BAGIAN 5

114 9 0
                                    

Tanpa setahu para tokoh persilatan yang tengah berperahu, para penghuni Pesanggrahan Telaga Warna saat ini telah bersiap-siap menyambut kedatangan mereka. Hari ini mereka tak dapat lagi mengandalkan air telaga disekitar pesanggrahan. Karena mereka lebih tahu, kalau hari ini air telaga mulai tenang kembali, tidak meminta korban seperti hari-hari kemarin.
Laki-laki tua berpakaian serba kuning yang bernama Samba dan berjuluk si Lutung Pancasona, memandang dengan tatapan tajam. Sepasang pedang pendek tampak tersembul di punggungnya. Rambutnya putih dikuncir ke atas. Kumis dan jenggotnya berwarna putih juga. Sikapnya benar-benar penuh perbawa.
Di sebelah Lutung Pancasona berdiri istrinya yang bernama Rukmini. Senjatanya berupa tongkat berwana hijau. Sehingga dia dijuluki Bidadari Tongkat Hijau. Rambutnya yang berwarna hitam bercampur putih digelung rapi ke atas. Pada wajahnya masih tersisa kecantikan di waktu muda dulu, Wanita tua ini mengenakan pakaian serba biru.
Sedangkan ketiga anak gadis mereka yang cantik bersiaga di tiga penjuru. Sehingga mereka yang berjumlah lima orang ini bersiaga di lima penjuru. Mereka yakin, kedatangan orang-orang persilatan untuk mengambil Bunga Nirwana yang sangat langka yang terdapat di halaman Pesanggrahan Telaga Warna. Jangankan orang luar, pemiliknya sendiri baru akan melihat kemunculannya saat ini.
Saat itu Ki Demong dan Wisnupati tengah dihadang dan diancam oleh beberapa orang berpakaian serba hitam dari atas perahu. Melihat lambang di dada yang bergambar seekor kucing dengan mata mencorong tajam, jelas kalau mereka berasal dari Perguruan Kucing Hitam. Tetapi guru dan murid ini tampak tenang-tenang saja. Bahkan....
"Mau apa kalian semua...? Jangan coba main gila denganku! Menyingkirlah sebelum aku marah...!" ancam Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Hahaha...! Lucu sekali orang tua pikun ini.... Dia agaknya belum kenal siapa kita...," ejek salah seorang.
"Tidak perlu banyak mulut...! Singkirkan saja orang tua tak tahu diri itu...!" seru seorang laki-laki setengah baya berpakaian serba hitam sambil menuding Ki Demong dengan pedangnya.
"Heaaat!"
"Ciaaat!"
Beberapa pemuda berpakaian serba hitam itu langsung melempar tombak ke arah Ki Demong dan Wisnupati yang berada di atas batang pohon. Namun dengan gerakan seadanya, tombak-tombak itu ditangkap dan ditarik guru dan murid itu dengan kekuatan tinggi. Tak ampun lagi, mereka tertarik ke depan. Dan....
"Wuaaa...!"
Byur! Jebyurr!
Kontan murid-murid Perguruan Kucing Hitam kelabakan, karena masih takut terhadap peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Walaupun tidak terjadi apa-apa, namun yang tidak dapat berenang termegap-megap sambil berteriak minta tolong. Yang dapat bermain di air segera menyeret kawannya ke perahu. Kini mereka tidak berani berlaku sembarangan lagi.
"Hehehe..! Ada tikus dapur main di air...! Hi hi hi...! Lucu sekali.,.. Lihat kepalanya basah kuyup...," ejek si Pemabuk Dari Gunung Kidul sambil memegangi perut.
Diejek sedemikian rupa, tentu saja Ketua Perguruan Kucing Hitam jadi berang.
"Serbuuu...!"
Serentak murid-murid perguruan itu menerjang kembali begitu mendapat perintah dari gurunya. Tombak dan pedang langsung berseliweran mengancam Pemabuk Dari Gunung Kidul. Tetapi dengan sekali meneguk tuak merah....
"Fruuhhh...!"
"Wuayaaa...!"
Secepat kilat murid-murid Perguruan Kucing Hitam menarik kembali serangan. Mereka tidak tahan terhadap semburan tuak yang teramat panas luar biasa. Bahkan dengan gerakan tidak terduga, tangan Ki Demong berhasil merampas sebuah tombak, Lalu sekuat tenaga ditancapkan di pinggiran perahu.
Crap...!
"Awasss...! Orang tua gila itu hendak melubangi perahu kita...!" teriak Ketua Perguruan Kucing Hitam itu, kalap.
Beberapa orang hendak memapak batang tombak. Tapi gerakan Ki Demong lebih cepat lagi mencabutnya. Maka air telaga mulai memasuki lubang pada lambung perahu dengan deras.
"Heaaa...!" Ketua Perguruan Kucing Hitam, segera mencabut pedang dan loncat ke batang pohon yang dinaiki Ki Demong dan Wisnupati.
Namun Wisnupati yang berangasan segera menyambuti dengan babatan clurit perak yang tajam luar biasa.
Trang!
Terjadi benturan membuat mereka terjajar. Akibatnya, batang pohon jadi bergoyang-goyang ke kiri dan kanan. Sementara Ki Demong malah berloncat-loncatan di atas batang pohon bagaikan kera baru mendapat pisang.
"Hoi..., hoi..., hoi.... Kira-kira kalau menggunakan tenaga! Kita bertiga bisa masuk ke dalam air telaga...! Kalau mau mandi, jangan minta ditemani...," seru Ki Demong. Sambil berkata, Pemabuk Dari Gunung Kidul melancarkan tendangan geledek ke arah kaki.
Namun tiba-tiba tubuh Ketua Perguruan Kucing Hitam melenting ke atas. Sambil berjumpalitan di udara, pedangnya menangkis clurit perak di tangan Wisnupati.
Trang!
Gerakan laki-laki setengah baya itu sangat gesit. Mirip gerakan seekor kucing, ringan dan tidak menimbulkan suara. Baru saja terjadi benturan senjata, Pemabuk Dari Gunung Kidul menyemburkan tuaknya lagi.
Mendapat semburan tuak panas, Ketua Perguruan Kucing Hitam yang baru saja mendarat di kayu berjumpalitan dan kembali ke atas perahunya. Tapi air yang masuk ke dalam perahu sudah terlalu banyak. Maka ketika ditambah seorang lagi, perahu itu jadi miring dan terbalik. Akibatnya, sepuluh orang murid pilihan tercebur ke dalam air.
Byurrr...!
Maka ramailah keadaan di tempat itu. Untung saja Ketua Perguruan Kucing Hitam ini sempat loncat kembali ke udara. Sebuah gerakan indah telah dipertunjukkan ketua perguruan yang cukup termashyur ini.
"Shaaat!"
Ketika tubuh laki-laki setengah baya itu melayang diudara, Ki Demong menghentakkan tangan kirinya, melepas sebuah pukulan jarak jauh.
Wusss...!
Karena tidak ada jalan lain, terpaksa laki-laki setengah baya itu menyambuti. Tangan kanannya langsung menghentak. Dan....
Blarrr...!
Suara bentrokan dua tenaga dalam terdengar memekakkan telinga. Air telaga sampai bercipratan ke empat penjuru. Sementara satu sosok tubuh tampak terlontar, dan tercebur ke dalam telaga.
Byurrr...!
Ketika muncul kembali ternyata yang terlontar adalah Ketua Perguruan Kucing Hitam. Tubuhnya basah kuyup, dengan napas turun naik. Mulutnya meringis menahan sakit di dada. Jelas, pertemuan dua tenaga dalam tadi begitu dahsyat.
"Kembalilah kau ke perguruan kalian.... Jangan mencari sesuatu yang belum pasti. Apalagi sampai mengorbankan banyak jiwa...," ujar Ki Demong, kalem namun berwibawa.
Merasa tak unggul melawan Pemabuk Dari Gunung Kidul, Ketua Perguruan Kucing Hitam berenang menuju ke tepian kembali, tanpa banyak suara lagi. Sementara murid-muridnya segera mengikuti dari belakang.
Di lain tempat Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang terus melaju dengan batang pohon yang dinaikinya. Tampaknya perjalanan mereka lebih mulus. Namun sekitar sepuluh tombak lagi akan mencapai tepian Pesanggrahan Telaga Warna berada, Sebuah perahu tampak meluncur cepat ke arah mereka. Agaknya perahu itu bermaksud menabrak batang pohon untuk menjatuhkan penumpangnya.
Brakkk..!
Maksud penumpang perahu yang rata-rata berpakaian serba coklat itu memang berhasil. Tapi Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang telah lebih dulu melenting ke udara dan berjumpalitan.
Tap! Tap!
Guru dan murid itu berhasil mendarat di ujung perahu dengan mantap. Namun para penumpangnya segera menyerang kalang-kabut disertai makian. Karena perahu yang dinaiki jadi oleng dan berat ke belakang.
Wuttt!
Sebuah tombak menusuk ke arah tenggorokan Jaka Tawang. Namun dengan cepat pemuda ini menundukkan kepala, sehingga ujung tombak jadi mengarah Ki Sabda Gendeng yang kebetulan berada di belakangnya.
"Hei...! Jangan mengelak seenaknya, Bocah Gendeng! Hampir saja kepalaku kena tertusuk...," maki Ki Sabda Gendeng sambil menyampok tombak yang hampir memangsanya.
Baru saja kata-katanya selesai, kembali sebuah pedang menusuk perut orang tua urakan itu. Tapi Ki Sabda Gendeng cepat berkelebat dengan gerakan sulit diikuti mata. Bahkan tiba-tiba tangan penyerangnya berhasil ditangkap.
Tap!
Dengan sekali sentak, Ki Sabda Gendeng berhasil membuat tubuh penyerangnya melayang masuk ke dalam telaga. Kejadian itu terus berlanjut. Dan itu hasil perbuatan Jaka Tawang yang mengikuti tingkah gurunya.
Byurr! Byuuurrr!
"Hahaha...!"
Guru dan murid yang sama sablengnya ini tertawa terbahak-bahak. Kemudian mereka berkelebatan cepat kesana kemari, menyeburkan para penumpang perahu sampai berkali-kali. Bahkan kemudian Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang meneruskan dengan lemparan biji-biji catur, membuat para penyerang berjatuhan ke dalam air.
Hingga tak satu penyerang pun yang masih bertahan di perahu. Mau tak mau, mereka harus meninggalkan perahu dan kembali ke tepi. Mereka tak habis pikir, mengapa dapat dikalahkan begitu mudah?
"Hehehe...! Tanpa modal, kita telah memiliki sebuah perahu yang cukup baik keadaannya...," kata Ki Sabda Gendeng sambil nyengir.
"Hahaha...! Hitung-hitung, dapat hadiah...," sahut Jaka Tawang.
"Hadiah jidatmu! Kita dapat merampok, tahu...?!" tukas Ki Sabda Gendeng dengan mata melotot.

186. Pendekar Rajawali Sakti : Pesanggrahan Telaga WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang