8. BERTEMAN

19 6 2
                                    

Bocah tengil itu sedang berlari mengejar kupu-kupu di taman. Tertawa bahagia seakan sangat menikmati meski kupu-kupu itu setia terbang–pergi. Wajah mungilnya diterpa matahari pagi yang hangat. Rambut pendeknya berlompatan ketika berlari. Seperti tak kenal waktu dan lelah pada anak umumnya, dia terus saja asyik bermain.

Seragam merah putihnya kotor ketika anak kecil itu terjatuh di genangan lumpur, namun anehnya dia tetap tertawa seakan beban hidup sedang melayang pergi darinya. Dia tidak memikirkan akan seperti apa nasibnya bila kedua orangtuanya melihat seragam sekolahnya kotor. Dan jika pemikirannya tidak dibarengi dengan nafsu, dia akan menduga kedua orangtuanya akan marah karena dirinya selalu berpura-pura izin pup kepada ibu guru demi bermain di taman sekolah. Alasan anak itu lumayan cerdik yaitu, "Aku sudah belajar di rumah, berarti sekolah bukan lagi tempat untuk belajarku melainkan untuk mereka yang selalu bermain di rumah."

Terbilang perkataan anak itu salah besar. Namun, dia memang sudah belajar 'di rumah' (PR) dengan sungguh-sungguh. Dia juga terkadang mengelak kepada guru-guru bahwa dirinya menempatkan bermain di sekolah dan belajar di rumah. Dia yang baru kelas satu SD sangat pandai memusingkan seseorang, terlebih lagi para guru.

"Eh, ada Zay ...."

Zay kecil mulai bangkit berdiri, sedikit merapikan seragamnya yang bercampuran lumpur lengket. Ia memincingkan mata kepada sumber suara, ada tiga bocah gembul dan sama-sama berseragam SD dengannya. Yang membedakan, mereka lebih tua darinya. "Apa ...?"

"Sini ...," titah salah satu dari mereka. Terlihat misterius.

Dengan polos Zay kecil menghampiri. Namun setelah itu tubuhnya ditarik maju oleh mereka. "Eh! Mau ngapain? Lepasiin!" Ia berseru penuh amarah, tatapannya menajam kepada mereka. "Mau apa kalian?"

"Udah diem aja ...."

"Kalian yang seharusnya diem, gak usah narik-narik! Emang aku ini apa? Karung beras?" Zay kecil terus berkicau sengit. Namun yang ada dirinya tetap diseret-seret menuju suatu tempat. Sepi. Di sana ia dilempar ke tanah yang kering dan memungkinkan kulitnya tergores ulah tanah kasar. "Mau apa, sih!?" Ia meringis-ringis.

"Kau tahu siapa kita?"

"Kalian laki-laki, kelas 4. Kenapa?"

"Bukan itu!" Mereka berdecak kesal.

"Apaan?" Zay kecil pun sama berdecak. Dia mulai berdiri yang tadinya tergeletak di tanah. Raut wajahnya benar-benar polos, dia memang tidak tahu mereka siapa.

"Kita itu jeger sekolah, tauu! Dan kata orang kau selalu keluar kelas melulu kayak kita. Bolos belajar." Mereka menjelaskan, menaruh kedengkian.

"Terus?" Zay kecil mengangkat alis, tak mengerti. "Kalian mau main sama aku?" tanyanya polos.

"Anak kecil mana paham?" Salah satu meremehi. Sempat memberi kode-kode kepada dua orang di kanan-kiri seperti berucap, 'HAJAR!!!'. Tapi sebelum itu, dia berkata; "Minta maaf kepada kita kalau kau mau bebas dari sini."

"Buat?" Zay bertanya serius. Meski masih bocah, ia pernah diajari oleh orangtuanya pasal; "Bilang minta maaf untuk yang bersalah. Dan aku gak bakal pernah minta maaf kepada kalian. Minta maaf aku itu mahal."

Mereka tersenyum picik bersama dan saling mendekati Zay kecil. "Kesempatan untuk lari yang dibuang sia-sia. Sekarang hanya ketakutanlah yang ada."

"Aaaaaaaaaa–!"

*
"–aaaaaaaaa!" Zay tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Keadaannya terguncang hebat hanya karena masa itu. Traumanya. Nafasnya tersengal-sengal seperti sudah melakukan pekerjaan berat. Keringat dingin tiba-tiba mengalir di benaknya.

Bulan Es Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang