Athala memandangi amplop berwarna merah tua yang baru saja tiba di rumahnya, diletakkan dengan hati-hati di atas meja. Kertasnya kasar, seperti sudah lama berkelana di tangan yang salah. Namanya terukir di atasnya dengan tinta emas, indah namun memancarkan sesuatu yang ganjil—sebuah undangan reuni yang datang tiba-tiba, seolah diundang oleh masa lalu yang belum sepenuhnya terkubur.
Di dalam amplop itu, selembar kertas tipis terlipat rapi dengan tulisan:
Reuni Teman Lama.
Untuk yang Masih Bertahan.Diikuti dengan peta yang menunjukkan lokasi tersembunyi di tengah hutan, jauh dari hiruk-pikuk Jakarta, seakan ingin memisahkan mereka dari dunia yang mereka kenal.
Kenzo duduk di sofa, memperhatikan Athala yang masih terpaku pada undangan itu. "Itu apa?" tanyanya, suaranya setengah bercanda namun ada rasa khawatir yang tersembunyi di baliknya.
“Chacha yang kirim,” jawab Athala pelan, sambil menyerahkan kertas itu. “Reuni. Dengan semua yang masih selamat dari kejadian setahun lalu.”
Kenzo membaca cepat, lalu mengernyit. “Selamat? Maksudnya… kejadian itu?”
Athala mengangguk, mengingat malam yang tak pernah bisa ia hapus dari ingatan, saat sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia berubah menjadi bencana. “Aku udah coba hubungi Chacha, Nadila, sama Nirvana, tapi nomornya nggak aktif semua.”
“Bisa jadi mereka udah ganti nomor.”
Athala menggigit bibir, mencoba menahan rasa takut yang mengendap. “Kalau cuma satu atau dua orang, aku bisa paham. Tapi ini tiga orang hilang kontak, barengan. Ada yang aneh, Ken.”
Kenzo menghela napas dan merangkul bahu Athala. “Dengar, mungkin ini cuma mereka yang ingin nyoba move on. Kita semua butuh penyembuhan, kan?”
Athala hanya mengangguk, tapi jauh di dalam dirinya, ia tahu reuni ini lebih dari sekadar pertemuan lama. Itu adalah panggilan dari sesuatu yang belum selesai.
***
Hari yang ditentukan tiba dengan awan mendung menggantung di langit. Kenzo menyetir, sementara Athala duduk di sebelahnya, menggenggam undangan itu seolah mencari jawaban dari lipatan kertas yang membisu. Jalanan perlahan berubah, dari yang tadinya sibuk dengan kendaraan menjadi semakin sepi. Hanya ada pohon-pohon pinus yang membentuk lorong panjang dan gelap di depan mereka.
“Kita bener-bener keluar dari Jakarta, ya?” tanya Athala, merasa pemandangan di luar terlalu sunyi untuk disebut kota.
Kenzo mengangguk. “GPS bilang ini jalan yang benar. Tapi kok sepi banget, ya?”
Langit semakin gelap, lebih gelap dari yang seharusnya di siang hari. Jalan yang mereka lalui berbelok tajam dan menanjak, membuat mobil terasa bergetar setiap kali melewati jalan berlubang. Tidak ada lampu jalan, hanya cahaya dari lampu mobil mereka yang menerobos kegelapan.
“Bensinnya turun cepat banget,” gumam Kenzo saat melihat indikator bahan bakar yang sudah hampir habis. Padahal, tangki mereka baru saja diisi penuh sebelum berangkat.
Athala melihat sekeliling, mencoba menemukan tanda kehidupan, tapi tidak ada apapun selain pohon-pohon dan bayangannya yang terasa menekan. “Kita nggak mungkin balik lagi, kan?”
“Kayaknya nggak ada pom bensin dekat sini,” Kenzo menjawab. “Semoga aja villa-nya udah deket.”
Mereka sampai di persimpangan kecil tanpa tanda apa pun. Kedua jalan di depannya terlihat sama, hanya gelap dan tidak terjamah. Kenzo memperlambat mobil, sementara GPS di ponselnya berhenti bekerja, sinyal menghilang sepenuhnya. Tidak ada petunjuk, tidak ada arah. Seperti dunia tiba-tiba memutuskan mereka tidak perlu tahu.
“Aku nggak suka ini, Ken,” Athala berbisik, suaranya tergetar oleh rasa takut yang perlahan-lahan mencengkram.
Tiba-tiba, kaca jendela mobil diketuk keras, membuat Athala berteriak terkejut. Kenzo memutar kepala, mencari sumber suara. Di luar, berdiri seorang pria tua dengan wajah yang seperti baru saja keluar dari kuburan, pucat dengan mata abu-abu kosong dan rambut kusut yang menjuntai menutupi sebagian wajahnya.
Kenzo membuka kaca jendela, meskipun perasaan was-was sudah menjalar di dadanya. “Ada apa, Pak?”
Pria itu hanya menatap dengan senyum tipis yang tak sampai ke matanya, lalu menunjuk ke kiri, bibirnya bergerak namun suaranya tak terdengar. Ia mengucapkan sesuatu yang Kenzo tidak bisa pahami, namun ada nada perintah yang samar.
“Dia bilang kita harus belok kiri,” kata Kenzo setelah menutup kaca lagi. Tapi suaranya terdengar hampa, seolah tak yakin apakah benar atau salah.
Athala mengamati pria itu dari dalam, matanya masih tidak lepas dari sosok pria tua yang sekarang berdiri kaku, memandang mereka seperti sedang mengukur sesuatu. Seperti seorang hakim yang menilai hukuman yang pantas.
“Ken, dia aneh,” bisik Athala. “Jangan dengar dia.”
Tapi Kenzo tidak punya pilihan lain. Ia memutar setir perlahan, mengikuti jalan yang ditunjuk pria itu, berharap mereka menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan semua ini. Saat mobil berbelok, pria tua itu lenyap, seakan tertelan oleh hutan.
Mereka terus melaju dalam kegelapan, dan saat itulah truk besar muncul dari arah yang tidak terduga. Lampu sorot truk itu menerangi mobil mereka dengan brutal, seperti sinar matahari yang membakar. Tidak ada waktu untuk bereaksi, hanya ada dentuman keras saat truk itu menghantam mereka tanpa ampun.
Athala merasakan tubuhnya terlempar, kepalanya membentur kaca dan segalanya menjadi kabur. Kenzo berusaha mengendalikan setir, tapi dunia sudah terbalik. Mereka terguling, satu dua tiga kali, hingga akhirnya berhenti terbalik dengan suara logam yang berderit. Darah mengalir di wajah Kenzo, dan di dalam kesunyian yang memekakkan, hanya terdengar napas berat yang terpotong-potong.
Dari kejauhan, siulan terdengar lagi, samar-samar namun jelas. Pria tua itu berdiri di tepian jalan, memandang dengan puas. Seperti sebuah siklus yang sudah berulang kali ia saksikan, menghilang dalam bayang-bayang sebelum Athala sempat memahami apa yang sebenarnya terjadi.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Find the Key 2
Mistério / Suspense(Slow Update) ⚠️ jangan baca tunggu tamat, nanti ketinggalan tau-tau sudah dihapus. Kenzo dan Athala mendapatkan invitation reuni dari teman-teman lama mereka. Dalam perjalanan menuju ke sana, tiba-tiba mereka mengalami kecelakaan hingga tidak sadar...