Petrichor {5}

9.6K 1K 37
                                    

Lima

Ponsel Daraz tak bisa dihubungi sejak sore tadi. SMS pun berstatus belum terkirim. Dengan setengah yakin, aku tetap memenuhi permintaannya untuk bertemu di Rendezvous Cafe malam ini. Daraz pasti datang. Daraz takkan mengingkari janji yang sudah dia ucapkan.

Aku tiba setengah jam lebih awal dari waktu yang disebutkan Daraz. Jika ini adalah sebuah ajakan kencan, maka yang kulakukan bukanlah sesuatu yang benar. Datang terlambat akan terasa lebih benar, menimbang harga diriku sebagai seorang perempuan. Perempuan itu seharusnya ditunggu dan bukannya menunggu, jika tak ingin terlihat menyedihkan. Kecuali, perempuan itu memang tak punya waktu untuk mengasihani dirinya sendiri. Seperti diriku saat ini.

“Saya masih nungguin temen saya, Mas,” ucapku kepada waiters yang sudah dua kali datang menanyakan apakah aku sudah siap memesan makanan atau minuman. Syukurnya, seseorang yang berdiri di sampingku ini bukanlah si waiters menyebalkan itu. Jadi, dia hanya tersenyum paham, kemudian pergi menghampiri customer yang lain.

Suasana kafe malam ini sepi. Mungkin karena sekarang bukan Sabtu malam, dan masih di bawah pukul sembilan belas. Malam Minggu itu aku diajak temanku kemari sekitar pukul dua puluhan,  di mana semua meja terisi penuh, dan ada sebuah band akustik yang tampil sangat memukau di panggung sana. Saat ini, banyak meja yang masih kosong.

Dan... omong-omong, aku belum melihat tanda-tanda kehadiran si waiters menyebalkan bernama Januari itu. Semoga dia tidak ada. Semoga dia sedang libur atau cuti atau pulang kampung ke luar angkasa.

“DOR!” Suara seseorang mengejutkanku. “Nyariin gue, ya?!”

Panjang umur. Januari mendadak muncul sesaat setelah aku memikirkannya. Tidak, tidak, aku tidak memikirkannya seperti ketika aku memikirkan seseorang yang cukup penting untuk kupikirkan. Hanya spontanitas. Titik. Dan seharusnya hal itu tidak kulakukan jika aku tahu dia bakal mendadak muncul dan mendapatiku sedang mencari seseorang.

“Ge-er banget, sih! Aku lagi nungguin temen.”

“Temen apa temen...?” Baru kusadari, setiap kali Januari bertanya dan bersikap sok menyelidiki sesuatu yang bukan urusannya itu, alis kanannya akan sedikit naik, dan kedua matanya akan menatap lawan bicara dengan sengit.

“Bukan urusan kamu.” Aku berusaha tak memedulikannya dengan cara menatapi layar ponsel dan menekan-nekan keypad. “Kerja yang bener, sana! Jangan gangguin customer, apalagi sampai bikin kesel.”

“Selama setahun gue kerja di sini, baru elo yang berpendapat negatif soal pelayanan gue. Mereka semua selalu berpendapat dan bersikap sebaliknya. Kayaknya, ada yang salah sama mekanisme interaksi sosial di dalam diri lo.”

Kata-katanya terdengar lucu sekaligus menyedihkan. “Kepedean banget, Mas! Nggak semua orang suka sama sikap cengengesan kamu yang nyebelin itu, tau?!”

“Itu namanya ramah, Mbak Juli-yang-cantik-tapi-jutek, bukan cengengesan. Bedain, dong!” bantahnya, sambil tersenyum. “Oh iya, Jono apa kabarnya? Setelah keluyuran semalem...?”

“Kamu emang biasa SKSD dan ngajak ngobrol semua customer, ya?” sela-ku, sebelum Januari ngalor-ngidul semakin jauh.

“Ng... nggak semua, sih. Cuma beberapa orang aja, yang keliatannya lagi sendirian dan butuh temen ngobrol sambil nunggu seseorang....”

Aku mendelik. “Kamu pikir aku butuh temen kayak kamu?” Dia malah mengangguk sambil tersenyum. Benar-benar cowok narsis plus kepedean. Dan ketika aku hendak mengusirnya, datanglah seseorang yang sejak tadi kunantikan.

“Juli?”

Ah, syukurlah. Itu Daraz. Aku tersenyum menyambut kedatangannya.

“Kamu... di sini juga?”

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang