Petrichor {12}

10.8K 811 31
                                    

Dua Belas

Makhluk paling menyebalkan sedunia itu ternyata masih berkeliaran bebas di kampusku. Dia benar-benar menungguku sampai selesai jam terakhir perkuliahan. Aku buru-buru menarik lengan Budi dan bersikap sok sibuk dengannya, berusaha menghindari Januari. Namun, mata cowok nyebelin itu ternyata lebih awas dari yang kuduga. Dan gerakannya lebih cepat dari gerakan menghindarku bersama Budi. Sial.

“Ayo!” tangannya terulur ke arahku, setelah dia melompat dan berhenti satu langkah di hadapanku.

“Ayo apaan?” Genggamanku di lengan Budi semakin kueratkan. “Aku mau ngerjain tugas bareng temenku.”

“Sok rajin amat, Mbak! Udah, ngerjain tugasnya besok-besok aja kalau langitnya cerah. Sekarang lo pergi bareng gue. Gue jamin, lo nggak bakalan nyesel.” Januari menyerocos tanpa sedikitpun mengacuhkan keberadaan Budi dan penolakanku. Kini tangannya sudah menarik tanganku yang satunya lagi. “Ayo!”

“Ih, apaan sih?” Aku berusaha menepiskan genggamannya, namun gagal.

Sedetik kemudian, Budi melangkah, memosisikan dirinya di tengah-tengah aku dan Januari. “Sori, lo siapa?”

Setelah kuperhatikan dengan saksama, ternyata Budi memiliki tinggi badan yang hampir sama dengan Januari meskipun tidak lebih tinggi. Wajahnya yang lebih kalem dengan label tampang-anak-baik-baik membuatnya terlihat lebih keren daripada biasanya ketika dia mengonfrontasi Januari secara jantan.

“Lo denger kan, kalau Juli mau ngerjain tugas bareng gue?!” lanjut Budi, sementara Januari masih bersikap tak peduli. “Dan gue harap, lo bisa memperlakukan cewek sedikit lebih lembut dan sopan.” Budi berhasil melepaskan genggaman Januari dari tanganku, semudah pawang komodo melepaskan gigitan reptil mengerikan itu.

“Lo pikir lo siapa, heh?” balas Januari, dengan tampang tengilnya. “Minggir! Gue nggak ada urusan sama lo!” Serta-merta, dia mendorong tubuh Budi sekuat tenaga hingga Budi terjerembap. Aku bisa saja ikut jatuh dengannya kalau Januari tidak lekas menarik tanganku. Sesaat setelah itu, Januari memaksaku pergi bersamanya.

“Lepasin!” bentakku, setengah berteriak. Orang-orang di sekitar memandangi kami, namun tak lebih dari itu. Antara tak ingin mencampuri urusan orang lain, atau sama sekali tak berempati. Yang jelas, aku malu menjadi pusat perhatian dalam kondisi seperti ini. “Oke, oke! Aku bakal ikutin kemauan kamu.” Aku pun menyerah.

“Nah, gitu kek, dari tadi.” Januari menyengir kemudian melepaskan genggamannya dari tanganku.

“Tapi ada syaratnya.”

Januari mengangkat sebelah alisnya dengan tatapan ‘apa?’ yang menantang.

Aku menatap Budi yang baru saja bangkit, lalu kembali menatap Januari. “Pertama, kamu harus minta maaf sama Budi. Kedua, Budi harus ikut bareng kita.”

Menatap aku dan Budi secara bergantian, Januari lantas menggeleng.

*

Cara Januari menyetir mobil mengingatkanku pada supir angkot yang kerap ugal-ugalan di jalanan. Berkali-kali Budi memperingatkan supaya dia menjaga kecepatan di level normal dan berhati-hati jangan sampai menabrak kendaraan di depan dan samping atau melanggar rambu lalulintas. Aku paham. Selain mengkhawatirkan keselamatan kami, tentunya Budi juga tak mau mobilnya kenapa-kenapa gara-gara si sopir sableng ini.

Sebelum tiba pada adegan ugal-ugalan yang bikin deg-degan ini, Januari sempat meminta maaf kepada Budi setelah kuancam kalau aku takkan pergi bersamanya jika dia tak melakukannya. Selain meminta maaf, dia juga menyetujui ideku untuk menyertakan Budi dalam perjalanan misterius kami. Sekilas, kedengarannya aman. Namun, bukan Januari namanya jika dia benar-benar menanggalkan jubah ketengilannya. Dia akan membawa kami pergi hanya jika dia yang menyetir mobil Budi. Sebenarnya, aku sudah bersiap-siap memprotes. Hanya saja, Budi keburu pasrah dan mengiyakan.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang