10. MELAMPAUI BATAS?

17 3 0
                                    

Semenjak pertukaran tubuh, Treesy lebih sering menemani bulan, terkadang bercerita pendek kepadanya meski tak pernah diberi pencerahan atau hanya diam menatapnya yang bulan sendiri diam pula. Tapi setidaknya Treesy bisa menyempatkan diri untuk bertemu bulan di malam hari, dan patut setiap malam karena dirinya tak perlu ke luar rumah seperti dulu ulah ruangan kamarnya yang tak tersedia jendela, hanya fentilasi. Di kamar milik Zay ini memiliki jendela, bisa dibuka seperti pintu, benda itu sangat bermanfaat bagi Treesy untuk melihat bulan.

Namun untuk malam ini, Treesy tidak berselera melihat bulan meski terpampang jelas di atas langit tanpa tertutup awan. Treesy hanya ingin bercermin, melihat wajahnya sendiri atau melihat wajah Zay yang ternyata memiliki air muka yang sempurna. Treesy mengakui bahwa wajah lelaki itu lumayan juga.

Cermin persegi sebesar layar TV itu tak pernah bosan dipergunakan untuk berkaca. Tapi bagaimana ceritanya bila si pemilik termangu berlebihan seperti itu. Seakan baru menyadari sesuatu.

Treesy menatap bibirnya yang ternyata memiliki warna merah alami. Rambutnya yang berantakan seperti cowok umumnya ketika belum keramas. Hidungnya yang besar namun mancung. Dan Treesy mengakui bila wajah jasadnya tidak se-tirus wajah Zay. Treesy mengamati kedua pipinya yang memerah meski samar, ia menyentuhnya dan merasakan kulit yang hangat. Ada apa ini? Apa dirinya demam? Kalau begitu ... ia menyentuh keningnya sendiri ... kenapa keningnya tidak hangat? Treesy bertanya-tanya dalam hati.

"Zaaaaay." Mamanya memanggil dari luar kamar, tak lupa mengetuk-ngetuk pintunya, sedikit janggal karena dia mengetuk pintu bertempo cepat.

Treesy sedikit tersentak, bukan kaget karena ketukan pintu secara tiba-tiba menggaungi gendang telinganya, tapi kaget dengan dirinya yang memandangi wajah Zay terlalu dalam. Bercermin untuk memandang diri sendiri dan memuji tidak diperbolehkan pada orang yang bertukar tubuh, apalagi dengan lawan jenis. Dan Treesy melakukannya.

Treesy mengembuskan napasnya, berniat membaringkan diri di kasur dan menatap kosong langit-langit atap. Kenapa terulang kembali? Sejujurnya, bercermin menatap wajah Zay sudah sering terjadi, dan kelakuan itu tak lepas mengamati secara pandangan lain seperti halnya fokus membaca buku pelajaran favorit. Seperti terhipnotis untuk melakukan itu tanpa ada pemikiran menolak. Tanpa ada larangan yang membersit di benaknya. Semuanya berjalan secara ketidaksengajaan, lalu pertanyaannya; mengapa selalu diulang-ulang seperti tersengaja?

"Zaaay!" Ratih sibuk berteriak dan mengetuk pintu berkali-kali.

Treesy tersentak, buru-buru membuka pintu kamar yang diketuk-ketuk oleh mamanya Zay. Tak habis pikir kenapa pendengarannya menjadi sayup, padahal sedari tadi pasti harus terdengar jelas bahwa pintu beradu dengan jari begitu kerasnya.

"Lama banget bukanya! Kirain sudah tidur!"

Suara lengkingan milik mamanya Zay langsung menusuk gendang telinga Treesy begitu pintu membuka. Reflek membuatnya meringis pelan dan mukanya berubah menjadi masam, betapa sangat tidak beruntungnya dirinya sekarang.

Untungnya wanita itu memaklumi anaknya. Bukan saatnya marah karena sekarang ada beberapa kejutan untuk anaknya. "Ya sudah, sekarang ... kamu ke ruang keluarga, gih. Papa sudah menunggu," cepat-cepat dia mencekal lengan anaknya yang ingin masuk kamar kembali, "ayoo! Gak ada penolakan, kamu itu sudah lama mendam di kamar melulu, alasannya belajar teruuus, sekarang alasannya mau apa lagi?" Mamanya Zay terus menyeret anaknya yang berjalan tersendat-sendat.

"Saya ingin belajar untuk sementer dua."

"Tidak! Tidak ada!" Mama Zay menjadi anti mendengar kata belajar sekarang. Kemarin-kemarin ia berusaha mengiyakan dan menyemangati karena ‘belajar’ adalah hal langka yang dilakukan anaknya dulu, tapi sekarang ... hari libur sekolah dan peristirahatan kepala yang paling penting. Secara keseluruhan belajar anaknya memang sangat terbukti, dan sekarang yang menjadi keganjalannya; kenapa perlakuan anaknya menjadi aneh? Mungkin penyebabnya adalah terlalu sering menekankan anaknya dalam belajar, maka dari itu ia jadi terdorong untuk menghiasi pemikiran anaknya lagi sebelum stres melanda.

Bulan Es Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang