Seorang pria tampan sedang memegang ponselnya sambil menatap gedung pencakar langit di depannya. Tatapannya datar, sesekali ia menghela nafas. Entah lega atau kecewa, karena sang pujaan hati tetap bisa berbahagia walau tanpa dirinya.
"Baguslah ... Kamu sudah bisa move on, Lana. Tinggal aku yang belum."
Pria itu adalah Adrian, diam-diam ia masih sering mengintai IG Alana menggunakan akun palsu. Melihat foto Alana yang terlihat tersenyum bahagia bersama Edgar membuatnya lega sekaligus sedih dalam waktu bersamaan.
Sepertinya ia harus merelakan kisahnya bersama Alana. Gadis itu yang pertama mengenalkannya pada indahnya cinta, dia juga yang pertama mengenalkannya pada rasa sakit.
Kini Adrian sudah kembali menjadi dirinya yang dulu, ia tak mau lagi dipusingkan dengan segala tetek bengek urusan percintaan. Baginya lebih baik mengisi hidup dengan hal produktif seperti bekerja.
Soal jodoh biarlah menjadi urusan keluarga besarnya. Rencana menikah muda dengan Alana hanya tinggal cerita. Suatu hal yang baru disadari olehnya, ternyata gadis itu tak sepemikiran dengannya.
Ia mengambil sesuatu di laci meja kerjanya, sebuah kotak cincin. Ia membuka dan mengeluarkan isinya. Tampak sebuah cincin elegan bermata berlian.
Cincin yang sedari awal ingin ia berikan kepada Alana saat malam prom night itu. Tapi apa yang dia lihat, malah pemandangan yang menyakitkan hati.
Adrian menutup kembali kotak cincin itu dan memasukkannya ke laci meja kerjanya. Ia berpikir cincin itu akan menjadi milik gadis lain, entah siapa. Biarlah, lagi pula ia tak mengukir nama Alana di sana.
Kemudian ia berjalan ke arah meja kerjanya, menekan tombol intercom. Menghubungi asistennya.
"Cindy, pesankan saya makan siang. Saya mau sushi dari restoran Jepang depan bioskop."
***
Sudah sebulan sejak kepergian Adrian, Alana masih saja belum bisa move on, dia masih akan menangis secara tiba-tiba saat melihat sesuatu yang mengingatkannya akan sosok Adrian. Lebay? Emang.
"Lan, sampai kapan lo harus begini? Bunda bilang akhir-akhir ini lo jarang makan."
"Anggap aja gue diet."
"Perhatikan juga kesehatan lo, kalau lo sakit siapa yang susah? Bunda, gue ...."
"Jadi lo merasa gue susahin? Oke, lo nggak perlu ngurusin gue lagi, gue nggak mau jadi beban lo, nyusahin lo. Lagian lo bukan siapa-siapa gue, keluarga bukan, pacar bukan ...." Alana berbicara dengan keras, sejak ditinggalkan Adrian ia berubah menjadi pribadi yang sensitif dan mudah tersinggung.
"Jadi bukan siapa-siapa, ya? Oke!"
Alana hanya melongo melihat Edgar yang pergi meninggalkannya. Ada setitik rasa bersalah di hatinya. Ia tau, selama ini Edgar yang selalu ada bersamanya. Menemani hari-hari suramnya. Melihat Edgar pergi seperti itu membuat Alana merasa sangat jahat.
"Gar, Edgar! Tunggu!"
Alana berniat mengejar Edgar hingga ke gerbang, sayangnya Edgar sudah terlebih dahulu memacu motor sport mahalnya.
"Edgar! Edgar! Jangan tinggalin gue!" Alana berteriak memanggil Edgar.
Ulah Alana yang berteriak-teriak di tengah jalan menjadi tontonan tetangganya yang terkenal suka bergosip. Mereka berbisik-bisik, tapi masih bisa didengar oleh Alana.
"Kasihan, ya. Pasti diputusin."
Alana masuk kembali ke dalam rumah, disambut tatapan keheranan dari bundanya.
"Edgar mana, Lan?"
"Udah pulang, Bun." Alana menjawab sedih.
"Lho, nggak makan dulu? Semurnya baru aja mateng."
"Hua ... Bunda! Dia marah sama Alana." Alana menangis di pelukan bundanya. Membuat bundanya terheran-heran.
"Kamu apain dia?"
"Ta-tadi 'kan aku bilang ... A-aku bilang dia bukan si-siapa ... Siapaaa ... Hua ...." Alana menjawab pertanyaan bundanya dengan sesenggukan.
"Ya Allah, keterlaluan banget kamu."
"Te-terus gimana, Bunda?" Alana mengguncang lengan bundanya, merajuk bak balita yang minta dibelikan mainan.
"Nggak tau lagi deh, Bunda pusing!" Setelah meletakkan semur buatannya di meja makan, bunda meninggalkan Alana ke dapur.
"Hua ... Bunda!"
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Tapi Cinta
HumorNggak ada persahabatan yang murni antara pria dan wanita? Setuju? Kalau nggak percaya baca aja cerita ini.