Pagi ini seperti pagi pagi sebelumnya. Kokok ayam menandakan fajar mulai menyingsing kalah dengan suara gedoran dari luar kamar.“Mbak bangun. Bangun udah subuh. Cepet solat dan jangan lupa jemur pakaian kemarin.” Suara ibuku lantang membangunkanku.
“Iya bu. Udah bangun kok aku.” Sahutku agar Ibu tak makin keras menggedor pintu. Ku tengok Rosie dan Lea yang masih terlelap.
Ku langkahkan kaki menuju dipan Rosie. Perlahan elusan lembut ku berikan pada lengan Rosie
“Ros bangun, Ibu udah bangun.”
“hmmmmm.”
“Ros, bangun yuk, solat. Kamu tau kan kalau ibuk sudah gedor pintu jangan sampai terjadi dua kali.” Ujarku merayu agar Ia segera bangun.
“Iya ini bangun.” Tapi matanya tetap memejam.
“Oke yang penting aku udah ingatin kamu ya.” Buru buru Ia buka mata perlahan. Aku lega akhirnya ia bangun. Ku sunggingkan senyum dan Ia membalas senyumanku. Kami cukup tau diri untuk tak menimbulkan bencana dihari yang masih amat pagi ini.
kunci ku putar untuk membuka pintu kamar kami. Aku melangkah menuju mushola untuk solat subuh. Disusul Rosie yang berjalan dibelakangku. Setelah solat aku langsung melakukan tugasku untuk menjemur pakaian yang ku lupakan kemarin, sementara Rosie mulai membangunkan Lea. Ibuku memasak air untuk mandi Lea. Selesai menjemur pakaian aku langsung mandi dan bersiap dengan rapi. Sengaja aku langsung memakai pakaian sekolahku agar tak ada perintah susulan dari ibuku.
Aku melangkahkan kaki ke meja makan. Pemandangan disana sungguh membuat emosiku memuncak. Pemandangan Ibu menghadap laptopnya sementara Lea duduk dikursi sebelahnya dengan menahan ngantuk, lagi lagi pekerjaan Ibu yang menjadi fokusnya dipagi yang hectic ini. Ibu menyadari kehadiranku.
“Kok kamu udah pake seragam? Lea belom mandi. Mandikan dulu keburu Mak Mi jemput.”
“Aku nanti telat Bu.”
“Ga bakal kalau kamu ga lelet dan mulai mandiin Lea sekarang. Rosie baru selesai mandi,buruan mandiin. Lagian ngapain kamu kunci pintu kamarmu. Udah berapa kali ibu bilang jangan kunci,buka aja. Ibu susah masuk buat ngurusin Lea.”
“Kamar ku kunci agar tertutup dan ga ada yang masuk sembarangan buk, kami butuh privasi. butuh merasa aman salah satunya dengan mengunci pintu.”
“Halah anak kecil tau apa kamu soal aman. Udah sana mandiin Lea.”
Ku gendong Lea menuju kamar mandi. Ku mandikan Ia. Wajah cemberutnya yang menahan kantuk sungguh lucu. Ku ajak ia melantunkan lagu favoritnya agar Ia segera menyetujui untuk segera menyelesaikan mandi ini. Setelah mandi ku pakaikan baju dan ku ikat rambut indahnya. Rosie membantu dengan menyerahkan karet kecil padaku. Bagi kami rambut Lea adalah sarana kesenangan akan impian memiliki rambut panjang nan indah.
Kami bertiga menuju meja makan. Sama seperti hari sebelumnya, bagianku adalah makan bersama Lea. Untungnya anak ini tak pernah rewel perkara makanan. Setelah makan selesai ku taruh piring kotor di bak cuci piring. Nanti sajalah sepulang sekolah aku urus. Aku harus mengejar angkot agar tak terlambat menuju sekolahan. Hari ini aku menantikan penjelasan Gemilang.
“Ros, aku berangkat dulu ya. Kamu nanti sepulang sekolah ga usah cuci piring kalau pecah Mba lagi soalnya yang bakal dimarahin.” Ujarku pada Rosie yang masih memakan sarapannya.
Rosie memang suka lama kalau makan. Ringisan dan anggukan tanda persetujuannya tentang urusan cuci piring. Beberapa hari lalu karena mungkin Rosie kasihan denganku Ia sukarela mencuci piring sepulang sekolah dan karena dia masih anak anak jadilah ceroboh dengan memcahkan gelas. Tentu yang tertua lah yang salah. Ayah sampai menelpon dan ceramah panjang kalilebar via telpon jadi santapan makan malam kala itu.Ku cium Lea dan ku lambaikan tangan padanya, Ia hanya tersenyum dan kembali fokus pada coretan HVS. Aku menuju kamar Ibu. Ku ketuk perlahan.
“Bu, Aku berangkat ya.” Bunyi pintu dibuka menyahuti sapaanku.
“Iya. Semua sudah beres?”
“Udah. Rosie Lea udah selesai. Cucian piring nanti aja sepulang sekolah aku kerjain.”
“Oke. Ini sangunya. Jangan banyak gaya di sekolah.” Ujar Ibu dengan menyerahkan selembar uang coklat dan selembar uang bergambar patimura.
Ya enam ribu rupiah adalah saku yang setiap hari aku terima. Untuk tahun 2008 dengan uang saku segitu sungguh mau bergaya seperti apa coba. Empat ribu untuk angkot pulang pergi dan dua ribu untuk jajan saat istirahat siang hari. Tak ku jawab perintah Ibu, aku hanya mencium tangan Ibu dan segera berlalu dari rumah.
Aku jalan kaki sepanjang 100 meter menuju jalan raya. Sesampainya dipinggir jalan, ku lihat Ifa melambaikan tangan ke arahku. Disampingnya sudah ada angkot yang menunggu. Lambaian itu menandakan agar aku segera menyusulnya agar bisa naik angkot. Aku segera berlari.
“Ayo Cepetan Ya. Ndek njero onok Ge wisan.” Bisik Ifa saat aku semakin mendekat. Mataku melotot, Ia terseyum menggodaku.
“Yo terus lapo nek onok Ge ndek njero heh?” ujarku sewot
“Halah lapo lapo iku raimu kesengsem kok yo sek takok lapo.” Jawab Ifa sambil menarik tanganku untuk segera naik angkot.
Angkot daerah kami berbeda dengan angkot di kota. Mobil yang dipakai adalah mobil berjenis ELF. Seperti mobil carry tapi lebih besar dengan posisi duduk menghadap depan,bukan menghadap pintu. Saat aku masuk ku edarkan pandangan untuk mencari kursi kosong, sampai menemukan sosok Gemilang. Ia duduk dideretan kursi paling belakang. Ia tersenyum padaku. Aku balas senyumnya. Sayangnya deret bangku belakang sudah penuh. Tersisa bangku di depanku, tepat belakang pak supir. Ifa duduk disebelahku.
Namanya Gemilang. Gemilang Maharajasa.
Bukan, aku bukan mengenal ia secara dekat dari lama. Hanya tahu namanya saja. Ia menjadi perbincangan sejak MOS berlangsung saat kami kelas X. Dia jenis anak lelaki yang ramah. Yang tak segan untuk mengulurkan bantuan untuk siapa saja. Tentu saja wajah tampan miliknya lah yang makin membuat Ia semakin dikenal dari adik kelas sampai kakak kelas. Jadi siapa yang tak mengenal dia kan. Bahkan berlomba untuk dekat denganya.
Kedekatan kami mulai tercipta saat kami tak sengaja saling mengetahui lawan bicara dikolom chat pada aplikasi friendster. Aplikasi kekinian yang sedang booming saat ini. Yang menggunakannya harus disela sela pelajaran TIK.
Dia memiliki kekasih. Namanya Dewi,kakak kelas kami. Tapi selayaknya anak lelaki berparas tampan, ga hanya Mbak Dewi perempuan yang berada disekitarnya. Ada beberapa yang juga dekat dengannya. Baik itu kakak kelas seperti Mbak Dewi ataupun adik kelas.
Minggu lalu,Saat Mba Dewi datang ke rumah sepupuku dia memanggilku. Dia menuturkan bahwa Gemilang sebenarnya menyukaiku. Tentu saja aku kaget, dan takut. Tapi Mba Dewi bilang aku tak perlu khawatir karena mereka sudah berpisah. Mba Dewi sadar bahwa baginya cerita cinta dengan Gemilang adalah kisah cinta yang tak serius, cinta monyet katanya. Masih dari Mba Dewi, Gemilang selama ini dekat dengan siapa saja hanya untuk memancing reaksiku. Yang benar saja. Aku masuk dilingkungan OSIS menahan diri dan menganggap ga pantas untuk dekat dengannya kenapa malah Mba Dewi berpendapat demikian.
Mba Dewi masih kekeuh membeberkan fakta fakta kecil tentang sikap Gemilang yang berharap di notice keberadaanya olehku. Dan aku memang tercengang kala itu. Seperti fakta bahwa Gemilang selalu pulang telat dihari kamis karena menungguku ekskul, atau saat Gemilang mentraktir Ifa agar aku juga turut serta makan bersamanya atau kesediaanya Ia menerima telfon dirumahnya ga penting ku setelah pulang sekolah. Mbak Dewi tau dan menunjukkannya padaku. Tapi tentu saja aku tak akan semudah itu percaya. Sampai Mba Dewi bilang bahwa ada fotoku didalam dompet Gemilang. Dan kemarin saat Ge mentraktir kami, aku dan ifa,disitulah aku melihatnya. Fotoku ada di dalam dompet lelaki itu. Jadi, kemarin saat telfon tak penting itu aku beranikan diri menanyakan padanya dan dia berjanji untuk menjelaskannya hari ini. Masalahnya apakah aku punya keberanian untuk berada dekat secara fisik dengannya dan membahas hal yang baru pertama kali ku rasa. Ah memikirkannya saja membuatku merasa banyak kupu kupu bertebangan pada perutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yasmine
RomanceBahwa setiap senyum memiliki cerita Bahwa setiap tangis memiliki kisah Karena sebetulnya bukan orang lain yang menanamkan rasa sakit padamu melainkan dirimu lah, kamu yang memupuk lalu tumbuh subur dan mengakar hingga tak mampu lagi bertahan. Mari M...