangan laki-laki bintangku.
Rekaman ingatan itu membuatku kembali menangis, dan sirius menjadi saksi bisu bahwa sampai kapan pun aku tidak akan bisa melupakan laki-laki bintang itu.
"Kenapa sesakit ini Tuhan?"
Seandainya aku tau kalau malam itu adalah malam terakhir aku bersama dirinya, aku ingin kembali memohon padahal hujan bintang agar itu menjadi malam yang abadi.
Seandainya aku tau kalau malam itu adalah hari terakhirnya di dunia ini aku sangat ingin mengucapkan jika aku sangat mencintai dirinya.
Aku menatap sirius, bintang paling terang itu.
"Aku titip dirinya padamu, karena dia sudah menjadi bintang sama seperti dirimu. Dia sudah menjadi bintang, dan dia adalah bintang kesukaanku, dan dia sudah terlalu tinggi untuk aku miliki."
Aku menutup jendela kamarku, berjalan ke arah tempat tidur dan melihat ke arah jam ternyata sudah pukul dua belas malam.
Aku mengambil bukuku dan melanjutkan menulis. Menulis bagian terakhir dari cerita yang aku tulis.
"Jangan khawatir, sampai kapan pun kamu akan selalu jadi bintang favoritku, yang bahkan sirius sekalipun tidak dapat mengalahkan indahnya kamu di mata aku."
"Kamu adalah bintang terindah, tapi sudah terlalu tinggi untuk aku miliki."
KAMU SEDANG MEMBACA
End Of Their Story
Short StoryKUMPULAN CERPEN Setiap hubungan pasti memiliki akhir masing masing. Bahagia ataupun terluka sudah biasa di dalamnya. Semua orang berharap suatu hubungan berakhir bahagia, tapi bagaimana jika sebaliknya? Hubunganmu berakhir tidak sesuai maumu. Hubun...