BAGIAN 6

93 7 0
                                    

Ki Samba alias si Lutung Pancasona tengah berhadapan dengan tiga datuk sesat. Dua orang berwajah kembar. Mereka berasal dari Gunung Merapi dan mengaku bernama Kudapaksi dan Kudapaksa. Namun yang paling berbahaya adalah seorang laki-laki tua berhidung bengkok bagaikan paruh burung. Senjatanya tongkat yang berujung seperti burung, lengkap dengan sayap terkembang dan paruh tajam. Dia sebelumnya mengaku bernama Petet Buluk alias si Burung Mayat.
Saat ini Kudapaksi dan Kupaksa tems mendesak si Lutung Pancasona. Golok besar di tangan kedua orang kembar itu berseliweran mencari mangsa. Tetapi sampai sejauh itu, Ki Samba masih dapat bertahan dengan sepasang pedang pendek yang dimainkan sedemikian rupa.
Mendapati serangannya selalu gagal, tentu saja Kudapaksi dan Kudapaksa jadi geram. Dengan golok mereka terus mendesak si Lutung Pancasona. Bila yang satu menyerang kaki, yang seorang lagi menyerang leher. Suatu kerja sama yang sangat baik dan membahayakan.
Namun sambil berloncatan, Ki Samba berhasil menjauhi kedua lawannya. Bahkan dalam keadaan demikian, sepasang pedang di tangannya berusaha membalas serangan pada dua orang kembar itu sekaligus. Namun sebelum niatnya terlaksana, satu sosok bayangan telah melesat dan langsung memapak serangannya.
"Ciaaat...!"
Trang! Trang!
Lutung Pancasona merasa tangan yang memegang pedang bergetar hebat. Hampir saja kedua pedangnya lepas. Ketika dia berhasil menguasai diri, matanya langsung menatap tajam sosok yang memapak serangannya. Ternyata dia adalah orang tua berhidung bengkok, yang berjuluk si Burung Mayat yang kembali turun tangan.
Lutung Pancasona segera mengerahkan tenaga dalam sampai puncak kemampuannya. Kemudian dengan jurus andalannya, mulai diserangnya Petet Buluk. Sepasang pedang di tangannya, terus mencecar dan mengurung jalan keluar laki-laki berjuluk si Burung Mayat.
"Haaat!"
Tongkat berkepala burung di tangan Petet Buluk bergerak menyodok dada Ki Samba. Secepat kilat, Lutung Pancasona menyilangkan pedangnya. Namun si Burung Mayat menarik kembali serangannya. Bahkan cepat merubahnya menjadi sodokan ke arah perut.
"Haaat!"
Trang!
Dengan sekuat tenaga, kedua pedang pendek Lutung Pancasona menggunting tongkat si Burung Mayat. Namun akibatnya, tubuhnya terdorong ke belakang beberapa langkah. Pada saat yang sama Kudapaksa dan Kudapaksi berkelebat berbarengan sambil menyabetkan golok dari belakang. Dari....
Cras! Cras!
"Aaakh...!"
Kedua orang kembar itu berhasil melukai punggung Lutung Pancasona. Tapi pada saat itu juga Ki Samba memutar tubuhnya sambil menusukkan pedangnya.
Crasss...!
"Aaa...!" Terdengar teriakan menyayat dari mulut Kudapaksi ketika salah satu pedang pendek Ki Samba menancap di dada hingga tembus ke punggung.
Sementara Kudapaksa berhasil melemparkan tubuhnya ke kiri, hingga luput dari serangan mendadak Ki Samba.
Sambil meringis kesakitan karena punggungnya tergores, si Lutung Pancasona mencabut pedangnya yang masih menancap. Tepat ketika pedang pendek itu tercabut, Kudapaksi ambruk dengan darah berhamburan.
Melihat saudara kembarnya tewas, Kudapaksa bergegas bangkit. Lalu disertai amarah membludak, tubuhnya berkelebat mencecar Lutung Pancasona dengan goloknya.
Bersamaan dengan serangan berbahaya dari Kudapaksa, Petet Buluk meluruk sambil menghantamkan tongkatnya pada kepala Ki Samba. Keadaan si Lutung Pancasona sangat berbahaya. Nyawanya bagai telur di ujung tanduk. Namun....
"Hiaaa...!"
Saat yang menentukan ini, dipecahkan sebuah teriakan menggeledek yang disertai berkelebatnya sesosok bayangan putih. Yang langsung memapak serangan Petet Buluk.
Trang!
Pedang milik sosok bayangan putih yang dipakai menangkis tongkat berkepala burung milik Petet Buluk kontan patah menjadi tiga bagian. Tetapi paling tidak, kedatangan sosok itu tepat pada waktunya.
Si Burung Mayat tersentak mundur. Sedang sosok yang menangkis serangan tetap di tempat. Pedangnya yang patah menjadi tiga bagian dibuangnya.
Ki Samba sendiri begitu berhasil menangkis serangan Kudapaksa, cepat memutar tubuhnya. Pedang di tangannya seketika berkelebat ke leher. Dan....
Wuuut! Crasss...! Blug!
Kepala Kudapaksa kontan jatuh menggelinding di atas tanah begitu berhasil ditebas Ki Samba. Lalu si Lutung Pancasona segera menatap sosok yang membantunya dan ternyata seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan sinar mata menyiratkan rasa terima kasih.
Sementara itu Petet Buluk segera menatap tajam pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti dengan mata mengecil, pertanda tengah marah besar. Tongkat di tangan kanannya bergetar. Tulang belulang ditubuhnya sampai berbunyi berkerotokan.
"Bocah buduk...! Siapakah kau...?! Mengapa ikut campur dalam urusanku...?" bentak si Burung Mayat dengan suara serak.
"Aku Rangga, yang tak akan membiarkan orang-orang serakah berkeliaran di sini. Kalian bukan orang sini.... Mengapa hendak menyebar petaka di tempat terpencil yang tidak pernah berurusan dengan dunia luar...?" Rangga balik bertanya penuh perbawa.
"Hehehe...! Kurasa kau telah tahu.... Untuk apa bertanya dan berpura-pura segala...? Aku sendiri tidak tahu mengapa kau berada di sini...? Kurasa anak kecil pun tahu kalau kau mempunyai tujuan sama. Hanya caranya saja yang berbeda...," sindir si Burung Mayat sambil tersenyum.
"Terserah anggapanmu... Yang jelas, aku tidak akan membiarkan orang licik mengganggu orang yang tidak bersalah. Apalagi sampai menimbulkan banjir darah" sahut Pendekar Rajawali Sakti mantap.
"Anak muda..., biarkanlah aku mengusir manusia itu...," ujar Ki Samba.
"Lindungi saja anak gadismu, Ki Samba... Biar iblis ini aku yang mengurusi," ujar Rangga, tanpa maksud merendahkan Ki Samba.
"Baiklah kalau begitu. Sekali lagi kuucapkan terima kasih...." Si Lutung Pancasona seketika berlari cepat guna membantu ketiga anak gadisnya.
"Heaaa...!"
Sementara itu, Petet Buluk merasa tidak dipandang sebelah mata menjadi marah. Disertai teriakan nyaring, tongkatnya diputar sedemikian rupa sampai menimbulkan suara mengaung. Dan tiba-tiba dihantamkannya pada pinggang.
Menghadapi serangan dahsyat ini, Rangga meloncat mundur untuk mengatur jarak. Tapi Petet Buluk terus mendesaknya. Tongkatnya kembali diputar bagaikan kitiran. Serangannya mengarah ke atas dan ke bawah. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti harus melenting beberapa kali ke belakang untuk menghindari serangan.
Wuuut! Wuuut!
"Uts...!" Rangga segera mengeluarkan jurus Sembilan Langkah Ajaib. Tubuhnya terhuyung-huyung kesana kemari menghindari serangan beruntun dari tongkat si Burung Mayat. Maka tak satu serangan pun yang berhasil menyentuh tubuhnya.
Dengan perasaan heran dan terselip rasa kagum, si Burung Mayat terus mencecar dengan tongkat mautnya. Begitu habis membuat gerakan meliuk, Rangga menjulurkan tangannya dengan tenaga dalam tinggi untuk menggedor dada Petet Buluk. Namun dengan tangkas, si Burung Mayat meloncat selangkah seraya menahan gedoran Rangga dengan telapak tangannya.
Plak!
Bentrokan dua tenaga dalam tinggi terJadi menimbulkan suara keras. Pendekar Rajawali Sakti merasa tangannya bergetar. Sedangkan Petet Buluk terdorong kebelakang.
Terbuktilah kini, tenaga Rangga lebih kuat beberapa tingkat. Si Burung Mayat langsung mengawasi Pendekar Rajawali Sakti dari kepala sampai kaki.
"Pantas kau berani banyak tingkah didepanku. Kiranya kau mempunyai sedikit kepandaian...! Tapi hari ini adalah batas ajalmu, Bocah Sombong.... Bersiaplah kau...!" desis Petet Buluk.
"Yeaaa...!"
Belum sempat Rangga menjawab, tongkat berkepala burung milik si Burung Mayat telah meluruk menghantam kepala. Cepat Rangga menunduk dengan tangan bergerak cepat mengambil golok yang tergeletak di tanah dan langsung menangkisnya.
Tring...!
Dengan hati terkejut si Burung Mayat terjajar ke belakang beberapa langkah. Kini disadari kalau dirinya sedang berhadapan dengan lawan tangguh dan memiliki kepandaian tinggi. Belum hilang rasa terkejut laki-laki berhidung bengkok itu, Pendekar Rajawali Sakti telah kembali meluruk menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' sambil mengebut-ngebutkan golok. Melihat serangan dahsyat ini, Petet Buluk cepat memutar tongkatnya seperti baling-baling.
Trang! Trang! Trang!
Bentrokan senjata terdengar berkali-kali. Tubuh Petet Buluk kembali terjajar. Tangannya bergetar dan sampai lecet-lecet saat menangkis serangan Rangga tadi. Sementara Pendekar Rajawali Sakti telah mendarat di tanah dengan mantap. Matanya tajam menatap si Burung Mayat.
"Kudengar kau sering menyebar petaka dalam dunia persilatan yang membuat kaum persilatan resah. Karena itu, terpaksa aku tak bisa membiarkan kaummu berkeliaran," kata Rangga penuh tekanan, sambil membuang golok di tangannya.
Sehabis berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat mengerahkan gabungan jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Menghadapi jurus ampuh ini, si Burung Mayat jadi kelabakan dan terdesak hebat. Apalagi Rangga mengajak bertarung dalam jarak pendek. Sehingga sulit bagi tongkat di tangan si Burung Mayat membendung serangan Pendekar Rajawali Sakti. Pada jarak yang memungkinkan Rangga melepaskan serangan tangan kosong dalam jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Wuuuttt...!
Tangan Rangga yang telah merah membara menderu cepat menjarah ke dada. Dengan cepat si Burung Mayat melenting ke atas menghindari serangan. Namun Pendekar Rajawali Sakti terus memburunya setelah mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kibasan tangan Rangga yang bagai kepakan sayap rajawali meluruk cepat ke perut Petet Buluk.
Desss...!
"Aaakh...!" Si Burung Mayat kontan terlontar deras ke belakang.
Sebelum tubuhnya menyentuh tanah, Pendekar Rajawali Sakti telah meluruk mengejar dengan mengganti jurusnya menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu dekat, dihantamnya kepala Petet Buluk dengan kedua tangan yang berisi tenaga dalam amat tinggi. Hingga...
Prakkk...!
"Aaa...!" Begitu menyentuh tanah, kepala si Burung Mayat telah retak dengan darah menggenangi kepalanya. Sebentar tubuhnya meregang nyawa, lalu diam tidak berkutik lagi. Mati!
Sementara itu si Bidadari Tongkat Hijau tengah dalam keadaan mengkhawatirkan. Dia dikeroyok sosok ramping berpakaian serba hijau dengan wajah tengkorak dan dua orang laki-laki bertubuh kerdil yang bersenjatakan rantai berujung bola berduri. Putaran senjata itu menimbulkan angin dan suara yang menyeramkan.
Menghadapi serangan dahsyat yang mematikan, Bidadari Tongkat Hijau menggunakan jurus andalannya. Tongkatnya diputar bergulung-gulung menyerang dan membentuk pertahanan diri. Tapi serangan istri Ki Samba itu selalu berhenti di tengah jalan, karena sosok berwajah tengkorak itu terus mengganggunya. Lemparan binatang beracun sangat mengganggunya.
"Yeaaa...!"
Mendadak kedua orang cebol mengayunkan rantainya, membuat bola berduri itu meluruk deras. Namun dengan tangkas, Bidadari Tongkat Hijau memapak serangan tongkatnya.
Trak! Trak!
Pada saat itu pula, sosok berwajah tengkorak yang memang si Manusia Tengkorak meluruk dari belakang dengan satu hantaman kuat. Dan...
Desss...!
"Aaakh...!"
Satu pukuan tangan si Manusia Tengkorak menghantam pundak Rukmini hingga terhuyung-huyung ke depan beberapa langkah. Pundaknya yang terkena pukulan langsung hangus mengeluarkan bau sangit. Baru saja Bidadari Tongkat Hijau berbalik, si Manusia Tengkorak melemparkan beberapa binatang berbisa.
Set! Set!
Bersamaan dengan itu, sepasang orang cebol kembali mengayunkan rantai bola berdurinya. Bidadari Tongkat Hijau memang bisa menghindari binatang-binatang beracun itu dengan melompat mundur. Tapi bola berduri dua orang cebol itu terus mengejamya. Sehingga....
Cras! Crass...!
"Aaakh..!"
Ujung rantai yang merupakan bola berduri itu menghantam kaki dan pinggang Rukmini dengan tepat. Tak ampun lagi, Bidadari Tongkat Hijau terlempar dengan mendapat luka lumayan parah. Darah pun mulai membasahi pakaiannya.
Saat itu pula tiga tokoh hitam itu menerjang dengan serangan-serangan maut. Bidadari Tongkat Hijau jadi nekat, Dengan sekuat tenaga disambutinya serangan itu.
Pada saat yang mengkhawatirkan, berkelebat dua sosok bayangan yang satu memegang tongkat berwarna hitam, Sedangkan yang satu lagi memegang tongkat berwarna merah, Dengan tongkat, kedua sosok ini menahan serangan rantai berduri milik kedua orang cebol.
Trak! Trak!
Terhindarlah Rukmini dari kematian. Sementara kedua orang cebol itu terjajar mundur. Sedangkan serangan si Manusia Tengkorak berhasil ditahan tongkat hijau milik istri Ki Samba itu.
"Ah...?! Kiranya Sepasang Iblis Cebol berhadapan dengan Sabda Gendeng dan muridnya.... Pantas seranganku dapat ditahan...," kata salah seorang cebol yang bersama cebol satunya memiliki julukan Sepasang Iblis Cebol.
"Hahaha...! Syukurlah kalau kau sudah tahu... Aku paling tidak suka ikut campur urusan orang lain. Tetapi kalau urusannya tidak benar, terpaksa aku harus ikut campur...! Tidak peduli walau harus berkorban nyawa sekalipun...," balas sosok yang baru datang yang ternyata Ki Sabda Gendeng.
"Tua bangka tidak tahu diri...! Mampuslah kau...!" seru salah satu orang cebol dengan wajah merah.
Saat itu juga rantainya menderu menerjang kedua guru dan murid ini. Gerakannya diikuti cebol yang satunya. Sambil tertawa-tawa, Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang meladeni kehendak Sepasang Iblis Cebol.
Gerakan guru dan murid yang acak-acakan dan lucu ini telah membuat kedua orang cebol itu jadi hilang akal. Nyatanya memang kepandaian Sepasang Iblis Cebol itu masih di bawah Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang.
Lima belas jurus kemudian, guru dan murid itu berhasil mendesak Sepasang Iblis Cebol habis-habisan. Jatuhnya kedua orang cebol ini tinggal menunggu waktu saja.
Benar saja. Ketika kedua orang cebol itu loncat ke atas menghindari sabetan tongkat Ki Sabda Gendeng yang mengarah ke kaki, tiba-tiba tongkat itu bergerak mengejarnya.
Creb!
"Wuaaa...!
Satu dari Sepasang Iblis Cebol berteriak menyayat ketika tongkat Ki Sabda Gendeng berhasil menembus perutnya. Ketika dicabut, darah menyembur dari lubang lukanya. Tubuhnya langsung jatuh ke bumi. Dia berkelojotan sejenak, lalu diam untuk selama-lamanya.
"Aaa...!"
Belum juga sekejapan salah satu cebol tewas, cebol yang lain mengalami nasib yang sama. Tongkat Jaka Tawang ternyata berhasil menghujam dadanya hingga tembus ke jantung. Tamat sudah riwayat Sepasang Iblis Cebol dengan membawa dendam yang dalam.
Sementara itu si Manusia Tengkorak telah melepas selendang hijaunya. Dengan senjata ini dia berusaha mendesak Bidadari Tongkat Hijau. Bagaikan ular hidup, selendang hijau yang berbau harum ini mendesak Rukmini.
Set! Set!
Dalam keadaan terdesak oleh selendang hijau, Bidadari Tongkat Hijau terus disusuli lemparan binatang-binatang beracun si Manusia Tengkorak yang mematikan.
"Hiih...!"
Wuttt...!
Tes! Tesss...!
Dengan memutar tongkat hijaunya, Rukmini mencoba mematahkan serangan binatang-binatang beracun. Tapi pada saat yang sama selendang hijau si Manusia Tengkorak berkelebat cepat ke arahnya. Dan...
Ctar!
"Aaargh...!" Bidadari Tongkat Hijau kontan berteriak menyayat begitu selendang hijau menghantam dadanya. Tubuhnya terhuyung-huyung mundur sambil menekap dada. Sedang dari mulutnya memuntahkan darah segar. Napasnya terasa menyesak. Jelas sabetan itu disertai tenaga dalam tinggi.
Set! Set!
Mendapat kesempatan baik, si Manusia Tengkorak kembali melemparkan segenggam binatang beracun. Dalam keadaan demikian, Rukmini tak bisa mengelak lagi. Beberapa kelabang dan kalajengking langsung menyengatnya.
"Aaakh...!" Bidadari Tongkat Hijau mengeluh tertahan. Tubuhnya bergetar hebat. Sebentar saja wajahnya pucat, lalu membiru. Dia berusaha mengerahkan hawa murninya.
"Keparat...! Mari kita mengadu jiwa...!" teriak Bidadari Tongat Hijau seraya mengempos semangatnya. "Hiaaa...!"
Blug!
"Hegh...!"
Sebelum serangannya sampai, Rukmini telah ambruk ke tanah dengan jiwa melayang. Ki Sabda Gendeng dan muridnya tidak dapat berbuat apa-apa, karena kejadian itu sendiri hanya berlangsung beberapa gebrakan saja.
"Chiaaat...!"
Dengan berteriak murka, Ki Sabda Gendeng menerjang. Jaka Tawang yang sama urakan dengan gurunya tidak mau peduli soal main keroyok atau tidak. Dia pun ikut bantu menyerang.
Menghadapi kedua orang konyol ini, si Manusia Tengkorak tak dapat berkutik. Lemparan binatang berbisanya, disambut lemparan biji-biji catur. Selendang hijaunya dilayani dua tongkat yang mampu bekerja sama baik sekali. Bila yang satu menyerang, yang satunya melindungi.

***

186. Pendekar Rajawali Sakti : Pesanggrahan Telaga WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang