Bagian 5

6 5 0
                                    

Selamat membaca, jangan lupa vote dan komennya buat 3J (Jiya, Juna, dan Juan)
***

Jiya mengepalkan tangan, lalu melayangkan tinjunya ke udara. Kalau saja ia tak harus mencari cara untuk menjemput Juan, mungkin ia akan segera membersihkan rumah mewah itu sekali lagi untuk menghilangkan kekesalannya. “Ige eotteokhae? Aku harus jemput si Bocah tengil itu dengan cara bagaimana?” Jiya bicara pada dirinya sendiri karena merasa sangat kebingungan.

Tak berapa lama, sebuah ide muncul, tetapi Jiya tak yakin dengan itu. Pasalnya, apa yang baru saja Jiya pikirkan adalah meminta bantuan Juna, si Manusia Dingin yang persis seperti kulkas berjalan. Namun, situasinya mendesak saat ini, tak ada pilihan lain bagi Jiya selain menggadaikan segala gengsi untuk kelangsungan hidupnya ke depan nanti.

Pikiran Jiya berkecamuk cukup lama, tetapi akhirnya ia memutuskan untuk segera menemui Juna. Dengan langkah pelan, Jiya menaiki anak tangga menuju kamar si Tuan Dingin di lantai dua. Perempuan berhidung mungil itu menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya perlahan sebelum mengetuk pintu ruangan yang bertuliskan 'Kenandra Juna Wicaksana' di bagian atasnya.

Dengan keberanian yang terpaksa dikumpulkan, Jiya mulai mengetuk pintu. Namun, tak ada tanggapan dari dalam. Ia pun mengetuk sekali lagi dengan tempo cepat dan ketukan yang lebih kuat dari yang tadi, hingga suara ketukannya terdengar lebih nyaring. “Permisi, Mas. Apa Mas Juna ada di dalam?” Jiya bicara setengah berteriak, memastikan orang di dalam sana baik-baik saja. “Mas! Mas Juna gak kenapa-kenapa, ‘kan?” tanyanya dengan penuh kekhawatiran.

“Apaan, sih?! Berisik banget!”

Jiya memgembuskan napas lega saat mendengar sahutan dari dalam. Setidaknya, ia tahu bahwa Juna masih hidup dan ia tak perlu menjadi saksi untuk kematian seseorang seperti drama yang selama ini dilihatnya. Dalam drama-drama yang Jiya lihat, jika orang kaya ditemukan tewas tanpa alasan, akan ada banyak penyelidikan yang dilakukan, dan anehnya bayangan-bayangan adegan itu sudah menari-nari di benak Jiya. Ya, begitulah perempuan penyuka K-Pop itu, otaknya selalu dipenuhi imajinasi.

“Lu mau apa?”

Jiya terkesiap saat pintu tiba-tiba saja sudah terbuka. Ia semakin terkejut saat melihat sosok di hadapannya yang bertelanjang dada. Sontak, Jiya menutup wajah dengan kedua tangan. “Ih, parno.”

“Lu ketularan Cuan. Gak usah lebay. Lu mau apa? Ganggu orang lagi mandi aja.” Juna bicara dengan ketus. Sementara, wajahnya begitu datar, nyaris tanpa ekspresi. “Kalau gak penting, mending lu pergi!”

Laki-laki jangkung itu hendak menutup pintu, tetapi Jiya segera menahan. Suasana hening sejenak, sesaat setelah Jiya membuka mata dan mengangkat wajahnya demi melihat ke arah Juna. Tak ada percakapan, melainkan hanya adegan saling pandang dari keduanya. Demi apa pun, Jiya gugup. Sementara itu, Juna tak peduli, yang ia tahu adalah ... memanggil sama dengan ada hal sangat penting, jika tidak demikian, tentu saja ia akan sangat marah karena waktunya terbuang sia-sia.

“Ngg ... anu, Mas. Hmm ....” Jiya merasa ragu untuk memulai. Kemudian, ia meneguk ludah untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering. “Hmmm ... anu, Mas. A-anu—"

“Anu anu, apa?!” Juna mulai kehilangan kesabaran. Itu memang Juna–yang selalu berusaha bersikap tak acuh,  yang suka menutup diri, juga selalu menyembunyikan sifat asli dari orang baru.

“Mas Juan minta jemput, tapi aku bingung mau jemput pakai apa, motornya dibawa Bi Asih.” Akhirnya, kalimat itu meluncur lancar dari bibir mungil Jiya. “Aku harus bagaimana, Mas?”

“Udah? Itu aja?” Pertanyaan Juna begitu singkat dan terlihat seperti bentuk lain dari tidak peduli.

Jiya mengepalkan tangan. Ia berusaha menahan diri agar tak tersulut emosi. Jiya berpikir, andai ia punya sihir, tentu dirinya akan menyihir Juna menjadi cacing, sejenis biji-bijian, atau apa pun itu yang akan membuatnya puas dan membuat seluruh amarah yang menggunung sejak tadi pagi menjadi hancur.

“Mas, aku ini serius. Mau diapakan adikmu itu?” Kali ini, Jiya mulai memberanikan diri meluapkan sedikit emosi, ya, sedikit saja. Jika terlalu banyak, mungkin ia akan meledak dan mungkin saja esok hari ia sudah kembali ke habitatnya.

“Lu jemput pake mobil coba.”

“Mas Juna wa ....” Jiya sengaja menggantung kalimat, lebih tepatnya ingin mengubah kalimat. Baru saja ia akan menanyakan kewarasan Juna, tetapi urung. Ia lebih memilih untuk menarik napas dalam kembali, kemudian berkata, “Mas, aku nggak bisa mengendarai mobil.”

Juna mematung beberapa saat, ia sungguh malas menanggapi hal yang sangat sepele itu. Namun, Juna tak ada pilihan lain selain berkata bahwa dirinyalah yang akan menjemput Juan. Usai mengatakan itu, ia segera menyuruh Jiya pergi karena tak mau berlama-lama untuk berbasa-basi.

“Mas Juna terbaik!” ucapnya, meniru logat di serial Boboi Boy. Lalu, ia mengangkat kedua jempol dan tersenyum kenes. Rasa kesal yang tadi bercokol di hatinya perlahan berkurang. “Makasih, Mas.”

“Gak usah sok manis, gue geli.”

'Idih, aku juga sebenernya nggak sudi senyum begini, tapi karena kamu tuan di sini, juga karena kamu mau bantuin aku, makanya aku begini. Kalau nggak mah ngapain susah-susah senyum? Mending senyum buat Kak Dio.' Jiya mengomel dalam hati.

Semua perlakuan yang Jiya terima, ia anggap sebagai tantangan baru untuk meraih mimpi. Menahan hal menyakitkan sendirian sudah biasa bagi Jiya, ia yakin bahwa segala sesuatu akan terlewati. Bahkan, kesedihan dan segala bentuk rasa yang menyesakkan hanya akan menjadi kenangan suatu saat nanti. Jadi, Jiya memutuskan untuk bersabar sedikit lebih lama lagi.

“Lu ngapain masih di sini? Minggir! Gue mau keluar.”

Jiya tersadar dari lamunan ketika mendengar ucapan Juna yang lebih mirip seperti bentakan. “Mas Juna mau ke mana?” tanya Jiya dengan nada pelan. Ia merasa ada yang salah di sini, tetapi entah, pikirannya masih belum kembali seutuhnya.

“Lu bego apa gimana? Katanya gue disuruh jemput Cuan?” hardik Juna. Ia mengangkat satu sudut bibir, masih belum percaya bahwa ada perempuan yang sebodoh Jiya–tentu saja ini bodoh versi Juna, karena sesungguhnya Fayumi Najiya itu lulusan terbaik di sekolah, otomatis sudah teruji dan terbukti bahwa perempuan itu memang pintar.

“Mas Juna serius mau jemput Mas Juan?” tanya Jiya lagi. Ia berusaha untuk menahan diri dengan menggigit bibir bawahnya.

Sementara itu, Juna hanya berdecak, lalu melangkah pergi. Ia tak peduli pada Jiya. Ia terus saja menggerutu dalam hati seiring kakinya yang menuruni anak tangga satu per satu.

Tak tahan dengan semua kegilaan itu, Jiya pun membuka mulut. “Mas Juna belum pakai baju!” teriaknya, lalu terkikik geli.

Jadi, bisa terlihat siapa yang paling bodoh di sini?

Jiya yang sedari tadi hanya terkekeh, tak kuasa lagi menahan. Akhirnya, tawa perempuan itu meledak hingga matanya seperti akan mengeluarkan air saking lucu kejadian barusan menurutnya. Demi Pluto yang sudah tak diakui sebagai planet, Jiya ingin berguling-guling  sembari meledek Juna yang tadi menyebutnya 'bego'.

Juna menepuk dahinya sendiri, lalu memindai tubuh dari atas hingga ke bawah. Hanya ada celana buntung yang melekat di tubuhnya. Ia baru ingat bahwa saat menemui Jiya barusan, ia baru selesai mandi. ‘Sialan!' umpat Juna dalam hati. Namun, untuk menutupi rasa malu, Juna membalas Jiya dengan nada bicara yang dibuat sesantai mungkin. “Gak usah ketawa, gue emang sengaja mau keluar begini. Gaya yang lagi viral ya begini! Jadi, lu gak usah peduli!”

Jiya terdiam, tetapi ia berjanji bawa tawanya akan dilanjutkan sebentar lagi, setelah Juna benar-benar pergi.

***
Bersambung ....

Life Story of Jiya | Jungwoo | On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang