6. Khitbah

4 1 0
                                        

Elly menutup laptop yang sudah siap dengan Power Point Template untuk sidang minggu depan. Benda bulat di dinding sudah menunjuk pada angka dua―seluruh penghuni asrama yang biasa melembur tugas pun sudah terpejam sejak tiga puluh menit lalu.

Dia mulai meninggalkan ruang tamu, mematikan setiap lampu yang sudah tidak terpakai, ganti menyalakan lampu putih kecil di ruang salat―menyucikan diri untuk bermunajat pada Sang Khalik di sepertiga malam terakhir memang hal paling membahagiakan.

Perlahan hati mulai pasrah, menikmati setiap lantunan surah yang tengah dibaca, sampai tanpa sadar, netra merespon dengan mengeluarkan air mata.

"Ya Allah, begitu banyak nikmat yang telah engaku berikan, begitu indah rencana yang telah engkau takdirkan. Sungguh, hamba hanya manusia lalai yang sering kali masih Kauberi banyak kesempatan. Maafkan hamba Ya Rab, ampuni hamba. Hamba sadar, dosa ini lebih besar dari gunung terbesar di muka bumi―bahkan mungkin, hati ini sering terbesit riya atau takabur. Ampuni hamba Ya Allah, ampuni hamba," rintih hati Elly di setiap sujud―mengalirkan bulir-bulir bening yang tidak mampu lagi untuk dibendung.

Terlebih ketika mengingat dosa―baik yang sengaja atau tidak, amanah― yang terlaksana atau tanpa sengaja terabaikan. Salah satu penyesalan terbesar Elly adalah ketika salah satu penghuni asrama terlibat pacaran dan keluar tanpa memakai hijab. Walaupun tidak ada satu pun petinggi yayasan yang mengetahui, tapi Allah SWT Maha Melihat segalanya.

Begitu ibadahnya selesai, Elly membangunkan penghuni lain satu per satu untuk melaksanakan tahajud.

"Halangan!" jawab Safa tanpa mau membuka mata,

"Halangan, Mbak," respon Siska tetap meringkuk di selimut. Lina, Tsani dan Marwah sudah bermunajat kepada Allah sejak lima menit lalu.

Elly sempat jengah melihat ulah Siska di tempat umum, juga Safa yang suka langsung menghantam―menghakimi―tanpa perhitungan. Terlebih setelah Siska jujur―lebih baik angkat kaki dari asrama daripada memutuskan pacarnya―saat di sidang usai adu mulut dengan Safa waktu itu.

Adzan Subuh berkumandang dengan merdu, seluruh penghuni asrama mulai menyalakan sinyal-sinyal berjuang untuk menghadapi hari baru―tidak terkecuali, Elly. Pagi ini dengan tekad bulat―sebelum melepas jabatan sebagai ketua asrama―ingin mengakhiri kebengkokan yang telah terjadi pada salah satu tanggung jawabnya.

"Mumpung kita masih berkumpul di sini, alhamdulillah dalam keadaan sehat dan tidak kurang suatu apa pun," ucap Elly membuka sesi sharing pagi bakda subuh―semua yang melingkar di sana masih memakai mukenah, kecuali Safa dan Siska―hanya memakai setelan baju tidur dengan rambut masih tergerai.

"Tumben, Mbak ngajak kita sharing pagi-pagi? Biasanya sore atau sebelum tidur," celetuk Safa―masih dengan mata agak menyipit―menahan kantuk.

"Mulutnya dikondisikan, Neng!" peringat Marwah agak jengkel.

Elly tersenyum―menganguk―berusaha tetap menjadi pengayom bagi adik-adiknya, "Iya, Dek. Hari ini saya mau meluruskan kebengkokan yang pernah terjadi pada Dek Siska. Dengan berbagai pertimbangan yang telah saya bicarakan sebelumnya bersama, sekarang saya ingin benar-benar memastikan, apakah Dek Siska tidak bisa putus? Walau orang tua tetap ingin adik tinggal di sini?"

"Iya, mbak. Sorry banget, soal yang satu itu keputusanku udah final!" tegas Siska―netra menjadi terang saat mengutarakan pendapat.

"Dengan sangat terpakasa―karena keputusan seorang pemimpin akan sangat berpengaruh dengan keberlangsungan hidup anggota―maaf, Mbak harus bilang kalau kamu tidak boleh lagi tinggal di sini. Sekali lagi, bukan karena iri, sensi atau benci, Dek. Tetapi demi memberi contoh pada generasi selanjutnya. Bagaimana, Dek Siska?"

Kalam Cinta untuk EllyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang