Aroma Mint

2 1 0
                                    

Tiba saatnya pengumuman pemenang kompetisi violinist ini. Aku penasaran, siapa kiranya yang akan menang? Apa dia menandatangani kontrak yang sebelumnya ditawarkan padaku?

Pembawa acara  sudah bersiap untuk menyebutkan nama sang pemenang. Semua peserta yang menunggu di belakang panggung tampak gugup menunggu pengumuman, hanya seorang gadis yang terlihat santai seakan tahu hasil pengumumannya.

Lee Dae Hee adalah gadis yang duduk di sampingku, ia sama sekali tak punya rasa cemas atau gugup. Mungkinkah dia sang pemenang yang sudah ditentukan? Tak wajar bila tak ada rasa gugup, terlebih lagi acara ini adalah kompetisi besar dengan hadiah yang juga besar.

Sesekali Lee Dae Hee tersenyum sinis saat melihat peserta lain. Senyum sinisnya itu sungguh mencerminkan sifat buruknya.

"Selamat untuk ... Lee Dae Hee." Tepuk tangan para penonton mengiringi Lee Dae Hee yang naik ke panggung.

Perasaanku benar, gadis itu bersikap sinis karena ia tahu yang menang adalah dirinya sendiri dan mungkin menganggap yang lain hanya membuang energi mereka dengan sia-sia.

Sesaat, aku mencium aroma mint. Aroma itu sama persis dengan yang yang ada di sapu tangan pria itu. Mungkinkah dia ada di sini?

Aku mencoba mencarinya, akan tetapi tak ada pria di sini. Semua yang ada di belakang panggung adalah wanita. Mungkin hanya perasaanku saja.

"Selamat atas kemenanganmu," ucap seseorang tiba-tiba memberikan buket bunga mawar putih padaku.

Dia seorang pria tampan berkemeja hitam  dengan kamera yang digantung di lehernya. Ia memberikan bunga mawar putih dengan senyum dan duduk di sampingku.

"Maaf. Siapa kau? Apa kita saling mengenal?" tanyaku memastikan.

Bukannya menjawab, ia malah menunjukkan kartu panitia kompetisi violinist. Nama yang tertera di sana adalah Jung Ba Reum, di sana juga ada logo majalah "WHY".

"WHY? Kau dari majalah Why?" tanyaku memastikan lagi.

Pria itu tersenyum dan mengangguk. Aku tahu, majalah "WHY" adalah majalah yang bekerjasama dengan yayasan yang menaungi kompetisi ini.    

Penampilan dan fashion peserta akan menjadi bahan untuk majalah itu, jadi wajar bila banyak fotografer yang memotret para peserta.

"Tapi, aku bukan pemenang. Kau bisa berikan bunga ini untuk Lee Dae Hee, dia pemenangnya."

"Bunga ini khusus untukmu bukan untuk Lee Dae Hee. Kau menang atas ujian ini."

"Ujian?"

"Ya, ujian. Bukankah kompetisi ini sama dengan ujian. Jadi, terimalah bunga ini."

"Terima kasih," ucapku menerima bunga itu karena Jung Ba Reum terlihat tulus.

Dering ponsel mengganggu fokusku yang sedang mencium wangi bunga ini. Rupanya ponsel Jung Ba Reum yang berdering.

"Bibi," ujar pria itu saat melihat ponselnya.

"Aku permisi." Jung Ba Reum pergi meninggalkanku dengan tergesah-gesah. Aku harap tidak terjadi sesuatu dengan bibinya. Ekspresi cemas terlihat jelas di wajah Ba Reum tadi.

Aku baru sadar kalau aroma Jung Ba Reum adalah mint. Aroma ini, sama seperti aroma pria yang bertabrakan denganku di hotel RV kemarin. Mungkinkah Jung Ba Reum adalah pria aroma mint itu?

"Oh Bong Yi." Sung Ji Eun duduk di sampingku dengan senyum anehnya.

Aku punya perasaan tidak baik dengan senyum Ji Eun. Jika senyum itu muncul, biasanya dia akan mencoba meledekku.

"Bong Yi," panggilnya padaku.

"Bunga dari siapa itu?" sambungnya masih dengan senyumnya itu.

"Bunga ini dari Jung Ba Reum, salah satu fotografer dari majalah "WHY".

"Jadi ... itu dari seorang pria." Ji Eun terus mencoba meledekku.

"Iya, sudahlah! Aku mau ganti pakaian, kemarikan tasku dan jangan coba meledekku lagi, mengerti!"

Aku berusaha kabur dari wawancara dadakan Ji Eun. Dia adalah teman yang selalu ingin tahu jika menyangkut soal pria.

Aku mengganti gaun dengan pakaian biasa. Celana jin dan kaos dilengkapi dengan outer adalah gaya berpakaian yang sering aku gunakan saat bepergian.

Aku memandang diriku sendiri di cermin. Satu persen dalam hatiku adalah perasaan menyesal karena tak mampu menjadi pemenang dan sembilan puluh sembilan persen adalah rasa bangga karena mampu melalui semua ini tanpa campur tangan orang kotor. Hanya saja, aku merasa sedikit menyesal karena tak mampu memberikan kemenangan pada Ibu.

Saat keluar dari ruang ganti, tanpa sengaja aku bertemu Tuan Joo Jae Suk. Dia tersenyum seraya memberikan tangannya untuk berjabat tangan denganku.

"Selamat, Nona Oh Bong Yi. Selamat atas penyesalan yang akan menghantui dirimu mulai saat ini," ujar pria itu.

Ingin rasanya aku menghinanya dan mengatakan kalau dia adalah orang yang curang pada semua orang. Namun, aku masih berusaha untuk tetap tenang dan membiarkan dia menghinaku dengan kata-kata yang diucapkan.

"Tak ada penyesalan sedikitpun, Tuan. Entah itu hari ini atau nanti, penyesalan tak akan pernah aku rasakan."

Aku bergegas meninggalkan Tuan Joo sebelum aku kehilangan kendali dan menamparnya.

Aku mengajak Ji Eun untuk pulang. Rasanya tak tahan lagi berada di sini. Untung saja Ji Eun tak terlalu banyak bertanya saat kuajak pulang padahal acara belum selesai.

Saat berjalan di lobi gedung Seoultopia, aku melihat Lee Dae Hee berjalan dengan kadidat presiden nomor urut dua yaitu Tuan Ahn Ji Young.

Mereka terlihat akrab dan pengawalan disekitar mereka sangat ketat. Di belakang rombongan Tuan Ji Young, ada beberapa panitia kompetisi termasuk Tuan Joo Jae Suk.

Kemana kiranya mereka akan pergi? Atau mungkin mereka semua akan membahas konser tunggal yang akan digelar untuk Dae Hee.

"Bong Yi, ayo." Ji Eun menyadarkan diriku yang masih fokus dengan rombongan tadi.

Aku melanjutkan langkah untuk keluar gedung. Tiap langkah, aku coba membayangkan diriku ada di posisi Dae Hee saat ini. Bohong jika aku mengatakan tak sedikitpun menyesal, akan tetapi setiap mengingat Ibu, penyesalan itu akan lenyap.

Ibu akan sangat marah jika tahu yang sebenarnya dan aku masih menerima kontrak itu. Ibu akan membenci karena sikap yang aku ambil jika mau menandatangani kontrak kotor itu.

Dalam perjalanan pulang, aku mencoba menghubungi Ibu. Namun, tak ada jawaban dari Ibu. Ponselnya aktif akan tetapi tak ada respon dari Ibu. Berkali-kali kuhubungi akan tetapi tak ada satupun yang dijawab. Aku jadi khawatir pada Ibu.

"Ji Eun, Ibu tak menjawab teleponku. Bisa lebih cepat? Aku khawatir pada Ibu," pintaku pada Ji Eun yang fokus mengemudi.

Sung Ji Eun menambah kecepatan mobilnya. Aku benar-benar berharap tak terjadi sesuatu pada Ibu.

Saat aku dan Ji Eun sampai di rumah, aku bergegas mencari keberadaan Ibu karena Ibu tak menyapa saat aku dan Ji Eun pulang.

Aku mencari Ibu ke dapur karena biasanya Ibu akan menyiapkan makanan istimewa setiap kali aku pulang berkompetisi.

Ada aroma mint di sini. Ibu tak mungkin pakai parfum dengan aroma mint, lalu siapa yang baru saja berada di sini.

"Aaa!"

Aku mendengar Ji Eun berteriak. bergegas aku berlari menghampiri Ji Eun.

Sung Ji Eun terduduk lemas di depan kamar Ibu yang pintunya terbuka. Perlahan aku mendekat dengan perasaan khawatir.

Saat ini jantungku seakan berhenti berdetak. Aku melihat pemandangan yang tak pernah aku bayangkan seumur hidup. Ibu tergeletak bersimbah darah.





Black ScandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang