Petrichor {2}

14.3K 1.1K 44
                                    

Dua

Seharian ini, aku serasa menanggung beban yang sangat berat. Meski belum ada kontrak tertulis di antara aku dan pihak Rendezvous Cafe mengenai pekerjaan sebagai penyanyi kafe itu, tetap saja aku merasa bersalah jika harus mengundurkan diri sebelum memulainya. Namun, apa mau dikata jika Paman tidak mengizinkanku bekerja di sana.

Dua kali, aku hampir mengirim SMS dan menelepon Mbak Hanny sang Manajer untuk memberitahunya soal pengunduran diri—ah, mungkin lebih tepatnya pembatalan kerja sama itu. Lalu kupikir, akan jauh lebih santun jika aku datang menemuinya.

Jam kuliahku hari ini berakhir pada pukul enam belas. Aku pun  lantas pergi menemui Mbak Hanny di Rendezvous Cafe. Ia tampak terkejut karena kedatanganku yang tiba-tiba. Kami berbincang di teras belakang, di tempat yang sama dengan ketika Mbak Hanny mengatakan bahwa aku diterima sebagai penyanyi di kafe yang baru berdiri dua tahun itu.

Tepat beberapa saat yang lalu, aku mengatakan kepadanya bahwa aku tak bisa memenuhi posisi yang sempat kuinginkan itu karena beberapa alasan. Sesaat, Mbak Hanny tampak kecewa, namun ia cukup bijaksana untuk menghargai keputusanku. Ya, perasaan ketika kita mengecewakan seseorang yang baik itu sama buruknya dengan perasaan ketika kita dikecewakan orang lain.

“Udah, nggak perlu terus-terusan minta maaf. Dan jangan terlalu dipikirin juga,” ucapnya, dengan nada suara dan ekspresi yang tidak terkesan seperti basa-basi. “Mungkin memang belum waktunya kita bekerja sama. Santai aja. Dunia kerja itu beda dengan dunia percintaan. Ketika sebuah perusahaan menolak kamu, itu cuma soal kapasitas jumlah karyawan yang terbatas, dan sayangnya kamu berada pada satu urutan di luar kapasitas itu. Dan ketika sebuah perusahaan kehilangan seorang karyawan, itu cuma soal ketersediaan satu tempat bagi karyawan baru.”

Aku merasa lega dengan cara yang tak terduga. Berbincang dengan Mbak Hanny memang selalu menyenangkan, juga menenangkan. Beban itu pun perlahan menghilang. Mbak Hanny pamit. Ia harus kembali bekerja. Sementara, aku masih duduk di tempat sambil membalas SMS dari Daraz.

Beberapa saat sebelumnya, Daraz meng-SMS: ‘Udah nyampe rumah? Kalau belum, boleh minta tolong beliin majalah langganannya Delta? Tadi aku bilang mau beliin majalah itu sebagai kompensasi karena aku nggak bisa nganter dan ngejemput dia di kampus. Tapi aku nggak bakal sempet ngasih sekarang, sementara Delta mintanya buru-buru. Nanti aku ganti uangnya. Thanks before ya, Jul.’

Setelah memikirkan jawaban dan mengetik panjang lebar kemudian menghapusnya, akhirnya hanya kata-kata ini yang tersisa sebagai balasan, ‘OTW. My pleasure, Raz.’

Tak lama kemudian, Daraz membalas, ‘You’re the best, Jul. Ever.’

Kurasa, aku tak perlu lagi menyebutkan kalau aku selalu mengalami Daraz Syndrom di saat-saat menjawab telepon atau berkirim SMS dengan Daraz. Terutama dalam momen—di mana Daraz memujiku—seperti ini.

Aku baru saja hendak beranjak dari tempat duduk saat seorang waiters datang dan berkata, “Virgin Mojito-nya, Mbak, silakan...,” sambil meletakkan segelas minuman dingin itu di meja.

“Maaf, kayaknya Mas salah orang. Saya nggak pesen apa-apa, kok.”

“Oh ya? Tapi, tadi saya dapet order minuman ini untuk meja nomor 20, mejanya Mbak,” ujar si waiters yang—setelah kuperhatikan lebih dari lima detik itu ternyata—berwajah tampan. “Coba Mbak inget-inget lagi. Mungkin gara-gara terlalu serius SMS-an, Mbak sampai lupa dengan pesanannya Mbak.”

Serta-merta, aku menatapnya. Sedikit tersinggung dengan kata-katanya. “Mas pikir, saya udah pikun? Atau, Mas nyindir saya yang lagi SMS-an sama pacarnya sepupu saya?”

Si waiters tampan tapi menyebalkan itu tampak menahan senyum. Dan aku benar-benar menyesali kalimat terakhirku tadi. Bagaimana bisa aku kehilangan kendali hingga mengucapkannya?!

“Sorry, saya cuma bercanda, tadi,” ucapnya, dengan senyum yang tak bisa dia cegah. “Minuman ini dari Mbak Hanny.” Dia menunjuk ke arah Mbak Hanny yang sedang berbicara dengan barista di ujung sana, dan kemudian Mbak Hanny menatapku sambil tersenyum, seakan mengiyakan kata-kata si waiters.

Aku pun berterima kasih dengan cara meminumnya.

“Wah... Mbak ini haus apa doyan? Udah habis aja.” Tak kusangka, si waiters tamp—tidak, maksudku, si waiters menyebalkan itu masih berdiri di dekatku. “Itu minumannya asem banget lho, Mbak.”

“Daripada melakukan dan mengatakan hal-hal yang nggak berguna, mending Mas kembali kerja, gih! Memangnya, Mas nggak malu sama Manajer Mas yang lagi sibuk ke sana kemari itu?”

“Lho, saya kan lagi kerja, Mbak. Kok Mbak bisa bilang apa yang saya lakukan dan katakan itu nggak berguna?”

Aku yakin, aku sudah memasang wajahku di level paling judes dan sinis. Tetapi, si waiters menyebalkan itu malah cengengesan. Kalau aku jadi Mbak Hanny, aku sudah langsung memberinya SP 3.

“Gelasnya... udah boleh saya ambil? Atau, Mbak mau refill?”

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, aku pun segera enyah dari hadapannya. Tuhan selalu menunjukkan dua sisi dalam segala hal, bahkan di waktu yang berdekatan. Sisi baik dan menyenangkan itu Dia tampakkan pada diri Mbak Hanny, dan sisi sebaliknya Dia tunjukkan melalui sosok si waiters itu.

“Mbak! Mbak, tunggu, Mbak!”

Dan aku pun mengabaikan panggilannya, terus melangkah menuju pintu keluar. Namun, setiba aku di ambang pintu, dia berhasil mengejarku dan menahan tanganku.

“Ini, handphone-nya ketinggalan.”

Oh, ya ampun. Aku benar-benar ceroboh. Tapi, haruskah aku berterima kasih kepadanya? Dan aku baru saja hendak mengucapkan terima kasih ketika dia kembali bicara. “Tadi sempet bunyi. Ada SMS masuk. Kayaknya dari pacarnya sepupu Mbak, tuh.”

Meraih ponselku dengan kasar, aku pun lantas pergi tanpa berbasa-basi. Semoga kami takkan pernah bertemu lagi.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang