"lima"

742 98 0
                                        

Hari ini masih pagi. Saat aku terbangun dan membuka kedua mataku, mentari itu belum menggapai kaca-kaca kamarku. Aku menguap lebar, lelah sekali karena jadual latihanku menjadi sedemikian padat. Becky ? dia satu-satunya orang yang tidak aku ajak bicara, meski seluruh anggota klub sudah berkali-kali memberiku semangat untuk olimpiade yang akan aku hadapi. Aku masih sering melihatnya termenung dan sedih tapi aku mengkondisikan fisik dan batinku seratus persen untuk agenda bulan ini. Bukan berniat melupakan, hanya saja.. dia bilang ini yang terbaik kan ? Then, I have nothing to lose.

"selamat pagi Nona, Nyonya besar ingin berbincang dengan Nona Freen" ucap salah satu pesuruh kepadaku.

"kebetulan sekali aku bangun pagi" timpalku.

Aku berjalan keluar dari kamarku menuju meja makan, walau tidak terbiasa untuk sarapan pada pagi hari dan terlebih bersama Ibu, aku tetap menghormati beliau sebagai perantaraku lahir ke dunia ini. Aku menarik kursi lantas duduk, beliau duduk disebrangku namun belum menatapku. Seorang pesuruh yang lain datang lalu menuangkan susu pada gelasku.

"ada apa ibu ?" tanyaku pada akhirnya.

"tidak ada yang terlalu penting" jawab Ibu. I can't believe this.

"lantas mengapa memanggilku ?" tanyaku lagi.

"memangnya tidak boleh ? kau itukan anakku" jawabnya sinis.

"seharusnya kalau ibu memang tidak ikhlas, tidak perlu menambahi embel-embel kalau aku ini anak ibu" tuturku. Ibu hanya tersenyum. Aku meminum susu dan ibu nampak melihatku sekilas. Beliau mengambil roti dan mengoleskan selai kacang diatasnya.

"kemarin temanmu datang"

Aku tersedak hingga hampir mati rasanya. Ibu terkejut melihatku yang bereaksi tak normal itu. Para pesuruh lantas segera membantuku. Mereka ambil gelas dari tanganku dan mengusapkan bibirku yang jelas belepotan karena susu. Aku menghalau mereka dengan halus lantas membetulkan posisi dudukku.

Apa kata Ibu ? teman ? Sepanjang 28 tahun aku hidup dalam istana ini, belum ada seorang teman pun yang aku ajak menginjakkan kaki kemari. Bukan karena Ibu. Sejujurnya beliau bukan orang yang galak. Jangankan membentak, peduli akan aku dan segalanya tentang aku saja tidak. Aku bisa saja membuat pesta setiap malam namun aku tetap menghormati Ayah sebagai kepala keluarga kami, aku tidak mungkin membawa orang-orang sembarangan kedalam rumah. Tapi temanku ? datang sendiri kemari ? aku tidak percaya.

"kau tidak mau tau siapa ?" Ibu justru bertanya.
Mengapa jantungku malah berdegup kencang seperti ini ? Mungkinkah ? Tapi mustahil ! Bagaimana mungkin ?!

"umm.. apakah dia wanita blasteran?" tanyaku.

"ya. Teman satu klub anggar-mu" jawab Ibu. Aku menelan ludahku.

Ibu menggigit roti lapisnya. Aku benar-benar tidak tau harus berkata apalagi. Mengapa bisa Ia datang ? Apa alasannya datang ? Seharusnya kalau ada klarifikasi, itu adalah denganku yang terutama. Ibu selesai mengunyah rotinya dan menyeka ujung bibirnya.

"tolong kalian tinggalkan kami" ucap Ibu pada seluruh pesuruh yang berada pada ruang makan kami pagi itu. Aku merasakan hal yang buruk akan terjadi.

Ibu menaruh lagi rotinya dan belum berhenti mengunyah. Aku hanya bisa tertunduk, apakah Becky susah menceritakan semuanya ?

"jadi kalian memang ada back-street selama ini ?" tanya Ibu.

"Semua aku lakukan karna ayah dan ibu yang tidak pernah perduli dengan perasaanku" jawabku cepat.

"kau hanya punya dua jawaban; iya atau tidak" timpal Ibu. Aku mengangguk

"ibu ulangi, apa kalian back-street ?" tanya Ibu lagi. Nada suara Ibu masih tetap sama; datar.

My Last Decision (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang