Pengawalan

77 14 6
                                    

Malam yang hampa baginya. Di ruangan gelap ini, lelaki itu dapat melihat dengan jelas bingkai foto di depannya. Tergambar dua orangtuanya yang menjawil pipi dirinya dari sisi kanan-kiri sewaktu kecil. Tampak menggemaskan, terkadang ia sangat rindu dengan tingkah mereka yang begitu menyayanginya. Mereka tidak tiada. Kedua orangtuanya masih hidup dengan sehat. Keduanya tinggal satu atap dengannya. Namun ... semuanya tidak bersemarak seperti dulu.

Terdengar suara ricuh di luar kamarnya. Menggedor-gedor pintu ruangannya yang ia kunci rapat-rapat. Bahkan lemari yang ia simpan di samping ranjang, ditariknya ke depan pintu untuk menghindari benda berkayu jati itu terbuka secara paksa karena di gebrak-gebrak oleh kedua orangtuanya.

"Zaaay! Kamu bikin kecewa kami berdua! Kenapa kamu bisa di keluarkan dari sekolah!? Jawab Mama!" Teriakkan seorang wanita yang familiar di luar. Dialah ibu kandung Zay.

Zay masih terdiam di ranjang. Bahkan orangtuanya tidak pernah mengerti alasan dirinya dikeluarkan dari sekolah. Zay menengok ke arah jendela yang masih terbuka. Ruangan yang ia tempati berada di lantai dua, hatinya berharap agar ayahnya tidak masuk lewat jendela sana. Namun setelah dipikir-pikir memang tidak mungkin ada orang yang masuk lewat kotak persegi itu. Di sana tidak ada balkon. Hanya pijakan sebesar batu bata yang panjang mengelilingi rumah mungilnya. Ayahnya tak mungkin berjalan mengitari batu bata ber-cat putih itu untuk nekad masuk ke jendela kamarnya.

Zay mengharapkan kehadiran sebuah benda di langit. Dialah sosok yang sangat mengerti perasaannya saat ini. Benda yang berwarna kuning namun tidak memancarkan sinar yang membuat matanya sakit. Selalu percaya diri dan menghiraukan spesies bintang. Bulan, Zay cepat-cepat menghampiri jendela. Biasanya bulan itu akan terpampang jelas di malam hari.

"Bulan, aku ingin kamu ada," gumam Zay penuh harap karena dialah sosok yang terpenting bagi hidupnya. Senyumnya merekah ketika menemui sosok bulan yang ia tunggu. Ia menyongsong kehadirannya di atas langit bersama serakan bintang. "Kamu memang membuatku terharu ...."

"Zaaay! Buka pintunya! Kita omongi masalah ini dengan kepala dingin! Zaaay! Bukaaa!" Papa berteriak lantang dan jelas walau di luar pintu.

Zay tak menghiraukan, kehadiran bulan membuatnya nyaman dalam sebuah kesedihan. Sesak yang ia rasakan tadi bagai debu yang sudah dibawa angin dan tak kembali lagi.

"Dia kenapa, sih? Kenapa dia sangat pembangkang! Ini semua salah kamu! Kamu ajarin dia apa waktu kecil?" Terdengar Papa Zay berteriak, tak lain pria itu membentak Mama Zay.

"Jangan salahkan aku! Dia memang kebawaan kamu saja yang tidak mau menurut!" Mama membela diri.

"Seharusnya kamu sebagai ibu jangan terlalu melepaskannya jauh-jauh!"

Pertengkaran sengit terus berlanjut. Zay yang tak kuat mendengar teriakkan silih teriakkan mereka, sesegera mungkin membawa gitar. Memainkan senar dengan merdu dan keras membuat kericuhan mereka yang ia dengarkan senyap seketika.

Sembari menatap bulan, Zay mempercepat memetik senar gitar. Menciptakan suara yang khas ketika orangtuanya bertengkar hebat. Zay mengaku, ia sebagai laki-laki sangatlah pengecut menghadapi masalah orang lain yang bertentangan dengan dirinya. Jiwanya selalu ciut dan bodoamat. Kehidupannya dan kehidupan orang lain berbeda. Sudah seharusnya orangtuanya menutup mulut dan tidak mengunggah rumah tangga sebelah ulah bentakkan mereka, itulah yang Zay pikirkan. Selalu menguntungkan dirinya walau awalnya merasakan sakit.

Lama, Zay bermain gitar sambil memandangi bulan dengan irama musik yang ia petik menggunakan jari khusus untuknya dan untuk bulan yang menenangkan hatinya. Zay juga merasakan jari yang memetik senar mulai pegal karena terlalu lama. Pelan-pelan ia menghentikan aksi bermain gitarnya, telinganya mulai berfungsi dengan luas.

Bulan Es Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang