- Part 5 •• Hukuman Untuk Assyifa✓

22 4 1
                                    

Apa yang telah terjadi pada hidup kita adalah sebuah ketetapan. Ia bukanlah kesengajaan, tapi takdir yang telah ditetapkan Tuhan.
.
.
.

"Kepada siswa-siswi Bintang Harapan kelas sebelas, harap untuk melihat papan informasi. Di sana telah terdapat daftar nama-nama siswa yang akan diutus ke luar kabupaten untuk melaksanakan kegiatan pesantren kilat selama tiga belas hari."

Terdengar pengumuman dari salah satu guru menggunakan mikrofon. Pengumuman itu disebutkan dua kali. Siswa-siswi kelas sebelas berbondong-bondong menuju ruangan sebelah kantor majelis guru, karena papan informasi terletak di samping ruang majelis guru itu.

"Yang diutus berapa orang ya?" tanya Nauren kepada kedua sahabatnya.

"Kalo ga salah cuma sepuluh orang. Aku berharap ada nama aku, sih. Pengen banget nambah ilmu di pesantren itu. Denger-denger ustaz yang bakal bimbing pesantren kilat di sana hebat banget, loh. Apa yang beliau sampaikan mudah kita pahami," jelas Safiya.

"Kalo gue sih gak banget ikut begituan. Pasti nanti disuruh pakai gamis, terus kaus kaki, ditambah lagi dengan jilbab yang super duper lebar. Gak kebayang gimana panasnya," timpal Assyifa.

Nauren membetulkan ucapan Assyifa, sedangkan Safiya hanya geleng-geleng kepala.

"Aku doain kamu dapet jodoh ustaz, Fa" ucap Safiya tertawa.

"Setuju," tambah Nauren.

"Tau, ah, kalian jahat banget. Mending gue liat papan informasi aja, deh."

Assyifa beranjak dari kantin menuju ruangan terbuka sebelah kantor majelis guru untuk melihat pemberitahuan di papan informasi.
.
.
.
Setelah tiba di depan papan informasi. Mata Assyifa begitu jeli melihat sepuluh nama yang terpilih untuk mengikuti pesantren kilat. Pada urutan satu sampai sembilan, ia begitu lega karena tidak ada namanya di sana. Namun, matanya terbelalak pada urutan sepuluh. Assyifa Naufalyn Alfatunnisa. Tiga kata itu mampu membuat ia terdiam beberapa saat.

Tak lama, tibalah Nauren dan Safiya. Mata mereka fokus pada daftar peserta pesantren kilat luar kabupaten.

"Yeay, ada nama aku."

Safiya berteriak senang saat melihat namanya pada urutan tujuh.

"Yah, kok, ada nama gue sih."

Nauren menggerutu karena melihat namanya di daftar peserta pesantren kilat luar kabupaten.

"Ga usah menggerutu gitu, 'kan kita tetep bertiga."

"Iya sih, tapi pasti kita bakal terkekang di sana. Terus disuruh pake hijab lebar, gamis yang kedodoran dan ga lupa sama kaus kaki yang bikin kita kepanasan," timpal Assyifa.

Assyifa sangat tidak mau mengikuti pesantren kilat di luar Kabupaten Sleman itu. Apalagi selama tiga belas hari, itu artinya Assyifa tidak bisa buka bersama dengan teman-teman sekelasnya, karena awalnya mereka merencanakan untuk buka bersama pada hari ke-sepuluh ramadan. Ingin rasanya Assyifa marah, tapi pada siapa? Pada Bu Mayang? Mana berani dia. Mungkin ini hukuman yang dimaksud Bu Mayang.

"Menutup aurat tak hanya sekadar menggunakan hijab. Allah memberikan perintah kepada kita untuk menggunakan pakaian yang takwa atau pakaian yang tak terlalu mencolok sehingga dapat menarik perhatian laki-laki ajnabi. Selain itu, pakaian yang digunakan haruslah tebal, tidak terlalu tipis, dan tidak tembus pandang. Syarat ini telah disebutkan pula dalam hadis riwayat Muslim:

Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku liat: dan sekelompok kaum wanita yang berpakaian, tetapi telanjang, berjalan dengan genit dan berlenggak-lenggok, yang kepala mereka menyerupai punuk unta yang panjang lehernya. Mereka tidak akan masuk surga, dan bahkan tidak dapat mencium aromanya, padahal aroma surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian.

Jadi, tidak ada kata terkekang dalam menjalani perintah Allah Swt. Sekarang mungkin sedikit susah, tapi kalo dibiasain pasti jadi mudah kok."

Safiya menjelaskan dengan begitu rinci kepada kedua sahabatnya.

"Dengerin tuh, Fa. Yuk kita biasain pake pakaian tertutup. Gue sebenernya gak nyaman sama pandangan laki-laki saat gue pake pakaian ketat. Kita jalani aja dulu, siapa tau bisa dapet jodoh ustaz-ustaz muda di sana, capek mengidolakan orang Korea mulu. Udah beda negara, beda kebudayaan, beda agama, dan yang parahnya adalah beda rasa," sambung Nauren sambil cekikikan.

"Astagfirullah niat lo parah banget, Ren."
.
.
.
Hari telah berganti dari pagi menjadi malam. Dari terangnya siang menjadi gelapnya malam. Saat ini, Assyifa tengah duduk bersama keluarganya di ruang keluarganya begitu nyaman.

Maklum saja jika rumah Assyifa begitu mewah. Ia terlahir dari keluarga yang cukup berada. Bundanya bernama Aisha Syachira Aalinarrohman, merupakan seorang guru ekonomi di sekolah menengah atas, sedangkan ayahnya bernama Ghifari Syafi Muzakki, dokter bedah sekaligus pebisnis sukses di Kota Solo. Bunda Assyifa berasal dari Minang, sedangkan ayahnya asli jawa, sehingga ia blasteran Minang-Jawa. Namun, sejak ayah dan bundanya bercerai. Kehidupan Assyifa berubah, tak ada lagi kasih sayang seorang ayah di rumah itu.

"Bunda ... Syifa mau cerita," ucap Assyifa yang tengah membaringkan diri dengan menjadikan paha kakaknya sebagai bantal. Wajahnya sangat tidak enak dipandang, raut kesal itu belum hilang, tentu saja karena ia yang dipilih mengikuti pesantren kilat.

"Cerita apa, Sayang?" tanya bunda Assyifa setelah menyeruput teh hangatnya.

Assyifa pun menceritakan jika namanya dimasukkan dalam daftar peserta pesantren kilat luar kabupaten. Assyifa menjelaskan jika ia akan di sana selama tiga belas hari. Assyifa juga memohon kepada bundanya untuk tidak memberi izin pada pihak sekolah.

"Gak boleh gitu, Sayang. Syifa ke sana 'kan mau nuntut ilmu, lagian kapan lagi sih belajar ilmu agama di ponpes," nasihat bunda Assyifa.

"Gak masalah, Dek. Pondok Pesantren Askhabul Kahfi itu milik abinya temen Mas. Nama pemiliknya Ustaz Rahman dan Ustazah Hana. Nama temen Mas itu, Rafa, dia udah jadi ustaz sekaligus dokter. Bye the way dia ganteng banget loh," jelas kakak Assyifa.

"Iya, Mas, terus hubungannya sama Syifa apa?"

"Ya kali aja kamu nyantol sama ustaz ganteng. Biar Bunda punya mantu yang alim," jawab kakak Assyifa menggoda adiknya.

Assyifa yang mendengar jawaban kakaknya itu menjadi kesal.

"Faris Miqdad Nazeeh! Kamu berdosa banget!"

Ya, Faris Miqdad Nazeeh. Pria tampan dan mapan yang berkarisma, begitulah sebutan yang cocok untuknya. Namun, di umur ia yang kini menginjak angka dua puluh enam tahun, ia belum juga menikah. Faris adalah pria idaman setiap wanita. Namun, bagi Assyifa, Faris adalah pria yang paling menyebalkan. Meskipun begitu, rasa sayang Assyifa sangatlah besar untuk kakak laki-lakinya itu.

Salam hangat dari gadis berdarah Minang

Jangan lupa like dan komen✍️

Cintaku Sekilat Pesantren KilatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang