Bagian 4

10 5 0
                                    


Pemandangan di depan sana sungguh luar biasa, membuat Jiya menerka-nerka nasib kehidupan seperti apa yang akan ia terima selanjutnya. Jiya tahu bahwa kejadian itu adalah hal lumrah karena dirinya sering melakukan hal itu dengan sang adik ketika di kampung, malah lebih parah dari apa yang ia lihat sekarang. Meski merasa ngeri ketika membayangkan cobaan apa yang akan dihadapi, ada sesuatu yang membuat Jiya merasa sedih, tak bisa dimungkiri bahwa dirinya merindukan momen itu, momen pertengkaran dengan sang adik.

“Mama! Beneran, tadi Juan lihat Abang nonton video parno!” Teriakan remaja laki-laki bermata sipit itu membahana, memenuhi seluruh ruang tengah. Bukan, bahkan bisa memenuhi seluruh ruangan di rumah itu saking nyaringnya.

“Lu bisa diem, gak?” Juna mencoba untuk membungkam mulut adiknya. “Cuan, lu kudu diem. Gue kasih duit, sumpah!” Juna mengangkat tangan selayaknya saksi yang bersumpah di persidangan.

Juan memberontak, berusaha melepaskan diri dari Juna. Cara paling jitu yang ia tahu adalah meludahi tangan kakaknya. Tak usah heran, begitulah Juan, selalu punya ide konyol saat terdesak. Kelakuan remaja berusia lima belas tahun itu sering membuat keluarganya geleng-geleng kepala, bahkan sang kakak sampai memanggil Juan dengan sebutan 'Cuan' dengan alasan tak mau namanya dimirip-miripkan dengan bocah jail itu.

“Sialan, lu ludahin gue? Jigong itu mengandung bakteri, apalagi yang keluar dari mulut lu.” Juna mengibas-ngibaskan tangannya sembari menahan mual karena jijik. “Kudu divaksin ini, gue takut lu nyebar virus. Najis!”

“Lagian, ngapain Abang bekep mulut Juan? Tadi Juan bilangnya video parno padahal, bukan porno. Dih, gitu sih kalau di pikirannya keburukan mulu, orang mah nggak ada benernya.”

Jiya masih terdiam memandang pertikaian di sana. Entah, jika pertikaian itu tayang di MMA sudah masuk berapa ronde, yang pasti Jiya melihat dari awal—mulai dari saling melempar bantal, berkejar-kejaran, saling tendang bokong, dan sekarang sedang terjadi adu mulut, tak terhitung ada berapa umpatan yang sudah mereka lontarkan. Pertengkaran unik yang kental dengan rasa persaudaraan membuat Jiya ingin mengurungkan diri untuk bekerja di tempat itu, tetapi ia akhirnya tersadar pada tujuan awal kenapa ia harus bekerja.

“Hey, kalian berantem aja!” Dio mendekati dua laki-laki yang rusuh tadi. Ia tersenyum ke arah Juan dan Juna secara bergantian. “Kalian udah tua, tidak usah bertengkar karena video. Nanti Kakak kasih.”

“Jah, makin sesat aja nih, kalau ada Kak Dio kemari. Betewe, itu siapa?” Juan mengendikkan dagu ke arah Jiya yang masih mematung di tempat tadi. “Pacar baru Kak Dio? Dih, playboy cap kaki tiga.”

“Sembarangan. Itu temenku, dia mau kerja di sini. Kata mama kalian, dia disuruh jagain kalian yang udah mirip kayak Tom and Jerry,” jelas Dio. Kemudian, ia melambaikan tangan pada Jiya, memberi isyarat agar perempuan itu duduk di sampingnya. “Dia namanya Jiya.”

“Gue nggak ada tanya, Kak. Jadi nggak usah dikenalin.” Juna membalas dengan dingin, kemudian melangkah pergi dari ruang tengah, menaiki anak tangga dengan perlahan menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.

Sikap Juna saat bertengkar dengan Juan dan sikapnya yang barusan sungguh bertolak belakang. Ia seperti ingin memberi sekat pada orang baru. Juna tak suka orang baru, juga tak suka akan keputusan sang mama yang selalu tiba-tiba dan tanpa meminta persetujuannya. Bagaimanapun, ia merasa bahwa dirinya sudah dewasa, tak membutuhkan siapa pun untuk menjaganya.

“Masih tidak berubah kelakuan itu anak.” Dio menggeleng-geleng sembari memandangi tubuh Juna yang perlahan menjauh. “Mama mana, Cu?” Kini perhatiannya tertuju pada Juan yang sudah asyik menatap layar ponsel.

Tak ada jawaban, Juan sibuk bermain game online yang sedang digandrungi banyak remaja. Ia mendengar pertayaan Dio, tetapi enggan menjawab karena fokus pada permainan. Begitulah Juan, tak dapat diganggu jika sudah fokus, demi kemenangan katanya.

Life Story of Jiya | Jungwoo | On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang