11. TENTANG ORANGTUA

20 3 0
                                    

Memandangi ciptaan Tuhan memang membuat manusia terlamun dengan sendirinya. Karena mengindahkan sekaligus mengesankan. Terkadang, membuat semua orang merasa bersalah karena lupa untuk bersyukur kepada sang pencipta. Terkadang, membuat beberapa memori dalam hidup terselip dan menjadi berfikir salahnya di mana dan benarnya di mana. Hanya memandang, terkadang semua kekusutan bisa diperbaiki, walau semakin lama memandang sembari melamun, maka semakin terambanglah mata dan juga pikiran menuju suatu kekosongan yang hanya berisi semua kejadian-kejadian yang teralami.

Zay duduk di kursi taman yang katanya selalu dijadikan tempat menyendiri oleh Treesy sebelum terjadinya bertukar tubuh. Dan setelah terjadinya pertukaran, dirinyalah yang menduduki kekuasaan di malam hari, hanya untuk memandang bulan.

"Bulan ... aku anak gak becus, ya?"

Hati Zay berubah kecut. Mendadak kejadian di rumah Treesy terulang kembali di benaknya, terus menerus terulang tanpa dosa. Hingga akhirnya ia berteriak lemas, betapa tidak nyamannya dirinya pada Treesy, juga pada ibunya.

Mendadak ia ingin pulang ke asalnya. Ingin memeluk mama-papanya. Namun, tidak mungkin atau ... tidak bisa.

Sebelah pundak Zay memberat, seperti ada yang menyentuhnya dari belakang. "Es? Kamu ke sini?" tanyanya ketika menengok ke belakang dan mendapati jasadnya.

Treesy duduk di samping Zay. Tanpa menjawab dan tanpa mempertanyakan anak itu juga kenapa bisa ke luar rumah di malam hari, ditambah sekarang sudah menunjukkan pukul sembilan lewat, yang biasanya, ibunya tak akan mengijinkan putri semata wayangnya keluyuran malam-malam.

Zay sama sekali tak mengerti ketika Treesy ke mari hanya untuk memandang bulan. "Kamu kan bisa lihat bulan di kamarku lewat jendela, kenapa harus ke sini jauh-jauh? Aku masih mending dekat." 

Treesy hanya menggeleng.

Muncullah rasa curiga Zay kepada Treesy yang tidak biasa berwajah kusut itu. "Orangtuaku marahin kamu? Atau mereka ... berantem?" dengan hati-hati ia bertanya.

"Tidak. Hanya saja mereka kecewa." Treesy tak tahu ini berita membahagiakan bagi Zay atau tidak. "Dan anda kenapa bisa ke luar rumah malam hari?" 

Mendengar jawaban dan pertanyaan Treesy, Zay menjadi tersenyum nanar. Sebelum menimpali jawaban Treesy, ia menjawab pertanyaan Treesy terlebih dahulu, "Aku gak bisa membantu ibumu. Aku gak bisa masak, bersihin lantai pun susah dan alhasil ibumu yang selalu menyapu ulang ketika aku sudah sepenuhnya bersihin lantai yang menurut ibumu masih kotor. Menge-pal lantai? Malah jadi becek satu rumah. Cuci baju? Aku gak bisa. Yang aku bisa paling cuma, bersihin kasur, jemur baju, cuci piring. Udah cuma itu. Sedangkan ibumu—"

"Jelas, karena anda laki-laki," tukas Treesy cepat, telinganya terasa panas bila Zay mengabsen dan membandingkan kelakuan dia dengan kelakuan ibunya.

"Jadinya, ibumu harus bersihin rumah semuanya. Belum lagi dia kerja buat membiayai keperluanku," tutur Zay, merasa bersalah. "Maaf, ya?"

Treesy mengangguk kecil. Tetap datar. "Apa yang anda bisa, maka lakukanlah. Jangan memaksakan diri sendiri meski ibu saya menjadi curiga kenapa anaknya menjadi aneh. Seperti orangtua anda juga menyebut saya aneh."

Zay yang tadinya menengadah ke atas langit, sekarang melirik Treesy. "Tadi kamu bilang kalau orangtuaku jadi kecewa, itu karena apa? Kamu berantem sama mereka?"

"Hanya membenarkan."

"Membenarkan apa?" Kening Zay berkerut seketika.

"Membenarkan kekeliruan orangtua."

Wajah Zay dilanda pendugaan dan pertanyaan. "Tolong, Treesy. Ceritain tentang apa yang terjadi. Kali ini aku minta kamu ngomong yang serius!" Nada suara Zay mulai tak mengenakkan, penuh kecurigaan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bulan Es Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang