04 | be friend

117 15 5
                                    

Malam itu, Tenggara datang seorang diri menuju tempat yang terletak di kawasan Puncak, Bogor. Sesuai dengan alamat yang tertera di dokumen yang dikirim oleh pihak informan-nya tadi sore.

Entah siapa yang akan Tenggara temui, yang pasti alamat ini membawanya ke suatu desa perkebunan teh yang jalanannya dipenuhi batuan dan tanah becek. Hingga saat mobilnya berbelok, dia dicegat oleh lima orang berpakaian serba hitam lengkap dengan senapan di tangannya.

Hal tersebut sontak membuat Tenggara menginjak pedal rem. "You gotta fucking kidding me," gumam cowok itu.

Satu orang datang mendekat, mengetuk kaca jendela, meminta cowok itu untuk membukanya. Awalnya Tenggara ragu, tapi seketika semua buyar kala ponselnya bergetar dan panggilan masuk dari nomor asing—yang sedetik kemudian dia yakini itu adalah informannya.

"Gue tebak, lo udah dicegat sama mereka?"

"Iya."

"Good, ikutin apa yang mereka suruh. Mereka bukan musuh."

Sambungan pun terputus. Tenggara mengambil tas kantornya dan keluar dari dalam mobil. Salah seorang tukang pukul itu meminta kunci mobilnya, dan tanpa banyak berpikir, cowok itu menuruti permintaan mereka.

"Ikut saya," kata si tukang pukul lainnya yang kemudian berjalan menuntun Tenggara ke dalam hutan yang hanya dibantu penerangan oleh senter.

Ternyata, di tengah hutan yang tidak ada alat penerangan satupun itu, terdapat sebuah rumah gubuk yang terpasang petromak di depan pintu. Tenggara diperkenankan untuk masuk, tapi saat tangannya hendak membuka daun pintu, ponselnya lagi-lagi bergetar. Sempat Tenggara kebingungan mengapa hutan lebat seperti ini masih terdapat sinyal.

Asoka is calling ...

Tenggara berdecak. Cowok itu langsung mengangkatnya kemudian mengatakan, "Gue sibuk. Call me latertutt!" Lalu memasukannya kembali ponselnya ke dalam sakunya.

Setelahnya, dia pun masuk ke dalam gubuk. Pertama yang dia lihat adalah beberapa lampu petromak yang terpasang di dinding gubuk serta seorang laki-laki berjaket kulit yang berdiri memunggunginya. Tenggara berdeham.

"Azora?"

"Sit down, please." Cowok berjaket kulit itu langsung membalas. Refleks Tenggara menoleh ke arah meja yang terdapat dua kursi yang terletak saling berhadap-hadapan.

Tanpa ba-bi-bu lagi, Tenggara segera duduk bersamaan dengan cowok itu yang berbalik badan. Menampilkan wajah yang sangat oriental.

"First of all, I'm not Azora. Gue masih cowok tulen yang belom belok dan gak ada niatan buat gabung bersama keluarga besar waria di Jakarta." Cowok itu ikut duduk di kursi satunya lagi. "Call me H-J. Eij-Jei. Biar keren dikit. Dan ya, Gue salah satu orang kepercayaannya Azora. Dan gue rasa itu cukup buat perkenalannya."

"Oke."

Cowok yang ingin dipanggil H-J itu mengambil sesuatu dari balik jaketnya. Sebuah map merah berukuran sedang. Dan menyerahkannya kepada Tenggara.

"Ini Apa?"

"Data kasus pencucian uang yang pernah dilakukan Cahyono."

Tenggara mengernyit. "Setahu saya Cahyono bersih."

Cowok di hadapannya itu terkekeh. "Nggak keliatan, bukan berarti nggak terjadi. Dia punya back-up dari pihak keluarga Arnawama. Gue yakin lo pasti paham."

Tenggara terdiam. Dalam hati dia berdecak kagum. "Jadi, kamu mau saya buat berita tentang itu?"

"Yes. Buat secara objektif. Dan jangan sampe ngasih penilaian dalam bentuk apapun. Biarkan orang-orang yang menilai. Terkadang jempol lebih berbahaya dari pada pisau."

White ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang