Siapa Dia?

3 1 0
                                    

Bel berbunyi tanda tamu datang. Orang itu pasti Ba Reum, ia pasti baru sadar ponselnya tertinggal.

Kubuka pintu dan melihat Jung Ba Reum meringis di depanku. Sepertinya, pria ini suka sekali menunjukkan senyum dan giginya.

"Bong Yi, ponselku tertinggal," ucap pria itu.

Aku memberikan ponsel Ba Reum dengan senyum. Tingkah pria ini sungguh menggemaskan. Tunggu, kenapa aku jadi mengaguminya.

"Terima kasih," ucap Ba Reum seraya pergi.

Aku kembali mencari ponsel Ibu yang belum kutemukan. Tidak mungkin jika Ibu meninggalkan ponselnya di sembarang tempat, kan?

Aku berinisiatif untuk menghubungi Paman Cha, mungkin ponsel Ibu diambil untuk barang bukti.

Beberapa menit berlalu, tetapi Paman Cha belum juga menjawab teleponku. Ponselnya aktif, akan tetapi ia tak menjawab panggilanku.

Ini panggilan terakhirku pada Paman Cha. Jika Paman Tua itu tak kunjung menjawab telepon, aku akan mendatanginya ke kantor polisi.

Usaha terakhirku tak sia-sia, akhirnya Paman Cha menjawab teleponku. Tak perlu lama-lama, aku langsung menanyakan soal ponsel Ibu.

Paman Cha mengatakan, tak ada ponsel di dalam daftar barang bukti kasus Ibu. Barang bukti kasus Ibu hanya ada sebuah belati dan buku catatan Ayah. Dalam laporan kasus, juga hanya ada catatan tentang luka bekas sayatan di pergelangan tangan kiri Ibu, selain semua itu, tak ada hal lain lagi.

Lalu, di mana ponsel Ibu? Atau mungkin, seseorang yang memiliki aroma mint itu yang mengambil ponsel Ibu?

Suara bel memecah konsentrasiku saat kembali mencari ponsel Ibu. Rupanya yang datang adalah Ji Eun. Dia membawa banyak makan dan buah-buahan. Aku tidak tahu dia membawa semua itu dalam rangka apa.

"Kau mau buka restoran di rumahku, Ji Eun?" tanyaku sedikit menyindir temanku ini.

"Semua ini aku beli untuk mengisi lemari es mu. Aku tidak mau kau kelaparan. Aku takut kau kelaparan karena terus bersedih." Ji Eun menatapku intens. Aku tahu, dia begitu peduli padaku.

Aku memeluk Ji Eun erat. Bagiku, dia bukan hanya teman, dia sudah seperti kakakku sendiri. Walau umurku dan dia sama, tetapi pemikirannya jauh lebih dewasa dibanding aku.

"Oh Bong Yi, dengarkan aku. Aku di sini untuk bersamamu sampai kapanpun. Kau tak sendirian, ada aku, In Beom dan Yo Han bersamamu."

Ya, aku tahu. Aku tak sendirian di sini. Ada teman-teman yang selalu ada  bersamaku.

Ada yang menarik perhatianku saat memperhatikan Ji Eun yang sedang menata isi lemari es. Sebuah cincin dengan batu safir biru melingkar di jari manis tangan kiri Ji Eun.

"Ji Eun ... cincin dari siapa itu?" tanyaku seraya menunjuk-nunjuk cincin Ji Eun.

Ji Eun tersipu malu menandakan kalau itu cincin dari seorang pria. Aku punya firasat kalau cincin itu dari Park In Beom. Mereka terlihat sangat dekat selama ini.

"Ini ... cincin dari Park In Beom," Bisik Ji Eun.

Rupanya firasatku benar. Dua temanku sedang dimabuk asmara. Aku turut bahagia dengan hubungan mereka.

"Kenapa tak bicara sejak awal, kalau kalian saling menyukai. Jika bicara dari awal aku akan bantu kalian bersatu." Ucapanku bagai seseorang yang bekerja di biro jodoh, padahal aku sendiri pun tak pernah punya hubungam serius dengan pria.

"Bong Yi, karena terlalu terburu-buru, kita tidak sempat mengabadikan momen di kompetisi kemarin."

"Di majalah "WHY" tentu ada banyak foto-foto. Kenapa bingung?"

"Tentu ada, tapi pasti sudah diedit dengan berbagai bingkai. Aku mau yang real."

Foto-foto asli? Oh, ya tentu Jung Ba Reum menyimpannya. Dia kan salah satu fotografer majalah "WHY".

"Ji Eun, aku rasa Ba Reum punya. Bagaimana kalau besok kita minta padanya?" ajakku dengan antusias.

"Besok? Aku ada janji dengan In Beom besok."

"Kalau begitu, biar aku saja yang minta padanya besok."

"Ide bagus. Tunggu, sejak kapan kalian saling mengenal dan dekat?" tanya Ji Eun menyudutkanku.

"Aku bertemu dengannya di kompetisi. Kalau masalah dekat, aku rasa tak ada kedekatan istimewa antara aku dan dia."

Ji Eun memicingkan mata padaku, dia seolah tak percaya dengan penjelasannku. Memangnya, apa yang aku katakan salah? Aku memang tak punya kedekatan istimewa dengan Ba Reum.

***
Sampailah aku di kantor majalah "WHY". Aku tak tahu nomor Ba Reum, jadi aku datang tanpa memberitahunya. Semoga saja dia ada di kantor.

"Permisi. Aku ingin bertemu dengan Fotografer Jung. Apa dia ada di kantor?" tanyaku pada seorang wanita yang duduk belakang meja resepsionis.

"Oh, Nona mencari Fotografer Jung? Hari ini dia mengambil libur untuk peringatan kematian kakaknya," jawab wanita itu.

"Apa aku boleh minta alamat rumahnya?"

Resepsionis itu menuliskan sebuah alamat untukku. Aku berharap bisa bertemu dengan Ba Reum hari ini. Sama seperti saat dia menghiburku, aku juga ingin menghiburnya hari ini. Dia pasti sedang sedih mengingat kakaknya.

Beruntung aku saat melihat Ba Reum baru saja keluar dari rumah. Sepertinya ia baru mau berangkat ke makam kakaknya karena ia membawa sebuah buket bunga dan ia juga memakai setelan jas hitam.

"Oh Bong Yi. Kau di sini?"

Aku menghampiri Ba Reum yang terlihat terkejut dengan kedatanganku.

"Apa kau akan mengunjungi kakakmu? Jika iya, bolehkah aku ikut?"

Aku sedikit takut, aku takut dia tidak mengijinkanku untuk ikut. Namun, dengan senyum, ia membukakan pintu mobil dan menyuruhku untuk masuk.

Saat sampai di makam. Ba Reum menuntunku ke satu makam dengan nama Jung Ah Reum. Jung Ba Reum meletakkan buket bunga yang ia bawa di atas makam itu.

"Kak, aku membawa teman kemari. Dia cantik, kan?"

Suasana seperti ini membuatku bersedih mengingat Ibu. Aku tahu yang Ba Reum rasakan. Aku tahu kepedihan yang dia alami.

Cukup lama Ba Reum berbincang dengan bayang tak berwujud. Aku tak bisa berbuat apapun, hanya bisa memberikan tempat untuk menampung luapan kesedihannya.

Setelah selesai, Jung Ba Reum memintaku untuk menemaninya minum. Aku mengiyakan permintaannya karena merasa kasihan pada pria malang yang nasibnya sama denganku.

"Kau mau minum?" tanya Ba Reum begitu aku dan dia sampai di rumahnya.

"Aku minum jus saja. Aku tak minum minuman beralkohol."

Jung Ba Reum menyuruhku untuk menunggu di mini bar yang tersedia di rumahnya. Interior rumahnya unik, bahkan ada mini bar di sudut ruang tengah ini.

Ba Reum benar-benar terlihat sedih. Ia melampiaskan kesedihan dengan minum.

Malam telah larut, aku berniat pulang. Namun, Ba Reum terus menghentikanku. Dia sudah sangat mabuk dan hampir tak sadarkan diri.
Dia meracau banyak hal, dan melakukan tingkah aneh khas orang yang mabuk.

"Ssst! Aku menyimpan rahasia ... ra-ha-si-a dari gadis can-tik," racau Ba Reum lagi.

"Kau mau minum? A-ku ambilkan, ya?" sambungnya.

Jung Ba Reum mulai menurunkan satu-persatu gelas yang disusun rapi di lemari tepat di belakang ia berdiri saat ini.

"Satu ... dua ... ti-" Jung Ba reum sudah tak sadarkan diri.

Sesuatu yang ada di belakang tumpukkan gelas membuatku tertarik. Aku melihat benda berwarna biru dari kejauhan walau tak tampak seluruhnya.

Rasa penasaran membuatku mengambil benda itu. Aku melakukannya perlahan, agar susunan gelasnya tak jatuh dan pecah.

Aku tak menyangka, yang aku temukan adalah ponsel Ibu.
Benda ini? Kenapa benda ini ada di sini? Aku mencari ponsel ini kemana-mana. Apa yang sebenarnya terjadi?

Siapa Jung Ba Reum? Siapa dia? Mungkinkah dia yang membunuh Ibuku?

Black ScandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang