Petrichor {11}

8.8K 782 28
                                    

Sebelas

Daraz berjalan mendekatiku, kemudian memeluk dan menciumku. Menciumku! Aku benar-benar tak menyangka dia akan melakukannya. Di sini, di ruang kelas, di kampusku. Rasa hangat bercampur terkejut memenuhi diriku dari ujung kepala hingga kaki. Selama beberapa saat aku memejamkan mata, menghanyutkan diri dalam gelombang cinta dan gairah yang sulit kucegah. Dalam pagutan lembut bibir Daraz dan sapuan napasnya yang panas. Dalam dekapan tubuhnya yang kokoh dan seakan membingkai diriku dari segala ketidakbahagiaan di luar sana. Ada bagian-bagian hampa di dalam diriku yang merasa terpuaskan. Lubang kesepian, kesedihan, kecemburuan, dan kehilangan itu telah tergenapkan.

Dan ciuman ini mengingatkanku pada ciuman pertama kami dua tahun yang lalu. Ciuman yang nakal namun lugu. Ciuman yang hangat di tengah udara beku. Ciuman yang nikmat namun terlarang.

Apa yang sedang kulakukan?!

Aku membuka mata dan berusaha mendorong tubuh Daraz, namun dia menahanku. Menatapku tajam, dia menghentikan ciumannya sesaat sambil tetap memelukku. Tangannya terlingkar kuat di pinggangku. “Kenapa?” bisiknya.

Jantungku berdegup di atas normal. Ada dua pertentangan di dalam diriku yang sulit kutaklukkan. “Hentikan. Kumohon, Daraz. Hentikan....”

Daraz menggeleng. “Aku kangen banget sama kamu, Juli.” Dia berusaha menciumku lagi.

“Aku....” Daraz berhasil mengecup bibirku, lalu aku berusaha menghindarinya. “Aku tau....” Kubiarkan Daraz mengecup pipiku. “Tapi kita nggak harus kayak gini. Apalagi di tempat seperti ini. Bagaimana kalau ada orang yang....” Belum sempat kutuntaskan kata-kataku, kulihat seseorang berdiri di sela-sela pintu yang sedikit terbuka.

JANUARI! Pekikku di dalam hati.

Serta-merta aku mendorong tubuh Daraz. Kali ini aku berhasil melakukannya. Mungkin karena Daraz sedang lengah.

“Maaf. Maafin aku, Juli. Maafin aku...,” ucap Daraz penuh rasa bersalah. Seakan dia baru menyadari apa yang tadi dilakukannya adalah sebuah kesalahan. “Aku... aku nggak bermaksud....”

Aku melirik ke arah pintu. Tak ada lagi seseorang yang berdiri di sana. Kemudian aku menatap Daraz yang sedang menyesali perbuatannya dan berusaha meminta maaf.

Mengambil tas, aku lantas pergi meninggalkan Daraz sendirian di dalam kelas. Sejujurnya, aku tak tahu reaksi apa yang harus kuberikan kepadanya. Di satu sisi, aku merasa senang, namun di sisi lain aku merasa telah melakukan kesalahan. Mungkin perasaan yang sama sedang melanda Daraz.

“Juli! Tunggu, Juli!” tahan Daraz.

Aku terus berjalan dengan langkah yang semakin cepat. Melewati lorong kampus yang sepi. Patut kusyukuri, tak ada orang yang melihat kami di kelas tadi—kecuali, mungkin, Januari. Ah, apa sih, yang sedang dilakukan si Playboy Tengil dan Jail itu di tempat ini? Kuharap, bayangannya yang kulihat tadi hanyalah ilusi. Kuharap, cowok itu sudah pergi sejak siang tadi.

“Juli....” Daraz berhasil mengejarku, dan kini tangannya sedang menahan tanganku. “Maafin aku.”

Kuhentikan langkah tepat sebelum anak tangga turun.

“Maafin aku,” ulang Daraz, dengan suara lirih, seakan bersumber dari dasar hatinya.

Aku menghela napas dalam dan kemudian mengangguk lemah. Kuakui, kami berdua sama-sama bersalah. Dan kurasa, kami berdua pun sama-sama menyesali kejadian tadi. “Sudahlah. Ayo kita pulang.”

Daraz tersenyum seraya mengangguk saat aku menatapnya. Kami berdua menuruni anak tangga sambil berpegangan tangan dalam diam. Ketika kami hampir tiba di titian anak tangga terakhir, kudengar langkah kaki seseorang di belakang. Awalnya tak kupedulikan, sampai kemudian orang itu mendahului kami. Tak salah lagi, dia adalah Januari.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang