BAGIAN 8

121 11 0
                                    

Perkelahian terus berlangsung seru. Tetapi lima jurus kemudian baru terlihat kalau dua laki-laki, berkerudung itu bukan tandingan Pendekar Rajawali Sakti. Ketika Rangga melancarkan serangan agak keras, mereka jadi terdesak. Dan dengan beberapa kali menggunakan jurus pancingan, Rangga berhasil menjambret kerudung kedua orang itu sampai terlepas dari wajah.
Brebet...!
"Waaa...!"
"Aaah...!"
Ketika kerudung terlepas, keduanya berteriak kaget. Begitu juga Rangga sendiri. Sambil mendesah, Pendekar Rajawali Sakti terjingkat mundur beberapa langkah ke belakang. Apakah yang terlihat...? Ternyata wajah di balik kerudung itu sangat menyeramkan. Penuh luka membusuk, mengeluarkan nanah! Baunya busuk bukan main.
"Perampok jahat...! Sudah puaskah kau sekarang...? Kalau mau lihat pedang ini, silakan. Nah, lihatlah...! Aku ingin tahu, apa sih sebenarnya maumu...? Ini pedang pusaka dari perguruan kami yang bernama 'Rajawali Perak'. Kami membawanya, untuk diperlihatkan pada seorang tabib sakti Kwe Ceng Kian dari negeri Cina yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit termasuk penyakit di wajah kami ini! Kawan-kawan kami telah sampai di tempat tabib sakti itu. Tetapi si tabib tidak mau menyembuhkannya tanpa mendapat imbalan pusaka lambang perguruan kami...," jelas Wismoyo, pasrah.
Rangga tersentak mendengar penjelasan Wismoyo. Jangan-jangan... tabib bernama Kwe Ceng Kian adalah seorang tokoh persilatan dari negeri Cina yang dikatakan Rara Wulan sebelum ajal.
"Jadi ketua kalian rela mempersembahkah pusaka lambang perguruannya pada tabib itu...?" cecar Rangga.
Sikap Pendekar Rajawali Sakti tampak serba salah. Dia menyesal dan merasa bersalah, karena ternyata pedang itu bukan pedang pusaka miliknya. Namun paling tidak hatinya merasa gembira, karena mendapat keterangan berharga dari kedua orang berkerudung itu.
"Kami berdua, juga teman-teman di sana mendapat penyakit yang serupa. Kalau terlambat, tentu kami semua akan mati dengan tubuh meleleh bagaikan lilin kena api.... Ketua kami orang paling bijaksana. Dia rela menyerahkan lambang perguruan, asal murid-muridnya dapat hidup. Itulah sebabnya dia sangat kami cintai...," kali ini Panjalu yang menjelaskan.
"Apa yang menyebabkan kalian menderita penyakit ini? Apa karena kehendak alam, atau hasil perbuatan seseorang...?" tanya Rangga.
"Kelihatanya hasil perbuatan seseorang. Waktu itu kami bentrok dengan seseorang yang mengenakan topeng. Tetapi kami tidak berhasil membunuhnya. Begitu juga dia. Setelah itu, seorang demi seorang dari pihak kami terjangkit penyakit yang menjijikkan seperti yang kau lihat ini...," jelas Wismoyo sambil menutup wajahnya kembali.
"Maafkanlah kesalahanku. Aku tidak bermaksud mempermalukan kalian. Tetapi aku telah kehilangan pedang pusaka yang mirip dengan milik perguruan kalian.... Itulah sebabnya, aku memaksa hendak melihat. Kuharap, kalian bisa memakluminya.... Kalau kalian tidak keberatan, bolehkah aku ikut serta menemui tabib sakti dari Cina itu...?" tanya Rangga sambil menatap kedua orang yang mengaku dari Perguruan Rajawali Perak.
"Silakan saja kalau kau mau...," sambut Wismoyo.
Setelah mendapat persetujuan, mereka segera berlari mencari jalan sepi. Mereka tidak menunggu sampai hari gelap, karena khawatir akan terlambat tiba di tempat tujuan.
"Apakah tempat yang dituju sangat jauh...??" tanya Rangga, sambil mengimbangi ilmu meringankan tubuh Wismoyo dan Panjalu yang terasa lambat itu.
"Lumayanlah.... Kurang lebih tiga malam lagi...," jawab Panjalu.
"Apakah kalian tidak merasa lelah...?" kembali Rangga bertanya.
"Tidak...!"
"Jangan terlalu memaksakan diri. Kalau lelah, biar kita istirahat dulu...," ujar Rangga.
"Kita tunggu saja sampai hari gelap. Baru kita beristirahat di tepi hutan kecil yang ada di muka sana...!" tunjuk Panjalu.

***

Menjelang fajar, Rangga, Wismoyo, dan Panjalu tiba di sebuah dataran tinggi bernama Bukit Pugel. Di tempat itulah Tabib Kwe Ceng Kian tinggal.
"Di mana rumahnya...?" tanya Rangga tidak sabar.
"Di atas itu...," tunjuk Wismoyo.
Kembali mereka bertiga melangkah naik. Bukit Pugel tenyata memiliki pemandangan cukup indah. Terutama hawanya yang sejuk membuat orang kerasan tinggal di tempat ini. Beberapa saat kemudian, tampaklah dari kejauhan sebuah rumah sederhana. Pada halaman muka dan sampingnya terdapat bermacam-macam tumbuhan. Terutama pohon dan tumbuhan obat-obatan.
Rangga, Wismoyo, dan Panjalu semakin melangkah mendekati rumah itu. Di halaman, terlihat dua orang pelayan tengah memetik daun obat. Melihat kedatangan ketiga orang itu, kedua pelayan ini menghentikan kegiatannya. Agak lama keduanya memperhatikan tamu-tamu yang baru datang ini.
"Selamat siang, Kisanak semua.... Apakah Tabib Kwe Ceng Kian ada di dalam...?" tanya Wismoyo.
Kedua orang pelayan itu tidak langsung menjawab. Mereka masih menatap tajam dengan sinar mata curiga. "Apakah Kisanak ini, teman orang-orang yang di dalam...?" tanya salah seorang pemetik bunga obat itu.
"Kalau orang-orang itu mendapat luka busuk dan mengeluarkan nanah, tentu mereka teman-temanku...."
"Apakah Kisanak telah membawa pesanan Tuan Tabib...?" tanya pelayan itu lagi.
"Sudah! Ini ada di dalam baju...," tukas Rangga sambil menunjuk ke balik bajunya. Ternyata Pedang Rajawali Perak, disimpan Pendekar Rajawali Sakti. Tampaknya mereka bertiga tengah menyusun suatu rencana.
"Kalau begitu, silakan masuk...," kata pelayan yang satunya.
Sambil mengangguk, mereka bertiga masuk ke dalam. Tampak teman mereka yang berjumlah lima orang tengah berbaring lemah. Jelas mereka belum diobati dan masih menunggu pedang pusaka lambang Perguruan Rajawali Perak yang digunakan sebagai imbalan untuk mengobati penyakit.
Dalam hati, Pendekar Rajawali Sakti membatin. Jelas tabib ini dari golongan hitam. Sebab dari tindakan yang diambil, telah menggambarkan hatinya yang tamak. Entah apa yang tersembunyi di balik semua ini?
"Hei.... Kalian sudah datang rupanya! Mana Pedang Rajawali Perak yang harus kalian bawa...?"
Sebuah pertanyaan terlontar ketika dari balik kamar muncul seorang laki-laki tua dengan rambut digelung ke atas. Tangannya memegang tongkat bambu.
"Hm.... Kaukah tabib yang terkenal dari Cina itu...?" tanya Rangga.
"Ho ho ho...! Aku tidak pernah mengatakan terkenal. Tapi orang lainlah yang telah mengatakan dan telah membuktikan kemampuanku yang tidak ada duanya ini...," tukas Tabib Kwe Ceng Kian sombong.
"Kami sudah datang membawa Pedang Rajawali Perak.... Harap kau cepat menyembuhkan teman-teman kami yang menderita itu...," lanjut Rangga.
"Kau siapa...? Aku baru melihatmu. Lagi pula tampaknya kau tidak sakit seperti yang lain...," tanya Tabib Kwe Ceng Kian.
"Aku memang tidak sakit. Tentu saja kau tidak kenal aku, karena aku murid baru.... Kedua saudara kami inilah yang sakit...," sahut Rangga sambil menepuk bahu Wismoyo dan Panjalu.
"Serahkan dulu pedang pusaka lambang perguruan kalian. Baru mereka aku sembuhkan...," ujar si tabib itu, mendesis.
"Bagaimana bisa begitu? Sebaiknya sembuhkan dulu mereka, baru pedang ini kuserahkan...," tukas Rangga.
"Hahaha...! Aku yang harus membuat peraturan, bukan kalian! Lagi pula, kalian dapat berbuat apa di sini...? Tempat ini seluruhnya telah dipenuhi racun. Lekas serahkan pedang itu kalau masih ingin hidup...!" gertak tabib itu, disertai tawa menggetarkan.
Tiba-tiba Wismoyo dan Panjalu membuka kerudung. Maka terlihatlah seraut wajah menjijikkan penuh luka membusuk dan nanah. Dengan pandangan tajam kedua orang itu memperhatikan tabib yang ternyata seorang pemeras licik.
"Sudah kuduga, kau ingin menguasai pusaka-pusaka para perguruan yang ada di tanah Jawa ini. Tapi kali ini kedokmu terbongkar.... Karena sebenarnya kami tidak terkena penyakit. Lihatlah ini...," desis Wismoyo dan Panjalu sambil mengupas wajahnya.
Ternyata kedua orang Perguruan Rajawali Perak itu menggunakan topeng yang dibaluri daging-daging busuk. Setelah topeng itu terbuka, wajah mereka tidak ada cacatnya. Mereka cukup tampan dan berusia muda.
"Ho ho ho...! Kalian pikir aku orang bodoh! Lihatlah kelima orang yang disangka saudara seperguruan kalian itu...!" ujar tabib itu sambil menunjuk kelima orang yang tengah membuka kedok samarannya.
Ternyata mereka sehat segar bugar. Wajah mereka kuning dengan mata sipit. Jelas mereka pun dari dataran Cina.
"Keparat...! Kau kemanakan lima saudara kami?!" dengus Panjalu.
"Ho ho ho...! Mereka sudah terlalu lama menunggu. Jadi sudah tidak tertolong lagi. Daripada merepotkan, lebih baik dimusnahkan saja. Sekarang sudah jelas. Tidak ada jalan lolos bagi kalian. Sebaiknya serahkan pedang itu...!" ancam Tabib Kwe Ceng Kian.
Sementara itu kedua pelayan yang tadi sedang memetik daun obat sekarang telah berada di tempat ini. Ternyata mata mereka pun sipit pula. Kini mereka bertujuh mengepung dan mengurung Rangga, Wismoyo, dan Panjalu dengan senjata terhunus.
"Apa tujuanmu dengan mengumpulkan senjata-senjata pusaka dari tanah Jawa ini...??" tanya Rangga dengan pandangan tajam.
"Karena sebentar lagi kalian akan mati, biarlah kuberitahu. Aku bermaksud mendirikan sebuah perguruan yang tidak tertandingi di negeri asalku. Untuk itu, aku membutuhkan banyak senjata pusaka yang ampuh. Dengan senjata-senjata itu kami dapat mengadakan pemberontakan terhadap kerajaan. Dan aku akan mengangkat diriku sebagai Kaisar. Sebuah cita-cita yang luhur, bukan? Sekarang aku telah berhasil mengumpulkan pusaka tanah Jawa. Berarti langkahku tinggal sedikit lagi.... Kurasa cukup sudah penjelasanku ini...."
"Sebuah cita-cita gila. Kau pantas dilenyapkan dari muka bumi ini...!" desis Rangga sambil mengepalkan tinjunya erat-erat.
"Ayo, calon pengawalku! Binasakan mereka bertiga. Dan ambil pedang pusakanya...!" perintah Tabib Kwe Ceng Kian.
Setelah mengetahui maksud jahat tabib aneh ini, Rangga memberi isyarat pada Wismoyo dan Panjalu yang sudah marah luar biasa itu.
"Heaat...!"
"Ciaaat!"
Kedua orang Perguruan Rajawali Perak menyerang sekuat tenaga pada Tabib Kwe Ceng Kian. Tetapi ketujuh pengawal tabib itu segera melindungi dengan jalan menahan semua serangan. Bahkan mereka mengadakan serangan balik.
Perkelahian segera terjadi. Dan dalam ruangan sempit ini, keadaan tidak menguntungkan bagi pihak Rangga. Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan tenaga dalam yang dipusatkan pada kedua telapak tangannya. Dan....
"Aji Bayu Bajra! Heaaa...!" Disertai teriakan keras, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya.
Wusss...!
Bruakkk...!
Ruangan itu seakan dilanda gempa. Dinding dan bagian lain rumah itu hancur berantakan bagaikan habis dilanda badai dahsyat. Rangga bersama kedua temannya segera melesat keluar mencari tempat luas.
"Keparat! Mau lari ke mana kau...?!" teriak Tabib Kwe Ceng Kian, seraya mengejar.
"Siapa yang mau lari...? Kau memang bagianku, Tabib Sesat...!" seru Rangga.
Begitu mendarat, Rangga langsung menyerang dengan tangan kosong. Tetapi gerakan tabib itu gesit luar biasa. Ilmu meringankan tubuhnya sangat mengagumkan. Dengan sebuah toya berwarna kebiruan, dia pun mulai menyerang Rangga.
Yang sangat berbahaya adalah keadaan Wismoyo dan Panjalu. Mereka terdesak oleh keroyokan tujuh orang asing itu. Tapi mereka tetap bertahan mati-matian. Namun naas menimpa mereka. Keduanya jatuh terpeleset. Maka kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh lawan.
Cras! Bret!
"Waaa..!"
Beberapa luka yang cukup parah tampak tertoreh di sekujur tubuh mereka. Dengan mati-matian Wismoyo dan Panjalu mencoba bertahan. Tetapi orang-orang asing ini malah terus menyerang ganas. Pada saat yang gawat itu, Rangga mendadak berkelebat meninggalkan Tabib Kwe Ceng Kian. Langsung kedua tangannya menghentak.
"Aji Bayu Bajra...! Heaaa...!"
Werrr!
"Wuaaa...!"
Tiga orang terpelanting saat itu juga, terhantam ajian 'Bayu Bajra' yang bagaikan topan dahsyat. Saat itu Wismoyo dan Panjalu melihat si tabib dengan toya birunya. Dan mereka teringat pada orang bertopeng yang telah membuat onar di Perguruan Rajawali Perak. Maka mantaplah hati mereka....
"Kisanak...! Orang itulah yang telah bentrok dan membuat onar di perguruan kami tempo hari...!" teriak Wismoyo.
Mendengar teriakan mereka, cepat Tabib Kwe Ceng Kian menyimpan toya birunya dan mengeluarkan tongkat bambu sebagai gantinya.
Rangga kembali berkelebat dan segera menahan tabib itu dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Pertarungan sengit kembali terjadi. Ketika ada kesempatan, Rangga menyerang dengan tangannya yang membentuk paruh rajawali. Tetapi tabib itu cepat menangkisnya.
Plak! Trak!
Ternyata tangan Rangga pedih bergetar hebat. Rangga heran, dan menduga ada sesuatu dalam batang bambu itu. Segera dikerahkannya jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', sehingga kedua tangannya berubah merah membara karena disertai tenaga dalam tinggi.
Namun serangan Rangga yang biasanya selalu berhasil, kali ini luput dari sasaran. Karena Tabib Kwe Ceng Kian memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa.
"Hm.... Hebat juga orang ini. Dan dapat mencuri kelemahan jurusku dalam waktu sesingkat ini...," gumam Pendekar Rajawali Sakti dalam hati.
"Aaa...!"
"Heh?!" Rangga terkejut begitu mendengar teriakan menyayat. Ketika menoleh dia melihat Panjalu tertusuk pedang sampai tembus ke punggung. Ketika dicabut darah menyembur dari bekas lukanya. Keempat orang Cina itu, menerjang kembali pada Wismoyo yang sudah kewalahan.
"Aji Bayu Bajra...! Heaaa...!"
Werrr...!
Dengan geram Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya mengirimkan aji 'Bayu Bajra'. Angin keras bergulung-gulung kontan menerjang keempat pengeroyok Wismoyo.
Tak ampun lagi, mereka berpelantingan dengan tubuh hancur tidak karuan. Wismono sendiri sampai mendecah kagum melihat kesaktian teman seperjalanannya yang tidak disangka memiliki kepandaian begitu luar biasa. Namun tak lama Wismoyo ambruk terduduk, saking lemas dan banyak mengeluarkan darah.
Sementara melihat kematian anak buahnya Tabib Kwe Ceng Kian jadi ciut nyalinya. Cepat dia berbalik dan mengambil jurus langkah seribu.
Namun Rangga telah membaca niat tabib itu. Cepat tubuhnya berkelebat, menghadang di depannya. Mau tidak mau tabib itu nekat. Diserangnya Rangga penuh kemarahan.
"Haaat!"
Rangga berkelit-kelit indah, menggunakan gabungan jurus lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Bahkan tiba-tiba tangannya terjulur ke wajah, begitu cepat sekali. Dan...
Bret!
"Aaakh...!"
Rangga berhasil menyambar wajah tabib itu. Ternyata wajah Tabib Kwe Ceng Kian menggunakan topeng karet. Tampak wajahnya yang masih muda dengan mata sipit. Rangga semakin yakin dengan dugaannya kalau Tabib Kwe Ceng Kian adalah tokoh persilatan dari daratan Cina. Melihat ini, Rangga teringat kata-kata Rara Wulan, tentang orang yang telah mencuri pedang pusaka miliknya.
"Hm.... Kau pasti yang berjuluk si Kuda Terbang. ..!" gumam Rangga penuh tekanan.
"Hei...?! Dari mana kau tahu julukanku? Siapakah kau sebenarnya...?" tanya Tabib Kwe Ceng Kian.
"Aku Rangga.... Aku tahu nama dan julukanmu dari seorang wanita berpakaian serba hijau yang telah kau curi pedang pusakanya...," sahut Rangga, bersiap-siap.
Merasa tidak ada gunanya lari, Kwe Ceng Kian mencabut pedang pusaka miliknya sendiri yang ternyata juga bergagang kepala burung. Lalu dengan sekuat tenaga dan kemampuan, diserangnya Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti kembali mengerahkan jurus gabungan dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Sehingga tubuhnya bisa menghindar, sekaligus melepas serangan.
"Hm.... Aku tidak perlu berlama-lama...," pikir Rangga.
"Yeaaa...!" Saat itu juga, Rangga melesat ke atas dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
"Hiaaat..!" Kwe Ceng Kian tak mau kalah. Pedangnya langsung dikebutkan dengan cepat.
Dalam kemarahannya, Rangga mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Cepat dipapaknya sabetan pedang itu dengan tangannya.
Tak!
Pedang Kwe Ceng Kian kontan putus. Pada saat yang sama, Pendekar Rajawali Sakti telah merubah jurusnya menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Tangannya terus berkelebat sambil meluruk deras. Dan....
"Aaa...!" Telak sekali kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang membentuk paruh menghantam kepala Kwe Ceng Kian hingga pecah. Tokoh persilatan dari Cina itu kontan ambruk, bergelimang darahnya sendiri. Tongkat bambu di tangan kirinya masih tergenggam. Sedang toya biru masih terselip di pinggang.
Rangga menatap Kwe Ceng Kian yang masih kelojotan, lalu menghampirinya. Diambilnya tongkat bambu itu, dan dihantamnya kuat-kuat.
Prak!
Begitu bambu terbelah, tampak Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang bersinar biru berkilauan ada di dalamnya. Dengan perasaan lega disimpannya pedang itu dan disampirkan pada punggungnya.

***

TAMAT

🎉 Kamu telah selesai membaca 186. Pendekar Rajawali Sakti : Pesanggrahan Telaga Warna 🎉
186. Pendekar Rajawali Sakti : Pesanggrahan Telaga WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang