BAGIAN 3

106 8 0
                                    

Pemabuk Dari Gunung Kidul mengendus-ngendus ketika tercium bau harum daging kelinci bakar yang sedang dibolak-balik di atas api oleh Wisnupati. Bau harum itu cukup menyengat hidung Ki Demong. Seketika orang tua yang urakan ini segera melompat bangun dari berbaringnya. Hidungnya terus saja kembang-kempis bagaikan kucing mencium ikan asin.
"Uuuhh...! Harumnya bukan main...! Boleh juga, nih...?" kata Ki Demong dengan jakun naik turun.
"Kalau kau mau makan, silakan ambil.... Seorang dapat satu, adil rasanya...," ujar Wisnupati dari balik pohon.
"Kau memang seorang pemuda yang baik, Wisnu. Terima kasih atas pemberianmu ini...," ucap Pemabuk Dari Gunung Kidul sambil menjulurkan tangan hendak mengambil kelinci bakar yang mengundang selera.

"Tunggu dulu...!" cegah Wisnupati. "Kau boleh saja mengambil daging bakar itu. Tapi harus memenuhi dulu satu syarat yang kuajukan...!"
"Jadi pemberianmu ini dengan pamrih...?" tukas laki-laki tua pemabuk itu dengan mata mendelik.
"Bukannya pamrih.... Dari dulu kau selalu mengulur-ulur waktu kalau aku menginginkan jadi muridmu...," sahut Wisnupati seenaknya.
"Kau selalu ingin jadi muridku saja...! Bodohnya kau ini! Aku ini hanya orang pemabukan yang tidak memiliki apa-apa.... Apa yang kau harap dariku....? Ilmu yang kumiliki hanya pas-pasan. Cari guru yang lain saja, supaya kau jadi orang besar kelak...," ujar Pemabuk Dari Gunung Kidul santai.
"Aku tidak perlu guru lain! Yang aku inginkan hanyalah kau...!" jawab Wisnupati membandel.
"Kau tidak menyesal punya guru tukang mabuk seperti aku...?" tanya laki-laki pemabuk sambil memandang tajam.
"Walaupun aku berangasan dan tidak mau berpikir yang sulit-sulit, untuk soal yang satu ini aku telah berpikir masak-masak...," tegas Wisnupati sambil menekan suaranya.
Si Pemabuk Dari Gunung Kidul mengawasi pemuda tinggi besar itu sambil tersenyum.
"Baiklah.... Sebenarnya baru sekali ini aku mempunyai murid. Aku percaya pada kejujuran dan kesetiaanmu untuk membela kebenaran.... Tapi bila menyimpang dari jalur lurus kelak, kau akan kubakar dengan tuak merahku. Mengerti...?!"
Wisnupati mengangguk. Dia bangkit lalu menjura memberi hormat.
"Hahaha...! Untuk merayakan semua ini, mari kita minum-minum sampai mabuk.... Kita harus merayakan hari yang bersejarah ini dengan semeriah mungkin. Ayo ikut aku...!" ajak Ki Demong.
Mereka pun segera berlari ke desa terdekat, mencari kedai untuk merayakan hari yang tidak akan terlupakan selamanya.
Si Pemabuk Dari Gunung Kidul berlari cepat, diikuti Wisnupati dari belakang. Ketika sampai di dataran cukup luas, mereka melihat seorang laki-laki tua berambut putih sampai bahu, tengah bermain catur dengan seorang pemuda tampan di bawah pohon. Sesekali orang tua itu membenahi riap-riap rambutnya yang menutupi wajahnya.
"Sialan kau, Jaka Tawang! Jalan ini, mati.... Yang itu, mati juga...," omel laki-laki tua itu.
"Bagaimana, Guru...?" tanya pemuda tampan yang dipanggil Jaka Tawang sambil cengar-cengir mengawasi orang tua yang dipanggil guru di depannya.
"Bagaimana, apanya...?!" semprot laki-laki tua yang tak lain Ki Sabda Gendeng sambil mendelikkan matanya. (Mengenai kedua tokoh ini, silakan baca Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Siluman Tengkorak Gantung)
"Masa Guru tidak tahu...? Kalau tidak ada jalan lagi, sebaiknya menyerah sajalah...," ujar Jaka Tawang sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Tunggu dulu! Aku masih mengusahakan jalan untuk menghindar dari kematian..... Kau diamlah jangan mengganggu jalan otakku. Kalau kau berteriak terus, aku tidak mau jalankan biji caturku...," ancam Ki Sabda Gendeng sambil memejamkan matanya.
Setelah ditunggu sampai sekian lama, ternyata Ki Sabda Gendeng tidak bergerak dan tidak jalankan biji catur di hadapannya. Ketika diamati lebih lanjut, ternyata laki-laki tua yang sebenarnya berilmu tinggi itu tertidur sambil duduk. Jaka Tawang hanya dapat tersenyum nyengir.
"Sampai hari gelap pun tidak akan dia menjalankan anak caturnya. Dasar orang tua tidak mau kalah.... Ada-ada saja akalnya! Biar kuuji dulu dia...," gumam Jaka Tawang dalam hati.
Sambil menahan napas, tangan pemuda yang sama brengsek dengan gurunya itu berusaha mengambil bumbung tuak yang terbuak dari bambu milik Ki Sabda Gendeng. Tetapi sebelum tangan itu sampai, tangan Ki Sabda Gendeng telah mencengkeram kuat. Kemudian....
"Cacing kerempeng...! Sudah kuperingatkan berkali-kali, bila ingin sesuatu harus bicara dan lapor dahulu! Mengerti...?! Atau kau ingin kuhajar dengan tongkat bambu ini...?" bentak Ki Sabda Gendeng.
"Kau sendiri tidur. Aku telah menunggumu menjalankan biji catur.... Eh..., yang ditunggu malah enak-enakkan tidur...! Kalau kutinggal pergi mencari minum, kau pasti marah. Minta minum dari tempatmu, tidak boleh.... Habis aku harus bagaimana...?" tukas Jaka Tawang mencoba mengakali gurunya.
"Kau mau menipu aku, he...?! Jangan mimpi kau, Bocah sableng!" dengus Ki Sabda Gendeng.
"Habis aku harus bagaimana...? Guru yang lebih dahulu mengakali aku. Pakai pura-pura tidur lagi"
"Baiklah aku mau jalan. Awas jangan ganggu,"
Laki-laki tua itu memang sudah seharusnya menyerang dan mati dalam bermain catur. Tetapi Ki Sabda Gendeng tidak mau menerima hal itu. Pokoknya ia harus menang. Entah harus menggunakan cara apa. Namun Ki Sabda Gendeng jadi mati akal. Karena muridnya mendesak terus dan menyuruhnya jalan.
"Ayo cepat jalan. Masa hanya diawasi terus.... Kapan selesai kalau begini terus...?" desak Jaka Tawang.
"Sabarlah barang sedikit, brengsek...!" gerutu orang tua itu.
Pada saat Sabda Gendeng kehilangan akal, terdengar dua sosok tengah berlari sambil tertawa-tawa. Yang seorang laki-laki tua dengan sebuah guci arak. Di belakangnya, mengikuti seorang pemuda bertubuh tinggi besar dengan senjata clurit perak di pinggang.
Mata Ki Sabda Gendeng terbelalak seakan-akan tidak percaya pada penglihatan sendiri. Dengan cepat dia bangkit dan melesat. Langsung dihadangnya lari orang tua yang tak lain Ki Demong bersama muridnya yang bemama Wisnupati.
"Guru...! Mau lari ke mana kau...? Ayo jalan dulu...!" teriak Jaka Tawang sambil mengejar gurunya.
"Permainan kita tunda dulu...! Aku ada urusan.... Nanti kita sambung lagi...!" teriak Ki Sabda Gendeng sambil terus berlari.
"Hoi.... Hoi.... Jangan lari Guru...!" teriak Jaka Tawang sambil mengejar gurunya.
"Bocah gendeng...! Bereskan saja dulu biji-buji caturnya, lalu susul aku...," teriak Ki Sabda Gendeng, terus saja berlari.
Sambil menggaruk-garuk kepala, terpaksa Jaka Tawang kembali untuk membereskan catur yang ditinggalkan gurunya.
"Heeei...! Demong...! Berhenti dulu...! Ini aku Sabda Gendeng!" teriak laki-laki tua gila catur itu.
Mendengar ada teriakan, Ki Demong segera menghentikan larinya dan menoleh. Ketika melihat siapa yang berteriak, cepat bagai kilat tubuhnya melesat dengan kedua tangan terbuka lebar-lebar. Ki Sabda Gendeng juga melakukan gerakan sama.
"Hahaha...! Angin apa yang membawamu ke tempat ini, Sabda Gendeng...?" sambut Ki Demong, gembira.
Karena terlalu gembira kedua tokoh urakan ini berlari bagaikan dikejar setan. Dari kejauhan, keduanya hanya tampak bayangan yang melesat cepat saling menghampiri. Karena terlalu bernafsu, akhirnya....
Bletaks!
"Adauuu...!"
"Hadaaawww...!"
Kedua tokoh yang sama-sama sableng ini kontan tertolak balik karena kepalanya saling bentur dengan keras. Tanpa dapat dicegah lagi, mereka jatuh duduk dengan kepala berdenyut keras dan mata berkunang-kunang. Hal itu tidak berlangsung lama. Sesaat kemudian, keduanya telah berdiri berhadapan. Dan....
"Dasar Gendeng...! Baru bertemu, sudah mencari ribut...! Kuhajar kau dengan guci tuak ini...!" maki Ki Demong seraya mengebutkan guci tuaknya.
"Kau yang salah, malah aku yang disalahkan.... Dasar pemabuk! Sudah tahu aku ada di depan malah ditabrak kuat-kuat. Brengsek kau!" balas Ki Sabda Gendeng sambil menangkis dengan tongkat yang berwarna hitam legam.
Kedua tokoh ini saling terjajar mundur, seperti habis terjadi benturan senjata.
"Setan tua! Jaga seranganku ini...!" bentak Ki Sabda Gendeng.
Seketika laki-laki aneh ini menggetarkan ujung tongkat hitamnya, sehingga tampak jadi banyak. Bahkan mengarah ke seluruh jalan darah Ki Demong.
"Huh...! Aku ingin tahu, sampai di mana kemajuanmu...? Sombong benar kau...?" desis Ki Demong sambil memutar guci tuaknya bagaikan baling-baling.
Trak! Trak! Bletak...!
Beberapa bentrokan guci dengan tongkat terjadi. Suaranya terdengar keras hingga memekakkan telinga. Tampak kedua orang tua itu sama-sama ngotot dan tak ada yang mau mengalah. Tetapi sampai sejauh itu, mereka berdua tak ada yang terdesak. Tampaknya satu sama lain sudah saling mengenal jurus masing-masing dengan baik.
"Geglug..!"
"Fruuhhh...!"
Semburan tuak yang disertai api panas membara menerjang Ki Sabda Gendeng. Namun dengan sebuah dorongan kedua tangan yang berisi tenaga dalam kuat, semburan api itu dapat dibuat meleset arahnya oleh laki-laki gila catur itu. Bahkan kemudian tongkat hitamnya mendadak membabat kaki Ki Demong.
Dengan langkah terhuyung-huyung, Pemabuk Dari Gunung Kidul berhasil mengelakkan serangan dahsyat Ki Sabda Gendeng. Sementara Wisnupati yang melihat gurunya saling hantam, segera mencabut clurit peraknya. Tubuhnya langsung meluruk seraya membabatkari senjatanya pada leher Ki Sabda Gendeng yang membelakanginya.
Wuuuttt!
Mendapat serangan mendadak, orang tua sableng ini menundukkan kepala. Dan tiba-tiba bagai kuda kakinya menendang ke belakang. Untung Wisnupati cepat melompat mundur. Kalau tidak, perutnya pasti terhantam tendangan itu.
"Kutu bau...! Tikus cilik ini ikut-ikutan menyerangku juga! Ingin kupatahkan tangannya barang kali...?!" dengus Ki Sabda Gendeng begitu memutar tubuhnya.
Tongkat hitamnya langsung dibabatkan kearah pinggang. Mendapat serangan kilat yang tidak terduga, Wisnupati jadi kelabakan. Untung saja Pemabuk Dari Gunung Kidul lebih cepat melenting dan menghadang tongkat hitam itu. Sehingga, Wisnupati terhindar dari malapetaka.
"Hiat! Enak saja kau memukul muridku! Lawan sajalah aku yang sama tuanya denganmu...!" hardik Ki Demong seraya menyemburkan tuak merah dari mulutnya.
"Hehehe...! Boleh saja.... Dasar pemabukan lagaknya bukan main...," ejek Ki Sabda Gendeng sambil tertawa cengengesan.
"Hohoho...! Dari dulu juga kau tidak pernah dapat mengalahkan aku.... Orang gendeng mana mungkin dapat mengalahkan aku...?" balas Ki Demong.
"Ciat...!" Ketika tongkat hitam menyabet kaki, Ki Demong loncat ke atas bagaikan bola karet, seraya berputaran. Begitu mendarat, dia telah berdiri tepat di belakang Ki Sabda Gendeng. Seketika gucinya bergerak cepat.
Wuuttt..!
Ki Sabda Gendeng yang merasa desir angin tajam mengarah ke punggung, berusaha menghindar. Tetapi terlambat. Karena....
Begkh...!
"Adaaauw...!" Tubuh Ki Sabda Gendeng terdorong ke depan dua langkah disertai teriakan kesakitan.
Sementara Ki Demong terus mengangkat tuak merahnya sambil tertawa-tawa penuh ejekan. Tapi secara tak terduga Ki Sabda Gendeng menjatuhkan diri. Dalam waktu yang bersamaan, tangannya melemparkan sesuatu.
Ser! Ser! Pletsak..!
"Wadauuh...!"
Rupanya, Ki Sabda Gendeng melemparkan biji catur yang tepat mengenai tulang kering Ki Demong. Mau tak mau, Pemabuk Dari Gunung Kidul jadi berjingkrakan sambil mengusap-usap tulang kering yang terasa nyeri bukan main.
"Hehehe...!" Ki Sabda Gendeng balik menertawai sampai mengeluarkan air mata.
Jaka Tawang yang telah selesai membereskan biji catur jadi tak habis pikir, mengapa gurunya berkelahi dengan orang tua yang dikatakan sebagai teman karibnya tadi. Tetapi pemuda yang sama gendeng dengan gurunya itu tidak mau pusing. Segera diterjangnya Ki Demong yang sedang meringis-ringis karena tulang keringnya terhantam biji catur.
"Ciaaat!" Jaka Tawang langsung mengebutkan tongkat merahnya ke arah kaki si Pemabuk Dari Gunung Kidul. Tapi dengan hanya bergerak meliuk-liuk ke sana kemari serangan pemuda itu luput dari sasaran.
"Seribu Tongkat Menggebuk Ular...! Heaaa...!" Kembali Ki Sabda Gendeng melesat dengan teriakan membahana, ujung tongkat hitam ditangannya tiba-tiba bergetar, sehingga terlihat jadi banyak mengarah ke seluruh jalan darah di tubuh Ki Demong. Itulah jurus andalan Ki Sabda Gendeng yang paling ditakuti. Ke mana saja Pemabuk Dari Gunung Kidul menghindar, ujung tongkat selalu menunggu dengan tusukan maut.
Wisnupati yang menyaksikan gurunya dikeroyok segera ikut masuk ke dalam kancah pertarungan menahan gerakan Jaka Tawang. Clurit peraknya berkesiutan mengancam ke seluruh tubuh pemuda itu. Tentu saja Jaka Tawang tidak mau jadi korban. Cepat disambutnya serangan itu dengan putaran tongkat merahnya.
Kini pertarungan terbagi menjadi dua. Semakin lama jadi semakin seru. Terutama, kedua orang tua yang sama-sama sableng itu. Sepuluh jurus kemudian, kedua orang tua itu menghentikan gerakan.
"Hahaha...! Dari dulu kau tetap saja tidak dapat mengalahkan aku orang tua gendeng...," seru si Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Hehehe...! Setali tiga uang. Bangsa pemabukan, tidak akan pernah dapat melewati aku...," ejek Ki Sabda Gendeng.
Kemudian mereka berdua berjalan menuju ke bawah pohon yang rindang sambil bergandengan tangan. Tidak tampak lagi wajah-wajah seram dari mereka berdua. Keduanya tertawa-tawa ceria. Memang kedua orang tua itu adalah sepasang sahabat yang telah lama tidak bertemu.
Keduanya mempunyai tabiat aneh yang tak mau diatur oleh peraturan mana pun. Mereka terus tertawa sambil menceritakan pengalaman dan apa saja telah terjadi selama tidak bertemu. Padahal kedua murid mereka saat itu sedang saling terjang dengan sengit.
Kedua pemuda itu tidak ada yang mengalah. Di sini terlihat Wisnupati sangat bernafsu dan terkesan berangasan. Sedangkan Jaka Tawang selalu mengejek, membuat lawannya marah.
"Heyaaat!"
Tang! Tang!
Berkali-kali bentrokan keras terjadi. Tapi belum tampak ada yang terdesak. Sampai suatu ketika, benturan dua tangan yang berisi tenaga dalam kuat terjadi.
Gdebuk! Blugk!
Kedua pemuda itu tertolak balik ke belakang dan jatuh duduk. Ketika hendak bangkit kembali....
"Berhenti dulu, tolol...!"
Kedua pemuda itu terkejut mendengar bentakan keras menggelegar. Mereka langsung loncat mundur dengan wajah terheran-heran ketika melihat guru mereka masing-masing duduk berjejer sambil minum tuak dari tempat masing-masing. Cepat mereka menghampiri dengan perasaan tidak mengerti.
"Mengapa Guru menghentikan kami...?" tanya Jaka Tawang.
"Lho...? Kok Guru sudah baikan?" tanya Wisnupati dengan wajah dungu.
"Bodoh.... Ayo kalian saling memberi hormat pada Paman Guru. Kalian ini...," seru si Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Kenapa bengong...?! Cepat beri hormat, tolol...!" hardik Ki Sabda Gendeng, melotot.
Wisnupati cepat memberi hormat pada Ki Sabda Gendeng. Sedangkan Jaka Tawang memberi hormat pada Ki Demong. Namun kedua orang tua urakan ini malah tertawa terbahak-bahak, sampai keluar air matanya. Tentu saja hal ini membuat kedua pemuda ini menggaruk-garuk kepala karena heran. Mereka bingung, tidak habis pikir.
"Hei, Demong! Pemuda tinggi besar inikah yang menjadi murid kesayangan...? Tubuhnya bolehlah. Tetapi aku tidak tahu isi dalamnya," kata Ki Sabda Gendeng sambil memperhatikan Wisnupati seakan-akan tengah menaksir ayam yang hendak dibeli.
"Wisnupati baru saja kuterima menjadi murid. Jadi belum mendapat pelajaran dariku...," jelas si Pemabuk Dari Gunung Kidul, terus terang.
Tak lama kedua pemuda itu sudah saling bersalaman dan tampak akrab. Tak ada lagi tanda-tanda mereka habis berkelahi. Kini keduanya sadar kalau semua itu adalah hasil perbuatan kedua orang tua yang aneh dan tidak pernah bisa diatur.

***

186. Pendekar Rajawali Sakti : Pesanggrahan Telaga WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang