Bab 2 : Rendy adalah Rendy

2 0 0
                                    

06.45

"Pagiiii......!!!" Sapaku ceria. Aku sudah muncul di rumah Ernest sepagi ini. Sekali lagi aku melirik arlojiku yang menunjuk pukul tujuh kurang lima belas menit. Aku mengabaikan sarapanku di rumah. Aku bisa mendengar teriakan bunda dan ayah saat aku melesat dari kamar-mencium tangan mereka-keluar rumah tanpa mencomot roti isi selai strawberry yang sudah sengaja dipersiapkan bunda atau susu coklat hangat yang sudah siap diminum. Aku tidak ingin melewatkan kesempatan sarapan bareng Ernest. Setelah kemarin gagal ku temui dengan gaya-baruku.

"Pagiiii Alen." Sapa Ernest yang sedang melapisi tangkupan rotinya dengan selai kacang. Padahal belum mandi tapi Ernest sudah cute abis. Cupit di kedua pipinya menyembul begitu dia tersenyum. Matanya yang setengah ngantuk membuatnya terlihat lucu. Rambutnya yang kecoklatan dibiarkannya acak-acakan. Kaos putih polos itu membalut tubuh Ernest terlihat keren di mataku.

Uuuuh, ganteng banget sih. 

walaupun sebenarnya, apapun yang dia pakai selalu keren di mataku bahkan ketika dia menggunakan baju belel sekalipun.

Sedangkan Rendy sedang sibuk membaca buku, entah apa yang dia baca, di sisi lain meja makan, dengan cueknya seolah hanya ada dia dan buku di tangannya di dunia ini. Yang lain, maksudnya aku dan Ernest adalah udara atau sendok?

Matanya dengan tenang menatap tulisan demi tulisan pada bukunya dan aku tidak mau peduli. Om Dhani, ayahnya mereka sepertinya sudah berangkat bekerja sepagi ini. Karena mobil dinasnya sudah tidak ada di Garasi.

" Sudah sarapan Len?" Tanya tante Riska. Aku mengangguk penuh semangat entah dari mana, mengingat aku belum sarapan. Eh, Ernest adalah semangatku jadi aku memang tidak membutuhkan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan lainnya. Hehe.

" Sudah tante." Jawabku riang, kemudian segera mengambil duduk tepat di sebelah Ernest.

" Mau?" Tawar Ernest, mengajukan rotinya padaku. Aku mengangguk-angguk girang. Seperti anak anjing yang ditawari tulang berbalut lapisan daging penuh lemak. Kaing. Kaing.

" Suapin...." Aku nyengir manja sambil membuka mulutku lebar-lebar, Ernest tersenyum lalu menyuapkan rotinya padaku. Aku menggigitnya dengan senang hati. Rasa roti biasa dengan selai coklat biasa terasa begitu luar biasa kalau makan dari tangan Ernest. Aku akan menolak semua makanan dari restaurant padang atau jepang , kalau ada nasi garam yang datang dari tangan Ernest.

Aku bisa merasakan Rendy melirikku tak suka. Emang aku pikirin!

" Makashiiif" Ucapku dengan mulut penuh roti terenak yang gak ada di toko manapun. Lalu berjingkrak-jingkrak senang.

" Anak pintar." Ernest menepuk-nepuk kepalaku lembut. Aku masih tidak bisa memudarkan senyumku. Pipiku mengembang otomatis. Hatiku menghangat.

" Kemarin kemana kok gak ada?" Tanyaku pada Ernest yang juga melahap rotinya, dia mengernyit.

" kapan?"

" Kemarin sore, sebelum aku berangkat Bimbingan?"

Ernest tampak mengingat-ingat. Kemudian matanya melebar begitu sudah ingat.

" Ada kok, lagi mau Ps di Kamar." Sahutnya sambil mengunyah sisa roti di tangannya dengan santai. " Kenapa emangnya?" Tanya Ernest santai padaku yang mulai tidak santai menoleh kearah Rendy.

#

By the way, apa sih maksudnya Rendy bilang kemarin Ernest nggak ada? Dan membuatku kehilangan kesempatan aku untuk..,ah sudahlah, terlalu menyakitkan mengingat kesempatan indah terlewat gara-gara makhluk menyebalkan ini. Aku menatap Rendy tajam lagi meminta penjelasan. Walau sepertinya dia sama sekali tidak merasa bersalah. Tapi aku yakin dia mengerti arti tatapanku.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang