Lembar Pertama

9 0 0
                                    

Tadi sore hujan. Kata orang, "hujan adalah inspirasi terbaik" atau justru itu kataku? Entahlah. Yang penting aku mendapat inspirasi dari hujan ini. Mungkin hujan memiliki hubungan baik dengan ide. Karena menurutku, dimana ada hujan, disitu ada kata.

Karena ini pertama kalinya, aku ingin memberi tahu sedikit rutinitasku sebelum "menulis". Kalian mau tahu? Jika tidak, aku tetap akan memberi tahu. Karena aku keras kepala, keluargaku menyebutnya "ngeyelan." Baiklah, rutinitasku adalah Aku akan menghela napas sebentar sebelum ketikan ini menjadi sebuah tulisan. Tidak penting? Iyap, sama seperti berharap pada manusia, sama-sana tidak penting. Tapi ini penting bagiku, karena jika aku punya beban dalam dada, ku hela napas, dan... Hilang, beban itu menguap bersamaan dengan karbondioksida yang keluar.

Ini sedikit kata tentang hujan, aku dulunya gadis periang yang menyukai hujan. Setiap tetes yang jatuh, setiap embun yang timbul, dan setiap detik yang berdetak. Aku menyukainya. Aku mencintai bagaimana cara hujan membuatku tersenyum dengan sederhana. Aku mengagumi bagaimana konsep hujan "yang tetap datang meski berulang kali jatuh. Bahkan kadang manusia bumi menghakiminya." Dan sekarang, aku menjadi salah satu manusia bumi itu...

Kata opah dalam film Upin & Ipin, hujan itu rahmat. Aku setuju. Karena memang semua yang hadir adalah dari Tuhan. Dan segala sesuatu yang diberi Allah adalah sebuah kebaikan. Aku hanya tidak setuju pada diriku sendiri. Aku tidak setuju, kenapa aku tiba-tiba membenci hujan, kenapa aku tiba-tiba tidak senang akan kedatangannya, kenapa aku tiba-tiba takut akan kemunculannya?? Kenapa??!!

Iyaapp, aku tidak menyukainya. Bagiku, mensyukuri datangnya saja sudah cukup untukku. Tidak perlu menyukainya bukan?? Kalian menanyakan alasan? Apa sesuatu yang "tiba-tiba" harus butuh alasan?

Baiklah, kuperjelas.
Ini hidupku, bukan cerita novel dimana hujan selalu menjadi tujuan. Ini hujan di duniaku, bukan di dunia dongeng, dimana hujan adalah segala-galanya kebahagiaan. Kalian tahu? Aku bukan tinggal di kota, dimana disana hujan sangat dinantikan. Ini bukan kota megah dengan lampu merah untuk menyambut datangnya air yang mencurah, tidak ada bau aspal basah yang menenangkan, tidak ada lampu kota yang temaram. Kota kalian tidak ada jalan yang berbelok tajam, terjal, dan curam. Jalan kalian mulus seperti mengerjakan ujian dengan belajar semalaman. Ini yang membedakan hujan versi kalian, dengan Aku yang hidup di kampung kecil. Tidak banyak lampu yang menerangi, hanya ada tanah basah dan becek yang mengelilingi, jendela kayu yang bahkan tidak memperlihatkan dengan jelas apa yang terjadi di luar sana. Jendelaku tertutup rapat seolah ia mendorongku untuk terus. membenci hujan. Jalan licin yang selalu menimbulkan trauma yang mendalam. Rasa takut setiap orang itu beda, dan hujan adalah salah satu ketakutanku.

Aku hanya bisa bersembunyi. Menutup mata dan telinga saat tiba-tiba petir datang dengan kilat menyala-nyala. Aku sendiri. Mengurung diri di dalam ruang sempit yang kusebut istana. Ini kamarku, istanaku, kesepianku, kebahagiaanku, kudapatkan jadi satu disini. Kalian tidak tahu, bukan? Rasanya menahan takut sedang nyatanya aku harus tetap tersenyum di depan orang-orang. Raut wajah yang senantiasa kubuat setenang mungkin padahal kenyataannya, rasa takut semakin menikamku dengan hebat. Aku merasakan sepi, hidup dengan dua orang yang menganggap aku baik-baik saja padahal aku butuh pelukan dengan elusan kasih sayang. Berkali-kali menahan rindu, ketika hujan kembali membawa kenangan yang tak bisa dijelaskan dengan kalimat sendu. Merapalkan doa agar tidak akan ada datangnya gelap setelah petir menyambar dengan hebat. Karena aku tahu, saat gelap, saat itu aku merasa sendiri. Iyaa,, SENDIRI.

Minggu, 6-06-21 (18:36)

Tentang AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang