Prolog

18 1 0
                                    


Jarak tidak lagi menjadi penghalang bagi dua insan yang sedang dilanda rindu, pun itu terjadi pada sejoli yang baru setahun menikah―Elly dan Edo.

"Ayah cepat sehat ya! Debay udah enggak sabar pingin ketemu ayah," senyumnya merekah, tampak begitu cantik menghias wajah kurus yang kini menjadi tembam karena usia kehamilan sudah memasuki sembilan bulan. Walau kamera ponsel dibuat sebagus mungkin, si tembam tetap tidak bisa menyembunyikannya.

"Doakan ya, sayang! Kamu di sana berjuang sama debay, mas di sini berjuang untuk sembuh. Bismillah, semoga dengan ujian ini Allah mengangkat derajat keluarga kita," tuturnya penuh ketenangan―meski wajah tampan itu kini terlihat lebih pucat dari biasanya.

"Aamiin, Ya Allah," Elly mengusap wajah dengan tangan kanan, pun Edo.

Hari kelahiran telah tiba, Elly bersiap memasuki ruang operasi―tidak bisa normal karena si ibu memiliki turunan penyakit asma yang dominan―khawatir membahayakan keduanya,

"Mas, doain ya! Semoga lancar dan selamat semua," pinta Elly via ponsel saat brangkar di dorong perawat menuju ruang operasi,

"Aamiin, Allahhuma Aamiin," keduanya tenggelam dalam doa masing-masing, ponsel telah keluar bersama keluarga pasien.

Berjuang memang berat, tetapi mengetahui hasil dari perjuangan itu jauh lebih berat―jika tidak sesuai harapan.

"Innalillahi wainnaillahi rojiun," lirih Elly, menahan sakit seusai melahirkan dan air mata yang membanjiri harapan,

"Semoga Allah selalu memberimu kekuatan dan kesabaran lebih, Nak!" tutur Bu Dina―ibu Elly yang kini memeluk putri bungsunya memberi dukungan, "kuatkan hatimu, ikhlas memang tidak mudah, tetapi yakinlah, saat Allah mengambil sesuatu darimu secara tiba-tiba, maka ganti yang lebih baik tengah dipersiapkan untukmu. Sabar, Nak, sabar!"

Elly tidak mampu lagi berkata-kata, hanya lantunan zikir dan air mata yang menjadi pelipur lara akan harapan yang tidak akan pernah menjadi nyata. 

Kalam Cinta untuk EllyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang