7. Akad

3 1 0
                                        

Tertutup sudah jalanku untuk memilikimu.

Merajut benang kasih yang selalu kunanti,

Ikatan murni tanpa benci,

Lantunan takbir memuji Illahi rabi,

Bersama dirimu sang pujaan hati.

Doa baikku tak lupa untukmu,

Semoga kau selalu dalam lindunganNya,

Bersama keluarga kecil yang akan kalian bina,

Menapaki liku, terjalnya dunia,

Untuk meraih Jannah seutuhnya.

Tanpa terasa, waktu begitu cepat berlalu. Membersamai siapa saja yang mau melangkah dan meninggalkan siapa pun yang hanya termenung meratapi kemalangan. Undangan pernikahan telah tersebar seantero kampus, tempat kerja dan seluruh anggota asrama. Elly dan Edo―nama kedua mempelai yang sudah tercetak manis di setiap kartu undangan.

Jumat bakda subuh, Elly berusaha menenangkan diri―mengulang hafalan berkali-kali, membantu mencetak kue, bahkan membaca buku-buku motivasi pernikahan―tapi hatinya tetap berdegup kencang. Tiap kali ada yang bertanya, Elly justru setrkesan salah tingkah pun tidak fokus.

Bu Dina memasuki kamar putrinya, "El, sarapan dulu! Entar jam delapan biar anteng waktu dirias," pintanya―Elly masih asyik duduk di kursi belajar dengan tumpukan buku motivasi pernikahan yang siap dilahap habis.

Elly menengok ke bu Dina barang sesaat, "Iya, Buk ... bentar, masih nanggung ini," kembali melanjutkan membaca―memahami setiap kata yang tertulis sampai benar-benar tersimpan diingatan jangka panjang.

"El ... makan dulu, Nak! Nanti lanjut lagi," tegas Bu Dina dengan intonasi naik beberapa oktaf―memberi kesan jerah untuk putrinya.

Dengan was-was Elly berdiri, mengikuti langkah ibunya menuju dapur.

"Mbak Elly tambah cantik, ya?" komentar salah satu tetangga yang membantu memasak.

"Bulek bisa saja," Elly tersipu malu―maksud hati mengambil piring untuk makan, justru ke rak mengambil ember, mengupas bawang merah,

"Lho-lho, calon manten kok kupas-kupas bawang merah?! Nangis-nangis juga," teriak tetangga yang lain―mengambil ember dan bawang merah dari hadapan Elly, yang masih berkedip-kedip menahan air mata, ulah kekejaman bawang merah.

Calon pengantin wanita berdiri dengan memegang beberapa alat masak yang ada di sekitarnya―tampak jelas, dia sangat gugup, "El ... bandel banget, ya! Tegas bulek―menarik lengannya ke meja makan, "makan, El, makan! Bukan kupas bawang merah," bulek semakin gemas―mencubit pipi Elly beberapa kali.

"Aw ... iya, bulek, iya. Ini tadi mau ambil piring, tapi salah," jelasnya membela diri.

"Salah ambil kok dilanjut," celetuk bulek tidak terima alasan, "udah, ndang makan!" Elly di dudukkan di kursi makan, hidangan sudah tersaji sempurna―sambal goreng kentang wortel, mie, kari ayam, bali daging, acar dan sambal bajak―di meja.

"Calon suamimu kerja apa, Nduk?" tanyanya, membuka keheningan sebelum lawan bicara memasukkan sesuap nasi ke mulut.

"Security, Bulek. Tapi juga ngajar, sopir kantoran dan ojol―beliau pekerja keras," jawabnya jujur. Walau mungkin menurut orang yang berpikir pendek akan meremehkan, tetapi tidak menyurutkan atau pun membuat Elly merasa minder.

Orang yang tadi dipanggil bulek tampak berubah ekspresi secara drastis, tadinya senyum bangga, kini seperti ingin berkata-kata yang kurang sedap di dengar telinga, "Kamu sarjana lo, Nduk. Kok mau sama laki-laki enggak jelas masa depannya?" cecarnya menghakimi.

Kalam Cinta untuk EllyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang