Petrichor {6}

8.2K 891 19
                                    


Enam

“Juli...,” suara Bibi Asri terdengar memanggilku setelah ketukan ketiga di pintu kamarku. “Lagi apa? Bisa bantuin Bibi?”

Aku lekas menyimpan surat dari staf Administrasi kampus ke dalam laci, sebelum berjalan cepat ke arah pintu. “Nggak lagi ngapa-ngapain. Bibi perlu bantuan apa?” tanyaku, setelah membuka pintu.

“Bantu Bibi bersihin ikan, yuk! Tadi, Bibi sama Mbok Darmi habis belanja di pasar, beli beberapa ekor ikan segar.”

Aku mengangguk. Lima menit kurasa sudah lebih dari cukup bagiku untuk beristirahat sejenak sepulang kuliah. “Juli ganti baju dulu, ya?”

“Oke. Bibi tunggu di dapur,” ucap Bibi sambil tersenyum.

Saat mengganti pakaian, pikiranku terus diganggu oleh surat itu. Surat tagihan biaya kuliah yang belum kubayar. Dan sebuah peringatan, jika sampai minggu depan aku belum juga membayarnya, maka aku tak akan menerima kartu ujian, dan pastinya aku tak boleh ikut ujian.

Sejak dulu, semua biaya sekolahku selalu menjadi tanggungan Paman Panji. Biaya dua semester awal kuliahku dibayar Paman tepat waktu. Namun, pada semester ketiga ini, Paman memang tampak lebih sibuk. Dan kabar buruknya, saat ini, Paman sedang berada di Kalimantan untuk urusan pekerjaan. Dia adalah seorang Kepala Instruktur pelatihan kepemimpinan bagi berbagai macam perusahaan. Saat berpamitan kepada Bibi kemarin pagi, Paman bilang bahwa tugasnya di Kalimantan akan berjalan sekitar dua mingguan. Dan aku tak mungkin menghubungi Paman untuk mengingatkan pembayaran biaya kuliahku.

Saat sedang membantu Bibi membersihkan dan memotong ikan gurame di dapur, aku sempat menguji diriku sendiri, apakah aku berani mengungkapkan kegelisahanku soal surat itu kepada Bibi, ataukah tidak. Dan jawabannya, tentu saja tidak. Mungkin ini saat bagiku untuk tidak lagi bergantung kepada Paman atau siapa pun.

Seusai membantu Bibi di dapur, aku kembali ke kamar. Kuperiksa saldo di buku tabungan, dan syukurnya, jumlahnya cukup untuk membayar biaya kuliahku semester ini. Tak mengapa jika uang yang kutabung selama satu tahun itu lantas habis dan hanya menyisakan saldo seratus ribu sekian rupiah. Ah, kalau tahu akan begini jadinya, aku tidak akan mengajukan pembatalan kerja sama dengan pihak Rendezvous Cafe. Aku harus segera mencari pekerjaan paruh waktu lagi. Sebagai antisipasi, kalau-kalau hal ini akan terulang kembali pada semester berikutnya.

Aku sedang mencari daftar pekerjaan lengkap dengan alamat dan nomor telepon yang pernah kutulis di dalam organizer, ketika ponselku berdering.

Daraz meneleponku.

Seperti biasa, Daraz Syndrom masih berlaku. Namun kali ini lebih lama daripada biasanya. Aku sempat ragu untuk menjawabnya. Seminggu sudah berlalu, namun kejadian di Rendezvous Cafe pada malam itu belum bisa kulupakan, dan perbuatan Daraz belum bisa kumaafkan.

Daraz mengirimiku SMS permintaan maaf, sehari setelah kejadian itu. Dia menjelaskan panjang lebar, tepat seperti apa yang kuperkirakan. Isi SMS-nya menjelaskan bahwa setelah mengantar Delta membeli pakaian di distro milik temannya, Daraz pamit dan bersiap-siap menemuiku di kafe itu dengan mengatakan bahwa dia akan memperbaiki ponselnya di suatu tempat. Namun, kemudian Delta mengusulkan sebuah nama tempat servis dan reparasi ponsel yang sudah menjadi langganannya. Dan Daraz sulit menolaknya.

Daraz juga menjelaskan bahwa dia bisa saja membatalkan pertemuan kami, kalau saja ponselnya baik-baik saja dan dia sempat menghubungiku atau sekadar mengirim SMS. Hingga akhirnya, terjadilah pertemuan yang seolah-olah kebetulan. Dan Daraz meminta maaf atas sikapnya yang terlalu dingin saat kami bertemu di kafe itu.

Untuk SMS terpanjang yang pernah Daraz kirimkan itu, aku tidak membalasnya. Yang benar saja! Semudah itukah dia berbuat salah dan meminta maaf? Sebesar apa pun rasa cintaku kepadanya, aku masih memiliki harga diri untuk tidak memaafkannya begitu saja. Ini bukan soal apakah aku seorang pendendam atau bukan, melainkan tentang bagaimana seharusnya bersikap terhadap seseorang yang sudah memperlakukanku secara sewenang-wenang.

Karena SMS-nya tak kubalas, Daraz pun berusaha meneleponku. Namun, aku masih patuh pada diriku yang teguh, yang tak akan menjawab panggilan teleponnya. Daraz sampai mengirimiku pesan di Friendster, bahkan e-mail. Dan semuanya tak kuacuhkan.

Panggilan telepon Daraz beberapa saat yang lalu pun berakhir tanpa kujawab. Dan ketika ponselku berdering lagi, kuyakinkan diriku sendiri untuk menekan tombol reject. Begitu juga untuk panggilan telepon yang ketiga kalinya.

Dan setelah semua penolakanku itu, Daraz mengirimkan SMS, ‘Aku di depan pagar. Kita harus bicara sekarang. Satu jam lagi Delta pulang.’ Serta-merta, aku berlalu menuju jendela kamar, memastikan apakah yang dikatakannya benar.

Ya, sedan hitam itu terparkir di depan pintu pagar.

Aku belum sempat membalasnya, ketika Daraz kembali meng-SMS, ‘Aku tau kamu udah pulang. Kalau kamu nggak keluar, aku bakal masuk.’

Kulihat Daraz turun dari mobilnya, dan sedang membuka pintu pagar. Buru-buru aku membalas SMS-nya, ‘Oke, aku ke sana sekarang.’

Dan ternyata, dengan mudahnya aku menyerah dan memaafkan Daraz.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang