Sampai rumah, pintu depan masih terkunci. Tandanya Rosie belum pulang ke rumah. Mungkin Dia pulang ke rumah Eyang yang berjarak 200m saja dari rumah.
Segera ku tuju kamar, berganti baju. Selepasnya, aku menuju dapur. Membereskan semua yang ada disana sebelum ibu pulang.
Aku segera menelpon Ge dengan telfon rumah seperti biasa. Tahun ini, Handphone menjadi barang mewah dan masih langka. Yang memiliki Ibu dan Ayahku saja.
Hatiku berdetak keras saat bunyi tut tut pada telfon rumah ini. Sayangnya sampai dering ke delapan tak ada yang mengangkat. Ku matikan telfon ini. Ku tekan tombol redial. Aku coba telfon sekali lagi.
"Halo Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam. Bisa bicara sama Ge, Kak?"
"Ge baru aja berangkat main. Ini Yaya ya?"
"Wah kok tau Kak?"
"Selain Dewi ya siapa lagi yang tiap hari telfon Ge." ucap lawan bicara diseberang sana diiringi tawa
"Oh. Kirain Ge cerita Kak. Hehehe."
"Ge mah ga suka cerita."
"Oh gitu ya kak. Kak Dewi sering telfon ya Kak sampai hafal begitu?" tanyaku dengan perasaan campur aduk
"Sering sih. Tapi beberapa minggu ini udah ga pernah."
"Oke Kak. Makasih ya. Salam ke Ge. Bilang Yaya telfon."
"Okay Ya."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Ku tutup telfon ini. Sungguh perasaanku campur aduk. Aku paham bahwa Mba Dewi pernah dan mungkin sekarang masih dekat dengan Ge. Tapi ga salah kan kalau saat ini aku ga suka bahkan ada rasa ga rela kalau mereka masih dekat. Aku kan pacarnya.
Daripada sibuk dengan perasaan aneh yang baru aja aku rasakan, aku segera menyibukkan diri dengan sisa tugas sekolah yang belum aku selesaikan. Aku mencoba konsentrasi untuk menyelesaikan tapi kenapa rasanya susah sekali.
Ketukan dipintu menyadarkanku. Ternyata aku tertidur. Dan parahnya tugas tugas itu hanya 1 saja yang terselesaikan. Segera aku ke depan untuk membuka pintu.
"Lamanya sih buka pintu, kamu tidur Mbak?" ujar Ibuku
"Ketiduran bentar bu."
"Ibu tuh udah berkali kali bilang. Ga boleh tidur habis ashar. Dosa. Masuk neraka. Kamu dikasih tau ngeyel aja. Diulangi terus."
"Ga sengaja Bu. Tadi ngerjain tugas. Eh ketiduran."
"Nah kan masih ngeyel. Durhaka kamu ngebantah orang tua terus."
"Bukan ngebantah Bu, aku menerangkan posisiku. Ga tidur dengan sengaja."
Plaaakkkk. Panas ku rasa dipipi kananku. Ku pastikan akan merah lagi. Semoga ga akan membekas sampai esok hari.
"Pinter kamu sekarang ya, bantah Ibumu terus. Sudah berapa banyak dosa yang kamu dapat sesore ini hah!" Ibu masih meneruskan kekesalannya. Sementara aku hanya bisa diam.
Aku tau kok kalau sore selepas Ashar ga boleg tidur dan aku tadi beneran ga niat tidur sama sekali. Aku ketiduran. Ku gigit erat pipi bagian dalam agar aku tak tergoda untuk menjawab tuduhan tuduhan dari Ibu.
"Udah ga bisa bantah lagi kan kamu? Dasar ga tau diri. Udah di sekolahin masih aja otaknya ga dipake!" masih berlanjut ternyata. Air mataku ku tahan agar tak semakin deras. Harusnya aku sudah kebal dengan perlakuan kecil ini tapi entah kenapa selalu tak mampu aku menahan air mata yang mengalir.
"Diem terus nangis gitu aja terus bisamu. Udah sana beresin rumah. Lea biar tak jemput."
"Iya Bu."
Aku segera mengambil sapu. Menyapu dan mengepel seluruh rumah. Syukur tadi dapur sudah aku bereskan hingga Ibu ga perlu makin marah mengetahui rumah.
Setelah beres menyapu dan mengepel segera aku ke depan untuk menyiram tanaman.
Ku lihat Rosie berlari dari jauh. Seragamnya belum tergantikan, wajahnya kusam. Ku hela nafas dalam. Masalah baru.
"Mba, Ibu udah pulang?" tanya nya dengan suara ngos ngosan. Aku hanya mengangguk
"Matek Oen." ujarnya dengan menepuk jidat. Aku tetap menyiram tanaman meski sudah rata tersiram. Rosie masuk ke dalam. Tak selang lama ku dengar tangisan Rosie. Ku hela nafas. Tak akan tega juga aku. Segera ku matikan kran ku lempar begitu saja slang panjang ini. Aku berlari ke dalam.
Rosie sudah meringkung dan Ibu berkacak pinggang.
Ku peluk Rosie, ku ajak dia berdiri. Ku papah ke kamar mandi. Ku suruh Dia mandi dan menenangkan diri.
"Kamu mau jadi pahlawan hah?" teriak Ibu. Ternyata belum usai.
"Kamu jadi kakak juga ga becus. Kerjaanmu ngapain aja sih sampai adekmu pulang dengan keadaan kaya gitu hah?"
Sungguh mana ku tau kegiatan Rosie, aku ga bisa kan bertanggung jawab pada hidup adekku.
"Kenapa diam? Ngaku kamu kalau udah ga becus?"
Bhuuugggh. Sapu yang disamping Ibu melayang pada paha kiriku. Pipiku masih nyeri masih ketambahan sama sapu. Tapi yang lebih nyeri lagi adalah hatiku. Bahkan mungkin jiwaku. Dan diam adalah satu satunya jalan agar semua cepat selesai
"Dosa apa aku punya anak ga ada yang becus. Udah dilahirkan ga ada yang berguna, ga ada yang berbakti."
Ibu masih meneruskan khotbahnya ternyata. Baiklah aku akan menebalkan telinga. Semoga Rosie lama didalam sana. Jangan sampai Dia ikutan kena.
"Ibu jemput Lea dulu, nanti malam Ibu ada rapat. Kamu jaga adek adekmu. Awas kalau kalian berulah."
Akhirnya. Ibu melangkah keluar dan menutup pintu dengan keras. Segera aku ke Rosie.
"Ros, keluar. Cepet ganti baju. Jangan sampai Ibu pulang kamu masih didalam sana." ucapku didepan pintu kamar mandi. Bunyi pintu terbuka merespon sebagai jawaban.
"Maaf ya Mba. Gara gara aku Mbak yang kena marah."
"Dah biasa. Kamu gapapa? Ibu ga mukul kamu?"
"Ga kok. Cuma ngomel aja."
"Alhamdulillah. Udah segera ganti baju sana."
"Mbak, aku tadi ke rumah Eyang. Tapi lupa ga bawa baju ganti. Disana ada baju Lea aja. Jadi aku tetep pake baju ini. Dikira Ibu aku main dan ga ganti. Ibu ga percaya. Aku suruh tanya Eyang malah marah marah. Maaf ya."
"Gapapa. Mungkin emang Ibu lagi ada masalah." ucapku. Aku tak mampu menenangkan Rosie sementara aku sendiri masih takut dan gelisah dengan perlakuan Ibu.
"Iya kali ya. Tadi Ibu bilang nanti rapat lagi ya, mungkin emang ada masalah. Tapi ya kok guru rapatnya malam malam ya Mba."
"Ga tau aku Ros. Udah sana ganti baju." Rosie segera berlari ke kamar.
Kejadian seperti ini sebenarnya bukan yang pertama kali di rumah ini. Cacian, makian, tamparan, cubitan dan pukulan langganan aku terima.
Entah keuntungan atau kerugian. Yang mendapatkan hanya Aku saja. Rosie hanya mendapat cacian. Sedangkan Lea tak mendapat apa apa. Karena ya Dia masih kecil, hukuman untuk kekeliruan dan kesalahannya menjadi jatahku.
Pernah aku melaporkan tindakan Ibuku ke Ayah tapi Ayah hanya diam saja. Dan beberapa hari kemudian aku mendapat ceramah disusul kemarahan Ibu. Jadi seperti percuma saja. Diam jadi solusi satu satunya yang bisa aku lakukan saat ini.
Aku segera ke kulkas mencari es batu untuk mengkompres pipi dan pahaku agar tak membekas. Sedikit banyak bersyukur Malam ini Ibu akan rapat. Meski aku juga sempat ragu sama dengan yang dipikirkan Rosie, rapat apa malam malam begini bagi seroang guru tapi ku telan keraguanku. Dan malam ini akan menjadi malam yang panjang. Aku kembali bertiga saja dengan adik adikku dirumah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yasmine
RomanceBahwa setiap senyum memiliki cerita Bahwa setiap tangis memiliki kisah Karena sebetulnya bukan orang lain yang menanamkan rasa sakit padamu melainkan dirimu lah, kamu yang memupuk lalu tumbuh subur dan mengakar hingga tak mampu lagi bertahan. Mari M...