"Taraaaaaaaaaa," Aku berseru lalu tersenyum lebar,aku bisa merasakan pipiku mengembung melihat potongan-potongan brownis yang berhasil aku buat sendiri dengan tanganku sendiri. Ini serius. Aku buat sendiri. Ya, memang tidak bisa dipercaya, aku bisa membuat ini tanpa menghancurkan apapun, ummm, kecuali Blender maksudku Mixer. Tapi, itu kecelakaan. Aku tidak sengaja menyenggol dan menginjaknya.
Jujur berkat Belinda aku terinpirasi untuk memberikan orang yang kusukai kue buatanku, meski bukan Macaroon seperti yang Belinda berikan tapi ini kue pertama yang kubuat sendiri.
"Aduh Alena, Mixer bunda..." Bunda menatap Mixer kesayangannya sedih, seolah dia baru saja kehilangan sahabat lamanya. Aku menoleh pada Bunda dengan tatapan : 'Bunda Mixer itu masih bisa dibeli dengan uang"
"Nggak apa-apa bun, itu mixer-nya aja yang udah kelamaan bunda udah waktunya beli yang baru." Aku nyengir kecil.
"Ini kan Mixer yang Bunda beli bulan lalu, belum pernah dipake." Diusap-usap Mixer yang patah itu lembut.
Ups. Aku hanya bisa memberikan cengiran merasa bersalah pada Bunda yang sedih terlunta-lunta, ku berjanji akan menggantinya nanti kalau tabunganku cukup.
" Sebelum dingin Alen mau nganter ini ke Ernest ya bunda, nanti kalau ayah dateng Alen bilangin ke ayah buat beliin oven baru buat bunda, dah Bunda!" Aku langsung ngibrit sebelum Bunda mengeluh lagi. Semoga Ernets menyukai hasil perjuanganku ini. Semoga.
#
Sepi.
Tapi pintu depan terbuka. Aku sudah memanggil Ernest lebih dari sepuluh kali juga tante Riska dan om Dhani tapi tidak ada yang merespon. Rumah ini sepi. Aku masuk dengan mengendap-endap, kalau ada maling, malingnya pasti akan tahu kalau aku datang dengan berisik. Aku celingukan di Area keluarga. Sepertinya tidak ada orang sama sekali. Tidak terdengar bunyi-bunyian aneh, atau semacamnya
Tapi tunggu...
"Ren." Panggilku memastikan, begitu melihat topi converse menyembul dari Sofa besar di depan Tivi flat 80 inchi. Semoga benar itu Rendy, bukan maling yang sedang bersembunyi.
"Ada apa?" Aku tersentak mendengar suara serak dan berat, dari sofa yang berada persis di depanku.
"Eh, kamu ada disini?" Aku mengintip sofa raksasa itu dan benar saja Rendy sedang berbaring di sana. Dengan terlentang di bahu kursi dan sepertinya sedang terlelap dengan wajah pucat.
"Menurut kamu?" Sahutnya tanpa membuka mata. Suaranya terdengar lelah dan serak. Sesekali Rendy batuk-batuk berat. Tapi ku tidak ingin tahu apapun.
"Tadi ku panggil-panggil kok nggak nyahut, sampek kering tenggorokanku tau." Sunggutku, kalau dia disini kenapa sama sekali tidak menyahut coba?. "Kering nih.." Aku menyentuh leherku yang kekeringan. Rendy sama sekali tidak membuka matanya. Menyebalkan.
"Emang kamu nyebut namaku?" Sungutnya malas masih berusaha menjawab dengan suara serak.
"Ya seenggaknya jawab kek buat mewakili mereka." Balasku nggak kalah dingin.
Rendy membetulkan posisi tidurnya dengan memasang tangan kirinya di bawah kepala untuk bantal. Sepertinya aku mengganggunya, dia tampak tidak bisa tidur lagi. Wajahnya terlihat gelisah dan terganggu.
"Ren?"
"Hmm?"
"Ernest kemana?"
"Ernest nggak ada...ke Surabaya" Sahutnya singkat. "Nggak dikasih tau ya?" Tanya Rendy membuka sebelah matanya.
Mataku melebar otomatis mendengar pernyataan Rendy .
"Hah?" Aku melongo, kata-kata Rendy terlalu cepat, aku tidak bisa mencernanya dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alena
Novela JuvenilAlena, seorang anak SMA yang bercita - cita menjadi istri Ernest,anak laki - laki yang baik,ganteng,super ramah dan pemilik senyum manis dan tinggal di sebelah rumahnya sejak kecil.Usianya 3 tahun di atas Alena,mereka bersahabat sejak kecil dan Alen...